PTUN Perintahkan KLHK Segel Fasilitas Migas PT Pertamina Hulu Rokan, Yayasan Menara: Jalan Akses Mereka Bikin Perambahan SM Balairaja Massif!
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru mengabulkan gugatan Yayasan Menata Nusa Raya (Menara) kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia dkk soal keberadaan kebun serta pabrik kelapa sawit dan instalasi sumur minyak di hutan konservasi Suaka Margasatwa (SM) Balairaja, Bengkalis, Riau.
Dalam amar putusan yang ditetapkan Rabu (14/12/2022) kemarin, majelis hakim secara khusus mewajibkan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK melakukan penegakan hukum dan penghentian aktivitas di luar fungsi kehutanan yang telah terjadi di hutan konservasi tersebut.
“Melakukan penyegelan, pemasangan plang dan penyidikan dan atau tindakan penegakan hukum lainnya sesuai undang-undang yang berlaku sampai telah dilakukannya pemulihan atau pengelolaan lingkungan hidup,” demikian petikan putusan PTUN Pekanbaru.
Ketua Tim Hukum Yayasan Menara, Dr © Surya Darma Sag, SH, MH mensinyalir, keberadaan sumur dan instalasi migas yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) itu telah membuka akses publik ke kawasan SM Balairaja. Ia menyebut setidaknya ada 5 sumur migas di kawasan tersebut yang diawali oleh pembangunan jalan poros dan jalan cabang ke sumur migas sepanjang 12 kilometer.
“Pembangunan sumur minyak tersebut telah menjadikan akses terbuka ke Suaka Margasatwa Balairaja. Jalan akses yang dibangun menuju sumur tersebut telah dipergunakan oleh banyak orang menuju SM Balairaja yang kemudian secara massif melakukan pembangunan kebun sawit di dalam SM Balairaja,” kata Surya Darma, Kamis (15/12/2022).
Menurutnya, sejak pembangunan sumur minyak pada tahun 1997 lalu, sejumlah pihak secara membabi-buta membuka kebun sawit di SM Balairaja. Sejak tahun 1998, ramai terjadi pembukaan kebun kelapa sawit di SM Balairaja.
“Pembangunan instalasi migas itu turut mempercepat deforestasi dan alih fungsi secara ilegal Suaka Margasatwa Balairaja,” tegas Surya.
Ia meminta PT PHR yang mengelola fasilitas migas tersebut setelah ditinggalkan oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 9 Agustus 2021 lalu, bertanggung jawab secara hukum berdasarkan putusan PTUN Pekanbaru.
Vice President Corporate Affairs PT PHR Rudi Ariffianto menyatakan pihaknya belum menerima salinan putusan PTUN Pekanbaru terkait gugatan Yayasan Menara tersebut. Ia hanya menyatakan kalau PT PHR senantiasa mematuhi aturan dan undang-undang yang berlaku sebagai landasan hukum kegiatan operasi.
“Mengenai pemberitaan di media yang menyebutkan putusan PTUN Pekanbaru terkait fasilitas migas PHR di kawasan konservasi Balai Raja, PHR belum menerima salinan resmi dari putusan dimaksud,” terang Rudi.
Kekalahan Beruntun Menteri LHK
Gugatan Yayasan Menara terhadap Menteri LHK dkk mempersoalkan tanggung jawab pemerintah dalam menjaga dan menyelamatkan hutan konservasi Suaka Margasatwa Balairaja di Bengkalis yang telah porak-poranda akibat pembangunan pabrik dan kebun kelapa sawit.
Ini adalah kekalahan beruntun kali kedua Menteri LHK dkk di PTUN Pekanbaru menghadapi gugatan organisasi lingkungan. Bulan lalu, Yayasan Riau Madani juga memenangkan gugatan terhadap Menteri LHK dalam kasus pembangunan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Pelalawan.
Dalam putusan yang ditetapkan Rabu kemarin, Menteri LHK diperintahkan oleh majelis hakim PTUN Pekanbaru melakukan pemulihan kawasan Suaka Margasatwa Balairaja di Bengkalis, Riau yang telah menjadi kebun dan pabrik kelapa sawit serta dipergunakan untuk pembangunan fasilitas minyak dan gas.
