Pancing Minat Investor Blok Migas, Kementerian ESDM Rancang Skema Simplified Gross Split, Apa Itu?
SABANGMERAUKE NEWS - Untuk meningkatkan produksi migas demi ketahanan energi nasional, Pemerintah mendorong pengembangan migas non konvensional (MNK), antara lain melalui modifikasi skema Gross Split menjadi New Simplified Gross Split PSC atau skema bagi hasil Gross Split yang disederhanakan.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menerangkan, usulan skema kontrak kerja sama itu dikenal juga sebagai simplified gross split atau gross split yang disederhanakan untuk mendorong pengembangan lapangan migas nonkonvensional.
“Nanti split fixed sepanjang kontrak, bagi hasil sebelum tax ditentukan di awal kontrak dan bersifat tetap atau statis tanpa penyesuaian komponen variable dan progresif seperti pada skema gross split PSC [production sharing contract] terdahulu,” kata Tutuka saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII di DPR, Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Tutuka menambahkan, skema PSC anyar itu bakal menawarkan fleksibilitas pengadaan barang dan jasa untuk menunjang kegiatan eksploitasi lapangan migas nonkonvensional.
“Skema ini menyerupai model revenue tax or royalty, skema pengembangan shale oil yang sudah proven di Amerika Serikat,” tuturnya.
Dia menjelaskan, dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, bagi hasil didasarkan pada base split, komponen variable, dan komponen progresif.
Dalam skema ini, tidak diperlukan persetujuan biaya, melainkan hanya persetujuan program kerja. Hal ini dinilai dapat membawa konsekuensi untuk dilakukan verifikasi.
“Saat ini gross split yang ada, hitungannya bisa membawa konsekuensi untuk dilakukan verifikasi. Misalnya, kedalaman berapa ditambah sekian split-nya. Ada CO2, tambah sekian. Itu mendorong adanya verifikasi dan ini yang kita coba dorong untuk disederhanakan,” jelasnya.
Adapun, skema gross split baru ini diusulkan karena hingga saat ini belum terdapat cadangan terbukti pada lapangan migas nonkonvensional. Pengembangan lapangan tersebut memerlukan teknologi baru yang belum pernah dilakukan di Indonesia.
Selain itu, secara alamiah proyek lapangan migas nonkonvensional membutuhkan biaya yang besar dan jumlah sumur yang banyak sehingga perlu pengadaan yang cepat dan mudah. Perlu diciptakan rezim fiskal yang atraktif untuk menarik pemain shale oil ke Indonesia.
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mendorong sejumlah insentif fiskal untuk menarik minat investor mengerjakan wilayah kerja migas nonkonvensional di tengah mandeknya lifting migas di blok konvensional.
Paket insentif fiskal itu untuk menjawab potensi cadangan migas nonkonvensional yang dianggap prospektif di beberapa wilayah kerja. Berdasarkan proyeksi SKK Migas, cadangan migas di wilayah kerja nonkonvensional itu mencapai 6,3 miliar barel, sedangkan gas di kisaran 6,1 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF).
“Pada prinsipnya migas nonkonvensional ini potensinya ada tetapi untuk pengembangannya membutuhkan pengetahuan, pengembangan yang baru kita harus bisa sangat efisien oleh karena itu perlu regulasi dan dukungan fiskal tertentu,” kata Plt. Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Mohammad Kemal.
Kemal mengatakan, lembanganya tengah mendorong kebijakan fiskal dan pengaturan yang efisien berkaitan dengan karakteristik pengembangan WK migas nonkonvensional yang menuntut relaksasi pada sektor logistik pengeboran.
“Yang pasti di Amerika regulasinya tax and royalty benar-benar sangat sedikit birokrasi dan fleksibel begitu karena migas nonkonvensional sangat membutuhkan itu,” kata dia.
SKK Migas mengidentifikasi terdapat tiga wilayah kerja nonkonvensional prospektif yang tersebar di Blok Rokan, beberapa wilayah kerja di Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur. Adapun, PT Pertamina (Persero) telah menjalin kerja sama dengan salah satu produsen migas nonkonvensional asal Midland, Amerika Serikat terkait dengan upaya pengembangan blok milik mereka sejak tahun lalu. (RE-01)