Cerita Ajudan Letnan Kolonel Salah Beli Tanda Pangkat Letnan Jenderal di Awal TNI Berdiri
SABANGMERAUKE NEWS - Pembenahan besar-besaran di internal TNI pada 1950 meniscayakan penggantian tanda pangkat. Di lapangan, justru menyebabkan seorang letnan kolonel bisa menjadi seorang letnan jenderal dalam sehari.
Begitu Perang Kemerdekaan (1945-1949) berakhir, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjalankan pembenahan besar-besaran di internal organisasi. Selain melakukan kembali seleksi prajurit, soal pangkat pun kembali diatur-ulang.
Bahkan, simbol-simbolnya pun diganti. Sebagai contoh pangkat mayor, letnan kolonel dan kolonel tidak lagi menggunakan simbol bintang namun simbol bunga tanjung. Simbol bintang hanya digunakan untuk kelompok perwira tinggi saja.
Bukan hanya pangkat, restrukturisasi keorganisasian pun dirombak habis. Tidak terkecuali Brigade XII Divisi Siliwangi yang bertanggungjawab atas wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur, diganti menjadi Brigade D/XV.
"Sebagai pimpinan Brigade D ditunjuklah Mayor Sambas Atmadinata yang kemudian pangkatnya dinaikan menjadi letnan kolonel (letkol)," demikian menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa Bag.II (1950-1965).
Pembenahan di lingkungan Brigade D/XV itu berbarengan dengan maraknya aksi-aksi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosoewirjo. Akibatnya, hampir setiap minggu Letkol Sambas harus melakukan inspeksi keliling, memeriksa kesiapan pasukannya.
Beli Pangkat di Toko
Suatu hari, Letkol Sambas akan menginspeksi pasukan yang berada di tiga wilayah yang menjadi wewenangnya. Merasa belum punya tanda pangkat letkol, dia kemudian menyuruh ajudannya untuk membeli di Toko Beny, yang terletak di depan Sekolah Zeni Angkatan Darat Bogor.
Singkat cerita, tanda pangkat bintang dua berkilauan pun dibeli dan langsung ditempelkan oleh Sambas di leher kamejanya, bukan di pundak.
Dengan mengendarai jip yang dikemudikan oleh seorang ajudan dan dikawal seorang penembak mahir, selama seminggu Sambas berkeliling ke basis-basis pasukan yang berada di Bogor, Sukabumi dan Cianjur.
Mereka mengecek kesiagaan dan mencocokkan info lapangan dari pos ke pos. Hari terakhir inspeksi, sampailah mereka di Istana Cipanas dan langsung memeriksa kesiapan satu seksi CPM (Corps Polisi Militer).
Ketika memasuki gerbang Istana Cipanas, para penjaga langsung memberi salut, yang langsung disambut secara gagah oleh sang komandan brigade. Dengan sikap percaya diri, Sambas lantas berdialog dengan prajurit jaga.
"Apakah situasi aman?" tanya Sambas.
"Siap! Aman Let!" jawab sang penjaga bersemangat.
Dikira Jenderal TNI
Sambas sempat terkejut mendengar kata "let" keluar dari mulut sang prajurit jaga. Namun dia cepat maklum, jika prajurit itu bisa jadi belum mengetahui tanda pangkat versi terbaru. Tapi tidak demikian dengan dua pengawalnya. Mereka terlihat sangat kesal atas panggilan yang sungguh tidak 'etis' itu.
"Sialan!" gerutu salah satu pengawalnya.
Memasuki halaman Istana, seluruh seksi CPM pun dibariskan. Kepada sang komandan yang berpangkat sersan mayor Sambas lagi-lagi bertanya:
"Apakah situasi di Istana Cipanas terkendali?"
"Siap, aman Let!"
Sambas terbengong-bengong. Namun dia masih bersabar dan memutuskan untuk tidak marah. Pikirnya, bisa jadi sosialisasi soal pangkat ini belum sampai secara merata ke seluruh pasukan. Jadi dia merasa bahwa itu bukan salah para prajurit di bawah.
Namun tidak demikian dengan para pengawalnya. Salah satu dari mereka lantas maju ke depan dan langsung menegur sang Sersan.
"Lihat-lihat dong! Beliau ini komandan brigade, bukan seorang letnan!" katanya ketus.
Keributan pun terjadi. Tetapi cepat dilerai oleh Sambas. Tanpa meminta penjelasan lebih lanjut dari komandan seksi CPM itu, mereka pun cepat beranjak meninggalkan Istana Cipanas.
Ketika sampai di Puncak, mereka mampir di sebuah restoran. Saat itulah, Sambas bertemu dengan salah seorang koleganya dan langsung menceritakan kejadian di Istana Cipanas itu. Alih-alih membenarkan Sambas, dia malah tertawa terbahak-bahak. Terlebih ketika tahu Sambas menggunakan tanda pangkat "letnan Jenderal" di pundaknya.
Rupanya, para prajurit CPM itu sama sekali tidak salah. Yang salah justru Sambas dan ajudannya yang salah membeli tanda pangkat.
"Rupanya yang salah itu saya dan ajudan. Toko Beny salah jual, ajudan saya salah beli. Mereka keliru karena baru pertama kali," kenang Sambas dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid ke-1 yang diterbitkan oleh LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia). (RE-01)