Timpali Protes Bupati Meranti Soal DBH Migas, Jikalahari Sebut Kemiskinan Ekstrem karena Korporasi Hutan: Kapan Bupati Desak Cabut Izinnya!
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Protes keras Bupati Kepulauan Meranti HM Adil soal ketidakadilan pembagian dana bagi hasil migas ditimpali nada dukungan oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). Organisasi ini bahkan menyebut kalau kemiskinan ekstrem masyarakat kabupaten termuda di Riau tersebut juga karena eksploitasi lahan oleh korporasi kehutanan.
Jikalahari juga ‘menantang' Bupati Adil untuk mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di wilayahnya. Termasuk mengevaluasi seluruh korporasi yang merusak hutan tanah gambut di kabupaten termuda di Riau ini.
Menurut Koordinator Jikalahari, Made Ali, tak hanya eksploitasi minyak yang menyebabkan kemiskinan ekstrem di Kepulauan Meranti. Tetapi juga karena hadirnya sejumlah korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Berdasarkan temuan Jikalahari, dari 362.591.76 ha luas wilayah Kepulauan Meranti, 126.291,57 ha atau 34.83 persennya dikuasai oleh korporasi.
“Kapan M Adil mengevaluasi dan mendesak KLHK mencabut izin PT RAPP di Meranti? Termasuk mengevaluasi seluruh korporasi yang merusak hutan tanah gambut di Meranti?” kata Made lewat siaran pers, Selasa (13/12/2022).
Diberitakan sebelumnya, M Adil menyebut kebijakan pusat tak berpihak pada upaya pengentasan kemiskinan ekstrem di daerahnya. Ia menyebut soal pembagian dana bagi hasil (DBH) Migas yang diperoleh Kepulauan Meranti sangat kecil, meski merupakan daerah penghasil.
Hal itu disampaikannya saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Optimalisasi Pendapat Daerah di Kota Pekanbaru, Kamis (8/12/2022) lalu. Bupati Kepulangan Meranti ini menyebut pendapatan dari dana bagi hasil migas di Kepulauan Meranti tidak jelas penghitungannya.
“Uang kami dihisap sama pusat, kami itu daerah miskin, daerah ekstrem,” kata M Adil.
Belakangan, ucapan Adil melebar pada tudingan keras ke Kementerian Keuangan RI. Ia sempat mempertanyakan apakah pegawai Kemenkeu iblis atau setan. Sangking kesalnya, Adil bahkan menyebut soal angkat senjata dan pindah ke negeri tetangga.
Sementara itu, menurut Made, kehadiran korporasi di Kepulauan Meranti bukan hanya menyebabkan kemiskinan ekstrem. Tetapi juga menimbulkan konflik, merusak hutan dan gambut, dan menimbulkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Jikalahari menyebut sejumlah korporasi yang beroperasi di wilayah Kepulauan Meranti yaitu PT RAPP, PT Lestari Unggul Makmur, PT Perkasa Baru, PT Sumatera Riang Lestari, PT National Timber & Forest Products, serta PT Tani Swadaya Perdana.
Jikalahari mengungkit salah satu konflik yang terjadi antara masyarakat Pulau Padang dengan PT RAPP. Konflik ini, kata Made, muncul sejak PT RAPP mendapatkan izin IUPHHK-HTI berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 327/Menhut-II/2009 seluas 41.205 ha di Pulau Padang. Masyarakat menolak lantaran hutan mereka yang menjadi sumber kehidupan dikelola oleh PT RAPP.
Kala itu berbagai aksi dilakukan oleh masyarakat, namun hingga kini konflik tersebut belum selesai.
“Konflik ini terjadi sudah bertahun-tahun, masyarakat menjadi korban dan miskin di tanahnya sendiri hingga hari ini,” kata Made Ali.
Made mengutip soal Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Inpres tersebut bertujuan memastikan ketepatan sasaran dan integrasi program antarkementerian atau lembaga serta melibatkan peran serta masyarakat lokal sebagai prioritas percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Dalam Inpres tersebut, kata Made, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional diinstruksikan menyediakan lahan melalui penataan aset dan akses, serta memfasilitasi legalitas lahan yang akan dimanfaatkan sebagai objek bantuan dalam mendukung percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diinstruksikan mempercepat pemberian akses kelola dan peningkatan kapasitas kelompok usaha perhutanan sosial dan multiusaha kehutanan.
“Inpres ini bisa menjadi dasar untuk melakukan penataan aset dan evaluasi terhadap izin korporasi yang ada di Kabupaten Kepulauan Meranti. Salah satunya, PT RAPP yang berkonflik dengan masyarakat Pulau Padang,” jelas Made. (RE-02)
Selengkapnya Baca Di Sini