Nikah di Bawah Umur, Pasangan di Kepulauan Meranti Ini Dipisah Sampai Usia 18 Tahun
SABANGMERAUKE NEWS, Selatpanjang – Baru-baru ini terjadi pernikahan anak di bawah umur di Kabupaten Kepulauan Meranti. Kasus tersebut menjadi yang pertama di kabupaten termuda di Riau ini. Pasangan yang menikah di Kecamatan Tebingtinggi pada Senin (9/1/2023) lalu itu sama-sama baru berusia 14 tahun.
Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kepulauan Meranti kemudian meninjau langsung ke rumah keluarga pasangan pada Kamis (12/1/2023).
“Ternyata pihak desa juga belum tau, dan kaget mendengarkan hal tersebut. Selanjutnya mereka melakukan tracking dan mendudukkan masalah ini terhadap dua keluarga yang bersangkutan,” kata Kepala Bidang PPPA Dinsos P3AP2KB Kepulauan Meranti Desi Mustika saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (25/1/2023).
Didampingi Sub Koordinator Perlindungan Khusus Anak, Junaida dan Kepala UPTD PPA Mhd Taufik Mubarok, Desi mengatakan setelah dilakukan pembicaraan dan kesepakatan, selanjutnya pihaknya mengamankan mempelai perempuan dan terpisah dari keluarganya, di bawah pengawasan Bidang PPPA.
“Kemudian kita berikan motivasi, lalu kita lakukan assesment terkait apa latar belakang penyebabnya sehingga terjadi pernikahan tersebut,” kata Desi lagi.
Sementara itu, Kepala UPTD PPA Mhd Taufik Mubarok mengatakan dari hasil assesment yang dilakukan, ditemukan penyebab bahwa keduanya memutuskan untuk menikah lantaran anak perempuan cenderung cukup dekat dengan keluarga anak lelaki. Bahkan disebut kerap menginap di rumah orang tua pengantin lelaki.
“Jadi jika ada masalah di rumahnya, anak perempuan ini sering lari ke rumah keluarga pihak laki-laki,” kata Taufiq.
Usut punya usut, saat dilakukan assesment didapati bahwa anak tersebut kurang mendapatkan perhatian dari keluarganya. Ayahnya kerap pergi ke luar kota sementara ibu tirinya kurang memperhatikan. Sehingga tiap kali ada masalah, anak perempuan tersebut selalu datang ke keluarga anak laki-laki.
“Ayahnya sering keluar kota sedangkan dia yang tinggal bersama ibu tirinya kurang mendapatkan perhatian, karena fokus kepada adiknya yang masih kecil,” tuturnya.
Karena sering tinggal di rumah keluarga pihak laki-laki, akhirnya kedua anak ini saling kenal dekat dan akhirnya saling mencintai. Lantaran takut terjadi hal yang tak diinginkan atau melampaui batasan, pihak keluarga sepakat untuk menikahkan keduanya.
“Karena khawatir takut terjadi hal yang tidak diinginkan, singkatnya pihak keluarga memutuskan untuk menikahkan mereka,” ujar Taufiq.
Namun, di sisi lain pihak keluarga tak mengetahui bahwa keputusan tersebut ternyata melanggar hukum. Tepatnya norma dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang direvisi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan. Dalam aturan baru tersebut, dijelaskan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki.
“Risiko pernikahan di bawah umur rentan terjadi kerusakan mental, selain itu juga berkaitan dengan risiko kesehatan. Menikah di bawah umur menyebabkan risiko komplikasi di mana menyumbang angka kematian ibu dan bayi dan hak anak juga menjadi terenggut,” tutur Taufiq.
Setelah dilakukan penyuluhan pada 12 Januari 2023 lalu, pihak keluarga akhirnya bersedia untuk memisahkan kedua anak tersebut. Selama dipisah anak perempuan dibawa oleh pihak PPPA Kepulauan Meranti ke tempat khusus. Sementara untuk anak laki-laki tetap tinggal bersama keluarga.
Hingga akhirnya pada 17 Januari 2023, pihak PPPA melaksanakan gelar kasus dengan mengundang berbagai pihak di antaranya keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan, aparat desa terkait, Komnas Perlindungan Anak, Bagian Hukum Setda Kepulauan Meranti dan Dewan Pakar Yayasan Intan Payung Provinsi Riau.