Yayasan Menata Nusa Raya (Menara) dan Yayasan Riau Madani selama ini dikenal gencar melakukan upaya litigasi terhadap pelaku alih fungsi hutan secara ilegal, termasuk menggugat Menteri LHK yang dinilai lalai dalam melakukan pengawasan dan pengamanan hutan.
“Mewajibkan Tergugat I (Kepala BBKSDA Riau), Tergugat II (Menteri LHK) dan Tergugat III (Dirjen Gakkum KLHK) bersama-sama untuk melakukan tindakan pemerintahan berupa pemulihan terhadap kerusakan lingkungan hutan konservasi Suaka Margasatwa (SM) Balairaja” demikian petikan putusan hakim PTUN Pekanbaru.
Tindakan pemulihan yang dimaksud oleh hakim dilakukan dengan cara menebang seluruh tanaman kelapa sawit, membongkar pabrik kelapa sawit, melakukan pengelolaan lingkungan hidup terhadap sumur-sumur minyak dan gas beserta sarana penunjangnya yang masuk dalam kawasan SM Balairaja.
“Serta melakukan penanaman kembali (reboisasi) dengan jenis tumbuhan yang sesuai dengan fungsi hutan konservasi SM Balairaja,” kata hakim dalam putusannya.
Majelis hakim juga melakukan terobosan penting yang mana salah satu amar putusannya bukan merupakan apa yang dimohonkan dalam gugatan penggugat (ultra petita). Hakim berkeyakinan bahwa dalam gugatan berkaitan dengan lingkungan, ultra petita dapat dikesampingkan demi penyelamatan dan kelestarian lingkungan (Indu Bio Pro Natural).
Putusan ultra petita tersebut yakni mewajibkan Menteri LHK untuk menerbitkan Pedoman Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kegiatan Penambangan/ Pengeboran dan Pemeliharaan sumur minyak dan gas di SM Balairaja. Diketahui sejumlah sumur minyak dan fasilitas migas yang kini dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dibangun di dalam kawasan hutan konservasi SM Balairaja.
Dalam putusannya, hakim juga mewajibkan Kepala BBKSDA Riau dan Dirjen Gakkum Kementerian LHK melakukan penegakan hukum dengan menghentikan kegiatan pemanfaatan pada areal SM Balairaja yang telah dijadikan perkebunan kelapa sawit, pabrik kelapa sawit dan sumur migas beserta sarana penunjangnya.
“Dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan atau tindakan penegakan hukum lainnya,” tulis hakim dalam putusannya.
Majelis hakim juga mewajibkan Menteri LHK dan Tergugat II Intervensi (PT Pertamina Hulu Rokan) dan Tergugat II Intervensi 2 ( PT Tengganau Mandiri Lestari) melalui Menteri LHK untuk menanggung seluruh kerugian lingkungan hidup atas biaya pemulihan, pengelolaan dan reboisasi atas kerusakan SM Balairaja.
“Nilainya ditentukan dengan perhitungan riil sesuai dengan tanggungannya masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” demikian amar putusan tersebut.
Adapun putusan perkara nomor: 35/G/TF/2022/ PTUN. PBR dijatuhkan oleh trio majelis hakim yang diketuai oleh Cusi Aprilia Hartanti SH dan dua anggota majelis hakim Erick Sihombing SH dan Misbah Hilmy SH.
Putusan Hakim Pro Lingkungan
Menanggapi putusan hakim PTUN Pekanbaru yang mengabulkan gugatannya, Ketua Tim Hukum Yayasan Menara, Dr © Surya Darma Sag, SH, MH mengaku sangat mengapresiasi majelis hakim yang sangat peka dengan penyelamatan lingkungan dan hutan. Menurutnya, kebijaksanaan hakim dalam merumuskan putusan tersebut menjadi nafas baru bagi upaya penyelamatan hutan Riau yang sudah porak-poranda oleh aktivitas ilegal, khususnya disulap menjadi kebun kelapa sawit.
Surya mengapresiasi keberanian trio majelis hakim yang mengesampingkan ultra petita dalam perkara terkait lingkungan hidup.
