Tren Kelapa Sawit 2022: Konglomerat Sawit Berjaya, Rakyat Jelata Sengsara!
SABANGMERAUKE NEWS - Pada tahun 2022 harga CPO sukses mencetak harga tertinggi sepanjang sejarah.
Banyaknya sentimen penggerak seperti kekurangan pekerja di Malaysia, perang Rusia dan Ukraina, dan larangan ekspor CPO dari Indonesia turut menjadi faktor untuk membuat harga CPO tetap tinggi.
Indonesia pun ketiban "durian runtuh", ekspor CPO pada periode Januari - November mencapai US$ 32 miliar, naik lebih dari 8% dibandingkan periode yang sama 2021. Bersama batu bara, CPO sukses menopang neraca perdagangan Indonesia hingga mencatat rekor surplus 31 bulan beruntun.
Tingginya harga CPO tentunya juga membuat juragan sawit kaya raya. Tetapi di sisi lain ada masalah yang ditimbulkan, yakni harga minyak goreng yang sempat meroket, hingga mencekik rakyat jelata.
Pada awal tahun ini, harga CPO mulai menanjak karena turunnya produksi di Malaysia akibat krisis tenaga kerja. Kekurangan tenaga kerja tersebut di sebabkan oleh penutupan perbatasan sebagai upaya menekan virus corona Covid-19 di Malaysia.
Akibatnya, para pekerja imigran pun harus kembali ke negaranya masing-masing. Ada kekurangan lebih dari 75.000 pekerja di kebun, yang menghasilkan potensi produksi sebesar 20%-30%. Sehingga, pasokan sawit dunia terancam. Maklum saja, Malaysia merupakan produsen CPO dunia terbesar kedua setelah Indonesia.
Pasalnya, Indonesia merupakan produsen terbesar CPO di dunia dan menyumbang sekitar 60% dari total pasokan. Sementara itu, Malaysia adalah pemasok terbesar kedua dengan sekitar 25% dari pangsa pasokan global.
Selanjutnya, pada 24 Februari 2022, perang antara Rusia dan Ukraina pun mencuat, meningkatkan potensi hambatan pada pasokan komoditas dunia. Serangan Rusia terhadap Ukraina merusak infrastruktur pelabuhan dan fasilitas ekspor lainnya di Ukraina sehingga menghambat ekspor mereka, terutama di Laut Hitam.
Laut Hitam menyumbang 60% dari produksi minyak bunga matahari dunia dan 76% dari ekspor di pasar dunia.
Sementara itu, sanksi dari negara-negara Barat juga turut memukul pasokan minyak mentah Rusia dan memicu kekhawatiran atas gangguan pasokan jangka panjang.
"Jika perang berhenti pun sanksi terhadap Rusia mungkin tidak akan segera dicabut," tulis analis UOB Kay Hian dalam laporan riset, yang dikutipReuters.
Maka dari itu, pembeli pun beralih pada minyak nabati alternatif, seperti CPO. Sehingga permintaan akan CPO pun kembali melonjak.
Setelahnya, harga CPO stabil diperdagangkan pada kisaran MYR 6.000-7.000/ton. Harga tersebut dinilai cukup tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata harga CPO pada tahun-tahun sebelumnya yang biasanya diperdagangkan sekitar MYR 3.000-4.000/ton.
Di sisi lainnya, perang Rusia-Ukraina membuat permintaan pada CPO melonjak, tapi sayangnya produksinya tidak sebanding. Sebab Malaysia mengalami kekurangan tenaga kerja di kebun sawit dan cuaca hujan yang lebat membuat angka produksi CPO menurun.
Bahkan, Indonesia yang merupakan produsen utama CPO dunia harus mengalami kekurangan persediaan CPO.
Per 16 Maret 2022, harga rata-rata minyak goreng kemasan bermerek I di pasar tradisional seluruh Indonesia Raya adalah Rp 20.750/kg, mengutip catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS). Ini adalah yang tertinggi sejak 28 Februari 2022.
