Tragedi Pembantaian 2 Ekor Buaya di Kepulauan Meranti: Dugaan Warga Meleset dan Peringatan Keras Pawang
SABANGMERAUKE NEWS, Selatpanjang - Meninggalnya dua orang pekerja tual sagu yang diduga kuat akibat dimangsa buaya di Sungai Suir dan Sungai Penyagun di Kabupaten Kepulauan Meranti berujung pada kisah perih. Seakan hilangnya dua nyawa manusia dibalas dengan pembunuhan 2 ekor buaya yang diduga memangsanya.
Warga yang mencari keberadaan korban turut menangkap buaya yang diyakini sebagai pemangsa lewat pawang. Mereka bahkan membelah perut hewan predator itu untuk memastikan keberadaan tubuh korban di dalamnya. Namun dari hasil pembelahan tersebut, warga tidak menemukan potongan tubuh manusia.
Kepala Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Anwar Din mengatakan korban bernama Slamet Ma’arif (37) warga Desa Kriting, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen yang bekerja di kilang Sagu di desanya diduga telah menjadi korban keganasan buaya di Sungai Suir pada Sabtu, (24/12/2022) kemarin.
Buaya yang diduga memangsa Slamet telah ditangkap pada Minggu (25/12/2022). Warga pun beramai-ramai membelah perut buaya tersebut. Padahal pawang buaya mengatakan hewan ini bukanlah predator yang memangsa korban. Namun perkataan pawang tak digubris.
Warga ngotot membelah perut buaya karena sekilas perut satwa liar tersebut tampak besar. Mereka yakin betul buaya itu baru saja menghabisi manusia dan menelannya.
Setelah dibelah, benar kata pawang, di dalam perut buaya itu memang tidak ada tanda-tanda binatang ini habis melahap manusia. Tapi apa daya, buaya itu sudah mati.
“Setelah dibelah ternyata tidak ada potongan tubuh Slamet di dalam (perut buaya), kami sangat sedih,” kata Anwar.
Tindakan warga mendapatkan kecaman dan keprihatinan dari Komunitas Pencinta Satwa Riau. Anwar pun memastikan tidak ada niat dari warganya untuk membunuh buaya.
“Bukan kita membunuh, namun warga hanya ingin memastikan bahwa ada korban di dalamnya, kami melihat perut buaya itu membesar, makanya dibelah, itu saja,” tuturnya.
Setelah dua hari dilakukan pencarian, jasad Slamet akhirnya ditemukan, jauh dari tempat ia diterkam buaya. Korban sudah ditemukan pagi ini, Senin (26/12/2022) sekira pukul 09:00 WIB.
“Korban ditemukan sejauh 3 kilometer dari tempat kejadian. Kondisinya sudah tidak bernyawa dan jasadnya masih utuh,” ujarnya.
Terkait kejadian ini, Kepala Desa Lukun itu merasa sangat dilema. Menurutnya sudah menjadi rutinitas warganya beraktivitas di sungai. Mereka bekerja sebagai perakit tual sagu (pohon rumbia) sebelum dibawa ke kilang.
Anwar menyebut, boleh jadi warganya geram. Ini bukan kali pertama buaya menewaskan masyarakat Kepulauan Meranti. Padahal, kata Anwar, selama ini warganya hidup damai dengan alam. Mereka tidak pernah mengganggu habitat buaya dan hidup berdampingan.
“Sudah beberapa kali warga kami menjadi korban keganasan buaya, sekarang kejadian lagi. Kami tidak tahu lagi harus berbuat apa, semua pekerja sagu mengeluh. Padahal selama ini kami menganggap, kami tidak pernah merusak habitatnya, kita hidup berdampingan dengan hewan buas itu, di mana warga bekerja di sungai yang banyak buayanya,” ungkapnya.
Tragedi Kedua Buaya
Selang satu hari setelah kejadian di Sungai Suir, buaya kembali memangsa korban yang juga seorang pekerja sebagai perakit tual sagu di Sungai Penyagun, Kecamatan Rangsang.
Korban bernama Zainal Bin Tahar (50) warga Desa Penyagun. Ia diterkam Buaya ketika sedang mengikatkan tual sagu di dalam sungai, Minggu (25/12/2022) sore. Kejadian yang menimpa korban pada pukul 16:00 WIB, itu dibenarkan oleh saudara kandungnya.
“Kejadian saat itu, di mana adik saya sedang bekerja untuk mengikatkan tual sagu ke pohon dan pada saat itu langsung diserang oleh Buaya,” kata abang kandung Zainal, Muhammad Nur.
Sementara itu Kepala Desa Penyagun, Syaiful mengatakan jika warganya yang menjadi korban tersebut ditemukan pada Minggu (25/12/2022) malam sekira pukul 22:00 WIB.
Dibeberkan, korban ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Kondisi kakinya sebelah kanan sudah putus akibat terkaman buaya tersebut. Bahkan, saat ditemukan, jasad korban ditunggui oleh buaya yang menerkamnya itu. Jaraknya hanya 200 meter dari lokasi kejadian.
“Saat ditemukan, jasad korban dijaga oleh buaya di tepi sungai dekat pohon nipah,” kata Syaiful.
