Kritik Keras Perpu Cipta Kerja, Ahli Tata Negara Sebut Cara Culas Pemerintah
SABANGMERAUKE NEWS - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik keras Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, aturan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo akhir Desember 2022 itu sebagai cara culas Pemerintah membuat ‘aturan main' sendiri.
“Saya tidak bisa menemukan (kata) yang lebih soft dari itu,” ujar Bivitri dalam Forum Diskusi Salemba 87 yang digelar virtual pada Sabtu, (7/1/2022)
Bivitri menyebut, cara culas itu tergambar dari cara perumusan Perppu yang menjadi pengganti Undang-undang (UU). Padahal, kata dia, materinya sama dengan UU.
Hierarkinya, kata dia, Perppu memang setingkat dengan UU. Beleid itu tertera dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di pasal 7.
“Jadi betul Perppu bisa menggantikan UU, tapi dia beda dengan UU. Makanya yang satu namanya Undang-undang dan (satunya lagi) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,” kata Bivitri.
Menurut Dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini, perbedaan keduanya adalah pada proses pembentukannya. Pembentukan UU di dalam sebuah negara demokratis tak hanya membutuhkan kehadiran eksekutif, tapi juga legislatif.
Sedangkan dalam penyusunan Perppu tidak memerlukan itu. Penyusunan Perppu hanya berlandaskan situasi darurat tanpa adanya proses demokrasi. Sebab itu, menurut Bivitri, sebenarnya Perppu tidak boleh digunakan sebagaimana halnya UU.
“Jadi tidak bisa dengan dalih bahwa DPR sedang dalam masa reses, maka dibuatlah Perppu. Enggak bisa seperti itu, berbeda konteksnya,” katanya.
Sebab, Perppu adalah sebuah fasilitas yang tidak demokratis walaupun terkadang diperlukan. Seharusnya, pembuatan Perppu pun harus dijauhi dalam kondisi yang normal.
Tapi dalam praktiknya, kata Bivitri, pemerintah bisa mengeluarkan Perppu tanpa adanya pengawasan dari mana pun dan langsung efektif berlaku. Baru kemudian di masa sidang berikutnya DPR membahasnya untuk disetujui atau tidak.
“Jadi pahami dulu itu, Perppu itu seharusnya enggak boleh sembarangan, semata-mata karena DPR-nya sudah tidak bisa bersidang,” tutur Bivitri.
Ditambah lagi, dia melanjutkan, Perppu Cipta Kerja dikeluarkan saat hari kerja terakhir menjelang tutup tahun 2022. Saat itu situasinya masyarakat sedang ingin menikmati malam tahun baru. Selain itu, Perppu dikeluarkan bersamaan dengan pengumuman dihentikannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM.
Masyarakat saat itu, kata Bivitri, praktis tidak bisa mengakses sama sekali dokumen Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan pemerintah.
“Padahal sebuah peraturan perundang-undangan yang diundangkan itu harus terpublikasi. Yang sudah diundangkan itu juga harus sudah available untuk publik,” ujarnya.
Tak hanya bermasalah dalam proses pembuatannya, Bivitri juga mempersoalkan banyak hal dalam Perppu Cipta Kerja. Ia menilai banyak hal yang seakan-akan benar dalam Perppu tersebut, tapi sebenarnya tidak berpihak kepada banyak orang.
Menurut Bivitri, membuat kebijakan tidak bisa hanya berbasis data saja. Tapi juga harus berbasis empati. Sebab, jika hanya berbasis data, aturan hanya akan menimbulkan banyak kebingungan.
“Evidence base-nya wah, mungkin top sekali, statistiknya banyak dan lain sebagainya. Tapi apakah punya perspektif? Apakah berpihak pada orang-orang yang seharusnya menerima manfaat dari sebuah kebijakan? Kelompok rentan perempuan atau kelompok miskin dan lain sebagainya,” ujar Bivitri. (RE-02)