Selain itu, harga minyak goreng di tingkat ritel modern seperti Alfamart terpantau dijual dengan harga Rp 50 ribu ke atas untuk dua liter.
Kenaikan harga minyak goreng tentu akan berdampak ke inflasi dan kemudian daya beli. Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyebut bobot minyak goreng dalam keranjang inflasi nasional pada Februari 2022 adalah 1,09%. Bobot itu hampir sama dengan rokok kretek filter dan daging ayam ras.
"Dengan asumsi harga minyak goreng naik dari Rp 14.000/liter menjadi Rp 22.000/liter, maka bisa menambah inflasi 0,6%. Tahun lalu, minyak goreng menyumbang 0,31% dari inflasi tahunan yang 1,87%," sebut Satria dalam risetnya.
Guna menjaga angka persediaan minyak goreng di dalam negeri, Presiden Indonesia Joko Widodo memutuskan untuk melarang ekspor CPO dan produk turunannya sejak 28 April - 22 Mei 2022.
Aturan teknis pelarangan pun terbit yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No 22/2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil.
Industri minyak goreng di Indonesia sangat besar dengan porsi konsumsi CPO untuk pangan mencapai 84%.
Jokowi meminta kesadaran industri minyak sawit untuk memprioritaskan dan mencukupi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Ia meyakini dengan kapasitas produksi yang ada kebutuhan minyak goreng dalam negeri dapat dengan mudah tercukupi.
Dampaknya, pada akhir perdagangan Jumat (29/5/2022) harga CPO ditutup di 7.104 ringgit/ton. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah. Sebelumnya, harga CPO di Bursa Malaysia melesat 11,79%, secara point-to-point.
Dewan produsen minyak sawit dunia atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) yang beranggotakan Indonesia dan Malaysia mencatat, negara konsumen utama minyak sawit dunia adalah India dan China.
Tahun 2020/2021, CPOPC memproyeksikan India mengimpor 8,5 juta ton minyak sawit dan diprediksi naik jadi 8,6 juta ton di periode 2021/2022. China menyusul dengan estimasi impor 6,8 juta ton di tahun 2020/2021 dan bakal melonjak jadi 7,2 juta ton di tahun 2021/2022. Lalu 27 negara di Uni Eropa diprediksi butuh 6,2 juta ton pada 2020/2021 dan akan naik jadi 6,9 juta ton pada 2021/2022. Dengan estimasi total pasokan ke negara lainnya mencapai 26,1 juta ton di tahun 2020/2021 dan diprediksi naik jadi 27,9 juta ton di 2021/2022, CPOPC memproyeksikan impor minyak sawit dunia mencapai 47,6 juta ton di tahun 2020/2021 dan naik jadi 50,6 juta ton tahun 2021/2022. Di mana, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, Indonesia memproduksi 51,3 juta ton minyak sawit mentah di tahun 2021. Sebanyak 46,88 juta ton adalah CPO dan 4,41 juta ton lainnya minyak sawit mentah inti (crude palm kernel oil/ CPKO).
Dampak dari larangan ekspor CPO pun berimbas pada berkurangnya penerimaan negara.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan, pembatasan sementara ekspor CPO dan turunannya berdampak terhadap pengurangan pungutan bea keluar pada bulan Mei sekira Rp 900 miliar.
"Dari perkiraan kami, pembatasan sementara ekspor CPO dan turunannya ini paling tidak mengurangi sekira 1,6 juta ton ekspor CPO selama satu bulan. Sehingga dampaknya ke bea keluar sekira Rp 900 miliar," ujar Askolani dalam konferensi APBN Kita Edisi Mei 2022, Senin (23/5/2022).
Kebijakan larangan ekspor CPO dan produk ini, kata Askolani juga berdampak terhadap menurunnya devisa negara sebesar US$ 2,2 miliar atau setara Rp 34,2 triliun (kurs Rp 15.590/US$).