Buaya yang diduga memangsa Zainal itu juga ditangkap berkat bantuan pawang. Lagi-lagi perut buaya dibelah untuk memastikan apakah hewan buas ini telah memangsa anggota tubuh korban. Namun, setelah perut buaya itu dibelah, potongan tubuh korban juga tidak ditemukan.
“Keinginan warga yang membelah bukan untuk membunuh, namun untuk mencari potongan tubuh korban yang hilang akibat digigit buaya tersebut. Ternyata setelah dibelah juga tidak ditemukan. Jadi sekali lagi bukan kita mau dan bermaksud mau membunuh, karena anggota tubuh yang kita temukan ada yang tak lengkap yakni kakinya sebelah kanan yang hilang dari lutut ke bawah,” jelasnya.
Syaiful memastikan tidak ada warganya yang merusak habitat buaya tersebut.
“Sungai Penyagun ini panjangnya hampir 20 kilometer, sangat banyak buayanya. Saya memastikan tidak ada habitatnya terganggu. Mungkin korban memang sudah ajalnya, korban pun tahu buaya itu mengintai, orang itu juga sudah waspada, namun mau bagaimana lagi, sudah nasibnya,” ungkapnya.
Mewakili masyarakat, dirinya sebagai kepala desa mengharapkan agar pihak terkait seperti BBKSDA Riau untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat karena buaya tersebut tentunya bertambah terus, namun tidak boleh dibunuh.
“Apakah dipindahkan ke penangkaran, atau ada solusi lain,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Besar (Kababes) BKSDA Riau, Genman Suhefti Hasibuan yang dikonfirmasi melalui panggilan telepon genggam mengaku prihatin atas kedua korban yang meninggal dunia dampak dari keganasan buaya di Kepulauan Meranti.
Ia menduga ada pihak yang merusak habitat mereka. Sehingga memicu sifat buaya yang buas menjadi lebih buas hingga menimbulkan korban jiwa. Disebutkan, walaupun buaya memangsa manusia hingga tewas, namun keberadaan buaya dilindungi oleh Undang-undang nomor 25 Tahun 1990.
“Karena itu, siapa pun yang berada di wilayah hukum Republik Indonesia, berkewajiban melakukan perlindungan terhadap buaya,” katanya.
Dia juga mengimbau agar masyarakat tidak melakukan upaya anarkis terhadap hewan tersebut. Artinya, siapa pun orang yang berada di wilayah hukum Indonesia, wajib melindungi keberadaan buaya.
“Untuk itu, kami berharap tak ada pihak yang melakukan perbuatan anarkis kepada hewan ini. Karena besar ancamannya hingga berujung pidana,” ungkapnya.
Genman tak menampik bahwa tidak ada manusia yang tak terganggu terhadap keberadaan buaya yang ada di dekatnya. Bahkan buaya juga demikian.
Menurutnya, meskipun habitat mereka tak rusak, keberadaan manusia di sungai itulah yang menyebabkan mereka merasa terganggu dan menjadi waspada.
“Pastinya buaya merasa terganggu, walaupun habitatnya tidak rusak dan warga juga merasa tidak merusak, kita kan belum tahu. Habitatnya buaya itukan luas, sepanjang wilayah sungai. Oleh karenanya kita mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati beraktivitas di sungai,” ujarnya.
Genman berharap agar warga bisa beradaptasi dengan kehidupan buaya di sungai. Di mana sungai memang jadi tempat beranak pinaknya buaya muara.
“Beraktivitas jangan sembarangan, jangan turun ke sungai atau menyentuh air,” pesannya.
Menurutnya, tindakan penangkapan semua buayanya di sungai untuk dimasukkan ke dalam penangkaran tak mungkin dilakukan. Apalagi habitat buaya memang di sungai. Terlebih keberadaan mereka sudah lebih dulu di sana ketimbang manusia. Karenanya, manusialah yang harus mawas diri dan tetap waspada.
“Melindungi satwa liar ini kan bukan hanya menjadi tugas BKSDA. Namun sudah menjadi kewenangan bersama,” bebernya.
Menurutnya, peran pemerintah benar-benar diharapkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di mana pemerintah daerah melalui Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Lingkungan Hidup Kepulauan Meranti harus berperan aktif melakukan pengawasan terhadap kilang sagu yang beroperasi di dalam sungai yang menjadi habitat buaya, agar tidak lagi membuang limbah ke dalam sungai.
“Maka dari itu di sinilah keberadaan pemerintah benar-benar diperlukan. Seperti mengatur jalannya usaha di sana sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Seperti keberadaan usaha kilang sagu yang berpotensi menimbulkan rusaknya ekosistem sungai,” ujarnya.
Misalnya, kata dia, air sungai yang semakin mengeruh akibat limbah ampas sagu tentu akan mengganggu buaya. Menurut Genman, walaupun warga tidak merasa merusak habitat buaya, namun secara tidak langsung limbah membuat reptil tersebut terganggu.
“Katakanlah buaya tidak mati, namun makanannya kan ikut mati, jika sudah begitu semua diserang termasuk manusia,” ungkapnya.
“Minimal bersama-sama kita jaga lingkungan sekitar, agar satwa yang ada lingkungan sana mampu untuk berkembang biak. Sehingga kita mampu hidup berdampingan dengan seluruh makhluk hidup di sana,” pungkasnya. (R-01)