Tajuk Redaksi
3 Kali Secara Beruntun Menteri LHK 'Dihantam' Palu Hakim PTUN Pekanbaru dalam Kasus Kerusakan Hutan Konservasi
SABANGMERAUKE NEWS - Rasanya baru ini kali pertama dalam sejarah institusi sebesar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengalami kekalahan beruntun di pengadilan. Bayangkan, tak sampai dalam dua bulan, KLHK mengalami 3 kali kekalahan telak melawan gugatan yayasan lingkungan hidup di Riau.
Tiga kali palu majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru menggoyang Gedung Manggala Wanabakti, markas besar institusi yang paling bertanggung jawab dalam pengelolaan dan penyelamatan hutan di Indonesia ini. KLHK dalam 3 putusan perkara gugatan faktual pemerintahan dihukum atas kelalaian tanggung jawabnya dalam menjaga hutan konservasi di Riau yang sudah porak-poranda.
Pada Selasa (15/11/2022) lalu, majelis hakim PTUN Pekanbaru mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani terhadap Menteri LHK dalam pembangunan 1.200 hektar kebun kelapa sawit di Taman Nasional Tesso Nillo (TNTN), Pelalawan. Kebun sawit tersebut diduga berkaitan dengan PT Inti Indosawit Subur, meski pihak perusahaan membantahnya.
Kekalahan kedua di PTUN Pekanbaru yang dialami oleh Menteri LHK saat menghadapi gugatan Yayasan Menata Nusa Raya (Menara) pada Rabu (14/12/2022) lalu. Gugatan ini berkaitan dengan keberadaan kebun kelapa sawit, pabrik kelapa sawit (PKS) yang dikelola PT Tengganau Mandiri Lestari dan sumur serta instalasi migas yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan di Suaka Margasatwa Balairaja, Bengkalis.
Terakhir di awal tahun baru, pada Senin (9/1/2023), Menteri LHK Siti Nurbaya dkk juga takluk dalam gugatan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) di PTUN Pekanbaru berkaitan dengan keberadaan 66 sumur minyak dan instalasi migas yang dikelola PT Bumi Siak Pusako (BSP) di Taman Nasional Zamrud, Kabupaten Siak.
Ketiga gugatan yang digencarkan oleh 3 yayasan yang berbeda mempercayakan kepada Dr (C) Surya Darma SAg, SH, MH sebagai ketua tim hukumnya. Hasilnya kinclong. Pengacara 'spesialis' lingkungan dan kehutanan ini sukses menundukkan Kementerian LHK dalam dialektika dan retorika persidangan.
Dalam ketiga perkara tersebut, Menteri LHK dkk dihukum untuk melakukan langkah penyegelan dan penegakan hukum atas keberadaan objek kegiatan kebun sawit, pabrik kelapa sawit serta sumur dan instalasi migas yang dibangun di atas kawasan hutan konservasi tersebut.
Selain itu, Menteri LHK juga diwajibkan untuk memulihkan areal hutan konservasi yang telah berganti rupa menjadi aneka kegiatan usaha non kehutanan yang jelas dan nyata-nyata telah merubah fungsi hutan.
Sejatinya dengan putusan PTUN Pekanbaru tersebut, tugas Kementerian LHK sangat terbantu. KLHK jika saja legowo, patut untuk segera mengeksekusi putusan demi penyelamatan hutan yang kerap digembar-gemborkan dan dikampanyekan.
Dengan putusan tersebut, posisi KLHK untuk melakukan langkah penegakan hukum dan pemulihan kawasan hutan konservasi yang rusak bisa dilakukan sesegera mungkin. KLHK semestinya memberikan keteladanan ke publik sebagai institusi negara yang tunduk dan patuh pada putusan hukum.
Namun, sepertinya langkah itu tidak dilakukan oleh KLHK. Kabarnya, atas putusan gugatan yang dilayangkan Yayasan Riau Madani dan Yayasan Menata Nusa Raya (Menara), KLHK justru mengajukan upaya hukum banding. Belum diketahui, apa reaksi KLHK atas putusan terhadap gugatan Yayasan Wasinus. BBKSDA Riau berdalih masih menunggu berkas putusan sebelum mengkaji langkah lanjutan yang akan dilakukan.
Pihak Kementerian LHK sendiri hingga kini tak kunjung bersuara atas 3 kali kekalahannya itu di PTUN Pekanbaru. Konfirmasi yang dilayangkan media ini tak pernah direspon oleh para pejabatnya.
Langkah hukum lewat gugatan di PTUN yang dilakukan oleh ketiga yayasan tersebut patut diapresiasi. Ini adalah saluran yang paling tepat dipakai untuk mengoreksi aneka pembiaran terhadap kerusakan hutan yang terus terjadi. Bagaimana pun, tanggung jawab negara yang diemban oleh institusi KLHK patut untuk digugat dan dipertanyakan. Apalagi, objek gugatan yang dilayangkan adalah hutan konservasi, kasta tertinggi dalam jenis kawasan hutan.
Bayangkan saja, jika hutan konservasi bisa seenaknya diobok-obok lalu dibiarkan oleh negara, maka bagaimana pula dengan nasib kawasan hutan lain. Sebut saja hutan produksi dan hutan produksi terbatas.
Patut disadari, pengrusakan kawasan hutan adalah sebuah kejahatan. Dampaknya sangat luas dan berkepanjangan. Daya dukung ekosistem menjadi rapuh, perubahan iklim dan peningkatan suhu bumi tak terbendung. Ekses lain yakni terjadinya bencana alam seperti banjir. Populasi satwa dan flora dilindungi pun terancam.
Faktanya sudah terbuka jelas. Aneka satwa liar dilindungi saat ini marah dan keluar dari habitatnya yang sudah rusak. Konflik antara manusia dan satwa liar terus terjadi dan meningkat secara konsisten. Pertarungan antara satwa liar dan manusia makin berhadap-hadapan. Terjadi kematian secara bergantian di pihak manusia dan satwa atas kasus-kasus konflik di Riau itu.
Hal lain yang bikin runyam yakni terjadinya penguasaan modal dari hasil pengrusakan dan pengelolaan hutan ilegal. Kelompok pengrusak hutan di Riau mendapat kelimpahan berkah ekonomi dari hasil eksploitasi hutan secara ilegal. Modal yang mereka peroleh bisa saja dipakai untuk apa saja, termasuk untuk 'mengatur-atur' oknum-oknum negara. Tatanan kebijakan publik pun berpotensi makin rusak.
Ketimbang berlindung di balik hak hukum melakukan upaya banding atas putusan 3 perkara di PTUN Pekanbaru tersebut, Menteri LHK Siti Nurbaya seharusnya mengambil langkah progresif. Apa susahnya untuk patuh dan legowo serta mengeksekusi putusan hukum tersebut? Tak perlu malu atas fakta kekalahan dalam putusan hukum tersebut.
Bukankah sejatinya tugas Kementerian LHK adalah memang untuk menjaga kelestarian hutan dan makhluk hidup lain yang ada di dalamnya?
Tentu saja, Istana juga harus merespon putusan PTUN Pekanbaru tersebut. Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara sekaligus komandan kabinet diminta untuk mem-brief anak buahnya. Kita lihat-lihat sajalah. (*)