“Keduanya masih berhak mendapatkan pendidikan. Setelah diberikan pemahaman, akhirnya mereka beserta pihak keluarga akhirnya komit dan memahami anak tersebut tetap melanjutkan pendidikan,” jelasnya.
Untuk melanjutkan pendidikan, pihak PPPA menyarankan agar bisa melanjutkan pendidikan ke luar daerah agar bisa fokus ke depannya. Melalui gelar kasus disepakati untuk tetap melanjutkan pendidikan sekolah yang dipilih oleh keluarga. Namun keduanya harus terpisah dan disarankan anak perempuan tersebut melanjutkan pendidikannya di luar daerah.
“Untuk perempuan masih duduk di bangku kelas 2 SMP dan yang laki-laki terakhir pendidikannya kelas 6 SD dan kita sarankan untuk mengambil Paket C,” jelasnya lagi.
Untuk pernikahan keduanya, pihaknya tidak akan membatalkan. Hanya saja pasangan ini harus menunggu untuk hidup bersama hingga umur 18 tahun. Untuk pengawasan, mereka mempercayakan kepada pihak keluarga dan pihak desa. Itulah mengapa pihaknya juga menyarankan anak perempuan tersebut di sekolahkan di luar daerah untuk mengurangi intensitas pertemuan.
“Kita tak mungkin membatalkan pernikahan, karena yang menikahkan adalah orang tua mereka. Namun mereka bersedia dipisahkan sambil menunggu umur 18 tahun. Kita juga memastikan mereka tidak bertemu melalui pengawasan orang tua dan pihak desa,” pungkasnya.
Kepala Bidang PPPA, Desi Mustika menambahkan penjelasan terkait banyak dampak buruk yang terjadi kepada anak yang menikah pada usia dini, diantaranya kehilangan hak-haknya sebagai anak untuk mendapatkan pendidikan, resiko terhadap kesehatan karena rentan terhadap kematian, kurang siapnya mental dan ekonomi dan lain masalah lainnya.
Dirinya mengakui kasus ini menjadi yang perdana di Kepulauan Meranti, sehingga diharapkan tidak ada lagi kasus sama yang terjadi di masa yang akan datang.
Desi mengimbau agar orang tua sebagai garda terdepan dapat memberikan edukasi dan pemahaman yang baik terkait pernikahan kepada anak-anaknya. Sehingga anak lebih memahami peran dan hak-haknya sebagai anak dan koridor yang harus ditempuh untuk bisa melangkah ke jenjang pernikahan.
Selain itu pihaknya juga melakukan langkah cepat dalam upaya preventif dan solutif berharap agar tidak terjadi lagi ke depannya.
“Kami berharap kepada seluruh komponen dan semua pihak agar bersatu dan bersinergi jangan sampai kejadian yang sama terjadi di kabupaten Kepulauan Meranti. Sampai saat ini kita juga tetap melakukan sosialisasi dan upaya preventif kepada seluruh pihak baik tokoh masyarakat, tokoh agama dan lainnya agar tidak ada anak-anak usia dini yang menikah dan kehilangan hak-haknya sebagai anak,” tuturnya.
Bahkan saat ini pihaknya tengah menggodok Peraturan Bupati tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak.
“Saat ini kami sedang menyusun draft Perbup pencegahan perkawinan pada anak yang telah diajukan sejak tahun 2019 lalu, namun karena bentrok dengan regulasi yang ada makanya dilakukan penyesuaian. Saat ini kita tinggal menunggu jadwal harmonisasi,” jelasnya.
Dikatakan, saat ini pihaknya juga belum fokus terkait hal tersebut mengingat kasusnya juga minimal terjadi. Namun sosialisasi terkait pemenuhan hak anak rutin digelar.
Terkait sanksi bagi yang melanggar akan dikenakan undang-undang nomor 12 tahun 2022.
“Bagi yang terlibat membiarkan pernikahan anak di bawah umur dikenakan undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang kekerasan seksual, di mana salah satu poinnya terkait pernikahan anak dan dikenakan sanksi pidana 9 tahun dan denda Rp 200 juta. Namun karena ini ada ketidaktahuan dari pihak orang tua, makanya kita selesaikan secara kekeluargaan. Namun bukan berarti bisa diselesaikan dengan cara seperti ini, tergantung hasil assesment nya,” pungkasnya. (R-01)