“Terobosan atas kebijaksanaan hakim dalam merumuskan putusan yang pro lingkungan ini menjadi energi baru bagi kami untuk terus berjuang dalam upaya penyelamatan hutan, sekaligus menjadi cambuk dan pukulan bagi pemerintah untuk menjalankan tanggung jawab konstitusinya menjaga dan menyelamatkan hutan,” tegas Surya Darma.
Perkara terkait SM Balairaja ini telah menempuh sebanyak 16 kali persidangan, termasuk sidang lapangan (pemeriksaan setempat). Dalam sidang lapangan yang digelar 14 November lalu, memang ditemukan fakta adanya sejumlah fasilitas yang dibangun di kawasan Suaka Marga Satwa Balairaja. Bahkan, perkebunan kelapa sawit telah mendominasi kawasan tersebut, termasuk fasilitas migas.
Surya Darma menegaskan, gugatan tersebut dilakukan karena menilai hanya lewat mekanisme hukum peradilan kawasan Suaka Margasatwa Balairaja dapat dipulihkan kembali setelah ‘dijajah’ sekalian lama oleh oknum-oknum, termasuk korporasi.
“Selama ini kami melihat adanya pembiaran secara sistematis terhadap kondisi Suaka Margasatwa Balairaja. Sampai satwa-satwa liar dilindungi seperti gajah sumatera dan harimau sumatera sudah hilang habitatnya dan berserak ke mana-mana,” tegas Surya.
Yayasan Menara menggugat Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Menteri LHK dan Dirjen Gakkum Kementerian LHK ke PTUN Pekanbaru. Dalam perkembangannya, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) masuk menjadi tergugat II Intervensi dan PT Tengganau Mandiri Lestari sebagai Tergugat II intervensi 2.
Gugatan didaftarkan Yayasan Menara melalui kuasa hukumnya M Nur SH dengan nomor registrasi perkara 35/G/TF/2022/PTUN.PBR pada Kamis, 30 Juni 2022 lalu.
Gugatan Yayasan Menara terkualifikasi pada perkara tindakan administrasi pemerintah/ tindakan faktual. Menteri LHK, BBKSDA Riau dan Dirjen Gakkum KLHK dinilai lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga dan pengelola kawasan konservasi Suaka Margasatwa Balairaja.
Dalam gugatannya, Yayasan Menara menengarai ada pabrik kelapa sawit, perkantoran, perumahan dan fasilitas lain dibangun oleh Koperasi Tengganau Mandiri di dalam kawasan hutan Suaka Margasatwa Balairaja. Kini, menurut Yayasan Menara, pabrik kelapa sawit itu dikelola oleh PT Tengganau Mandiri.
SM Balairaja Nyaris Lenyap
Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja ditunjuk melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986. Luas kawasan 18.000 hektar terletak Kabupaten Bengkalis.
Penetapan kawasan SM Balairaja dilakukan berdasarkan SK Menhut Nomor : 3978/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 23 Mei 2014 dengan luas 15.343,95 hektar. Secara administrasi pemerintahan Suaka Margasatwa Balai Raja terletak di Kecamatan Mandau dan Pinggir Kabupaten Bengkalis.
Berdasarkan pengelolaan wilayah kerja, Suaka Margasatwa Balai Raja berada di wilayah kerja BBKSDA Riau pada Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II yang dibantu oleh Seksi Konservasi Wilayah III.
Sejak ditetapkan pada 2014 lalu dan sebelumnya, kondisi SM Balairaja sudah hancur porak-poranda. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan konservasi secara ilegal marak terjadi, tanpa ada upaya pengamanan dan penegakan hukum yang serius.
Kini, kawasan SM Balairaja hanya tinggal secuil yang masih dapat dipertahankan dalam bentuk tegakan hutan. Sementara, ribuan hektar lainnya sudah disulap menjadi kebun sawit maupun kawasan pemukiman. Kondisi SM Balairaja diprediksi bakal lenyap karena minimnya upaya pemulihan kawasan hutan tersebut.
Akibat hancurnya SM Balairaja, konflik satwa liar di dengan manusia di daerah ini pun cenderung tinggi. Khususnya ancaman terhadap habitat dan populasi satwa liar dilindungi harimau dan gajah Sumatera yang kian kritis. (*)