Ketika persediaan minyak goreng dalam negeri sudah mulai membaik, pemerintah RI pun akhirnya memutuskan untuk membuka keran ekspor CPO dan turunanya pada 23 Mei 2022.
Namun, sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan aturan kebutuhan domestik (domestic market obligation/ DMO) dan harga berlaku domestik (domestic price obligation/ DPO) untuk minyak sawit, yang akan diatur oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mengacu pada kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Akibat larangan ekspor CPO Indonesia tersebut, India yang merupakan importir terbesar CPO Indonesia beralih pada minyak saingan, membuat impor minyak sawit per Mei 2022 ambles 10% ketimbang pada bulan sebelumnya.
Pembelian yang berkurang dari India, tentunya akan membebani pasar minyak nabati dunia.
India hanya mengimpor 514.022 ton minyak sawit pada Mei yang turun dari 572.508 ton pada April. Sementara itu, India telah menaikkan impor minyak kedelai sebanyak 37% menjadi 373.043 ton dan menambah impor minyak bunga matahari lebih dari dua kali lipat ke 118.482 ton. Kedua minyak tersebut menjadi alternatif dari minyak kelapa sawit.
Tidak hanya itu, India dikabarkan akan mulai mengurangi impor CPO secara signifikan dengan mengambil langkah-langkah strategis dengan membuka lahan dan perkebunan kelapa sawit di Telangana.
India mengkonsumsi sekitar 24 juta ton minyak nabati setiap tahun, di mana sekitar 10,5 juta ton kebutuhan dipenuhi melalui produksi dalam negeri sedangkan 13,5 juta ton sisanya diimpor.
Dari nilai impor, sekitar 8-8,5 juta ton adalah minyak sawit dan 45% di antaranya berasal dari Indonesia dan sisanya dari negara tetangga Malaysia. Bahkan, melansir data Reuters, India merupakan importir utama CPO Indonesia, dengan porsi impor mencapai 21,3% dari total impor CPO pada tahun 2016-2020.
Namun, seperti yang diwartakan Reuters, tingginya harga CPO membuat impor India membengkak dan memicu inflasi. Bahkan, pada 2021, impor minyak nabati India mencapai US$ 18,9 miliar, sehingga membuat defisit neraca perdagangan membengkak.
Kini pemerintah India mulai membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit di daerah Telangana, dengan target 2 juta hektar dalam 4 tahun ke depan.
Jika target tersebut tercapai, maka wilayah Telangana diperkirakan akan bisa memproduksi CPO hingga 4 juta ton per tahun dalam 7 sampai 8 tahun ke depan.
Di saat bersamaan, China masih memberlakukan kebijakan zero Covid, di mana akan kembali me-lockdown wilayah apabila ada kasus infeksi baru. Refinitiv Agriculture Research memperingatkan bahwa kekhawatiran akan permintaan yang lebih sedikit dari China bisa menekan harga CPO.
Permintaan akan CPO pun berkurang, sehingga persediaan CPO dari Indonesia dan Malaysia meningkat. Hal tersebut membuat harga CPO pun kembali diperdagangkan di sekitar MYR 3.800-4.000/ton.
Seiring dengan berkurangnya permintaan CPO dan melimpahnya persediaan CPO, pemerintah Indonesia pun kembali merencanakan akan meningkatkan program biodieselnya guna menyerap kelebihan pasokan.
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil. Hal tersebut juga sejalan dengan mimpi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060, dengan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan sebesar 23% pada 2025.
Sejatinya, program biodiesel sudah berjalan sejak 2016 melalui program B20 dan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Indonesia patut bangga, pasalnya kita menjadi negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B20 dengan menggunakan bahan baku utama yang bersumber dari kelapa sawit. Pada 2018, Minesota dan AS menyusul. Adapun Kolombia baru memulai tahap B10 pada 2011 dan Malaysia mengimplementasi B10 pada 2019.
