Heboh Pengakuan Mantan Rektor UIN Suska Riau: Setor Uang Rp 713 Juta, Tetap Dituntut 3 Tahun Penjara oleh Jaksa
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Seorang oknum jaksa dilaporkan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau, Porf Achmad Mujahidin terkait dugaan pemberian uang dalam kasus yang menjeratnya. Pemberian uang dengan total Rp 713 juta melalui seorang perantara, disertai dengan iming-iming dan janji tuntutan bebas demi hukum dan penangguhan penahanan terhadap Prof Achmad.
Laporan Prof Achmad tersebut dilayangkan kepada Kepala Kejati Riau lewat surat yang ditulis tangan. Adapun oknum jaksa yang dilaporkannya bernama Dewi Sinta Dame Siahaan, SH, MH yang bertugas sebagai jaksa penuntut umum dalam kasus proyek pengadaan internet kampus yang menjerat Prof Achmad.
Dilansir dari RiauAkses.com, dalam suratnya, Prof Achmad mengaku telah menyerahkan total uang sebesar Rp 713 juta melalui seseorang berinisial SP. SP disebutnya sebagai satu-satunya orang yang bisa berhubungan langsung dengan jaksa penuntut.
Pemberian uang dilakukan dalam beberapa tahap. Ia dijanjikan akan mendapat tuntutan dan vonis bebas demi hukum. Selain itu, Prof Achmad juga mengaku akan mendapat penangguhan penahanan.
Namun, kedua janji tersebut tak pernah terwujud. Faktanya, Prof Achmad tetap dituntut dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Selain itu, Prof Achmad hingga saat ini masih ditahan di Rutan Pekanbaru.
Prof Achmad melaporkan jaksa Dewi Sinta atas dugaan pelanggaran kode etik perilaku jaksa dan displin PNS.
"Hentikan proses persidangan sampai jaksa diperiksa oleh majelis kode etik kejaksaan. Saya akan kooperatif jika dipanggil oleh majelis kode etik kejaksaan," tulis Prof Achmad dalam suratnya tersebut.
Dalam suratnya, Prof Achmad mengaku telah ditemui oleh jaksa Dewi Sinta pada 28 Desember 2022 lalu di Rutan Pekanbaru. Pertemuan terkait klarifikasi uang sebesar Rp 713 juta yang telah diterima melalui seseorang berinisial SP.
Keesokan harinya pada 29 Desember 2022, Prof Achmad menyebut pengacaranya kembali bertemu dengan jaksa Dewi Sinta. Dalam suratnya tersebut, Prof Achmad menyebut bahwa berdasarkan pengakuan seorang inisial SP yang berperan sebagai perantara, jaksa penuntut telah menerima sebagian uang tersebut berjumlah Rp 310 juta.
Selanjutnya, pada 5 Januari 2023 lalu, menurut Prof Achmad dalam suratnya, jaksa Dewi Sinta kembali bertemu dengan dirinya di Rutan Pekanbaru. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan terkait uang tersebut diurus sendiri langsung dengan inisial SP dan informasi tersebut tidak disebarluaskan ke publik.
Adapun surat laporan tersebut ditembuskan ke Komisi Aparatur Sipil Negara, Komisi Kejaksaan, Asisten Intelijen Kejati Riau, Kajari Pekanbaru dan Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Riau, Bambang Heripurwanto belum bisa berkomentar soal surat laporan Prof Achmad tersebut.
"Belum ada informasinya," terang Bambang, Minggu (8/1/2023) malam.
Jaksa Dewi Sinta pun sudah dikonfirmasi ikhwal tudingan pemberian uang melalui seorang bernama SP ini. Dewi mengaku sedang mendalami tudingan tersebut.
"Saya sedang mendalami hal tersebut, saya minta waktu sampai sore," balas jaksa Dewi via WhatsApp.
Jhon Piter Marpaung, ketua tim penasihat hukum Prof Achmad Mujahidin mengaku tidak mengetahui soal adanya pemberian uang tersebut.
"Saya pun kaget," terangnya via pesan WhatsApp, Senin (9/1/2023) pagi ini.
Diwartakan sebelumnya, jaksa penuntut Kejaksaan Negeri Pekanbaru menuntut mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau, Prof Akhmad Mujahidin hukuman 3 tahun penjara dalam kasus proyek pengadaan internet kampus tahun 2019-2020.
Meski demikian, jaksa tidak menuntut menggunakan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam sidang pembacaan tuntutannya, jaksa menuntut Prof Akhmad dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Prof Akhmad dikenakan tindak pidana kolusi.
"Menyatakan terdakwa Akhmad Mujahidin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kolusi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagaimana dakwaan alternatif ketiga," kata jaksa saat membacakan surat tuntutannya.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Akhmad Mujahidin berupa pidana penjara selama 3 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara ditambah dengan denda sebesar Rp 200 juta subsidair selama 6 bulan kurungan dengan perintah terdakwa tetap ditahan," kata jaksa lagi.
Adapun secara lengkap bunyi pasal 21 tersebut yakni: Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara bunyi pasal 5 angka 4 UU tersebut yakni: Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Prof Akhmad Mujahidin menjadi tersangka proyek pengadaan jaringan internet di kampus yang dipimpinnya dan ditahan pada 19 Oktober silam. Dalam perkara ini, seorang tersangka lain yakni Benny Sukmanegara yang juga merupakan pejabat di UIN Suska Riau.
Dalam surat dakwaan, jaksa menyebut Prof Akhmad melakukan kolusi dan ikut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan internet.
Pengadaan jaringan internet untuk menunjang proses belajar di UIN Suska diajukan oleh Benny selaku Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data UIN Suska Riau, dengan anggara dana Rp2.940.000.000 dan untuk Pengadaan Jaringan Internet bulan Januari hingga Maret 2021 sebesar Rp734.999.100. Adapun sumber dana ini berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Rupiah Murni (RM).
Rencana Umum Pengadaan (RUP) proyek ini ditayangkan ke dalam aplikasi SIRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) LKPP dengan metode pemilihan e-purchasing.
Dalam pelaksanannya, jaksa menyebut Prof Akhmad seolah-olah menjadi PPK pengadaan layanan internet. Hal itu dilakukan terdakwa selaku KPA UIN Suska Riau berdasarkan Surat Keputusan RNomor 001/R/2020 tentang Penetapan Penanggungjawab Pengelola Keuangan di Lingkungan UIN Suska Riau Tahun Anggaran 2020.
Padahal terdakwa telah menunjuk PPK Rupiah Murni untuk kegiatan pengadaan layanan internet di UIN Suska Riau Tahun 2020. Namun terdakwa mengambil semua tanggung jawab PPK. (*)