Dengan pengimplementasian program biodiesel, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatatkan beberapa manfaat mulai dari aspek ekonomi serta lingkungan. Pada 2018, program biodiesel berhasil menghemat devisa hingga Rp 26,67 triliun dan terus bertambah menjadi Rp 63,39 triliun pada 2020.
Selain itu, program biodiesel turut membuka lapangan pekerjaan khususnya petani sawit hingga mencapai 1,2 juta orang pada 2020. Program tersebut juga dapat menurnkan emisi gas rumah kaca mulai dari 5,61 juta ton CO2 pada 2018 hingga 14,25 juta ton CO2 pada 2020.
Sementara itu, pada tahun ini, Kementerian ESDM memiliki target untuk menurunkan sebesar 91 juta ton CO2.
Pada awal bulan ini, Presiden RI Joko Widodo kembali memerintahkan untuk melaksanakan mandatori program campuran biodiesel 35% dengan BBM solar atau dikenal dengan B35 yang akan mulai di implementasikan pada 1 Januari 2023.
Kementerian ESDM menetapkan alokasi biodiesel untuk B35 pada 2023 mencapai 13.148.594 kilo liter (kl), naik dari alokasi 2022 sebesar 11.025.604 kl. Pada 2022 pemerintah masih memberlakukan program B30.
Hal ini dengan asumsi konsumsi diesel/Solar di Indonesia pada tahun depan mencapai 37.567.411 kl, naik 3% dari proyeksi tahun ini 36.475.050 kl.
Pada 2023, harga CPO diproyeksikan sedikit lebih rendah oleh Kenanga Investment Bank Bhd Malaysia. Sebelumnya Kenanga memproyeksikan rata-rata harga CPO akan mencapai 4.000 ringgit/ton tahun depan, kini dalam proyeksi terbarunya diturunkan menjadi 3.800 ringgit/ton.
"Kami memperkirakan rata-rata harga CPO di 3.800 ringgit/ton pada 2023, 5% lebih rendah dari proyeksi kami sebelumnya 4.000 ringgit/ton. Meski proyeksi diturunkan, tetapi harga CPO masih tetap tinggi sebab permintaan minyak nabati untuk kebutuhan sehari-hari masih tinggi," kata bank investasi tersebut, sebagaimana dikutip The Edge Markets, Jumat (16/12/2022).
Kenanga juga melihat pasar minyak nabati akan mulai tumbuh tahun depan, hal ini akan menjaga harga CPO masih tetap tinggi.
Meski lebih rendah dari level saat ini, tetapi 3.800 ringgit per ton, masih tergolong tinggi jika melihat harga 10 tahun terakhir.
Namun, hal berbeda. Analis terkemuka Dorab Mistry Direktur Godrej International memprediksikan bahwa harga CPO acuan dunia akan diperdagangkan antara MYR 3.500-5000/ton pada periode Desember 2022 hingga akhir Mei 2023 karena persediaan di dua negara produsen terbesar dunia yakni Indonesia dan Malaysia akan menipis.
"Stok Malaysia akan ditarik hingga Mei 2023 dan akan berada di bawah 2 juta ton. Program (pencampuran) B35 Indonesia dapat membuat stok terbatas pada paruh pertama 2023," kata Mistry dalam konferensi industri pada hari Sabtu dikutip Reuters.
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia akan memberlakukan program biodiesel B35 pada 1 Januari 2023, meningkat dari program sebelumnya yang hanya B30 untuk beralih ke energi yang lebih bersih.
Selain itu, Mistry juga memproyeksikan bahwa output produksi CPO Malaysia telah dibatasi oleh kekurangan tenaga kerja pada tahun ini, tapi produksi akan meningkat sekitar 19 juta ton pada 2023 dan produksi CPO Indonesia tahun depan bisa naik 1,5 juta ton.