Bertambah Lagi! KLHK Tetapkan 241 Pengelola Hutan Tanpa Izin, Aktivis Tuntut Transparansi Penetapan Denda Kebun Sawit
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya kembali menambah daftar pengelola (subjek hukum) kawasan hutan tanpa izin. Dalam surat keputusan terbarunya, ada sebanyak 241 subjek hukum baru yang telah didata untuk program pengampunan keterlanjuran usaha dalam kawasan hutan tanpa perizinan kehutanan.
Tambahan 241 subjek hukum tersebut ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri LHK Siti Nurbaya yang diteken pada 30 November 2022 lalu. Adapun penetapan subjek hukum tersebut tertuang dalam SK Menteri LHK Nomor: SK.1205/ MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/ 11/ 2022 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan.
SK Menteri LHK tersebut adalah gelombang kesembilan yang pernah diterbitkan oleh KLHK. Sebelumnya, sejak tahun 2021 hingga Oktober 2022, Menteri Siti Nurbaya telah meneken 8 SK yang memuat data sebanyak 1390 subjek hukum penguasa hutan tanpa izin.
Dengan demikian, hingga saat ini sudah ada total 1.631 subjek hukum yang teridentifikasi menguasai kawasan hutan tanpa izin kehutanan. Ribuan subjek hukum tersebut didominasi oleh usaha kebun kelapa sawit, baik yang digarap oleh korporasi, koperasi, kelompok tani, kelompok masyarakat maupun individu perorangan.
Khusus SK Menteri LHK kesembilan yang memuat sebanyak 241 subjek hukum ini, didominasi pengelolaan oleh individu, kelompok tani dan koperasi yang berada di wilayah Provinsi Riau mencapai hingga 70 persen.
KLHK akan menjadikan data 1.631 subjek hukum penguasa hutan tanpa izin tersebut untuk diselesaikan lewat mekanisme yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di mana, kebun sawit dalam kawasan hutan akan dikenai sanksi dan denda administrasi dalam bentuk pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR) dan denda administrasi.
Adapun acuannya yakni pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja serta instrumen turunannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
KLHK Didesak Transparan
Penetapan subjek hukum penguasa kawasan hutan tanpa izin oleh Kementerian LHK itu langsung direspon ultimatum oleh Sekretaris DPP Pemuda Bravo V yang juga praktisi sosio-legal, Ahmad Zazali SH, MH.
Zazali mengunggah desakannya agar KLHK bekerja secara transparan dan akuntabel dalam proses penetapan denda administrasi. Ia juga mewanti-wanti soal potensi dugaan lobi melobi dalam upaya menurunkan besaran denda administrasi yang disetor sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ini adalah desakan kali ketiga yang digencarkan oleh Zazali ke KLHK.
Ia meminta agar KPK secara aktif mengawasi proses penetapan denda kebun sawit dalam kawasan hutan yang jumlahnya diperkirakan bakal menembus puluhan triliun rupiah.
Zazali yang merupakan praktisi senior resolusi konflik dan sumber daya alam ini juga mengingatkan agar tidak terjadi politisasi dan agenda politik 2024 dalam proses penetapan sanksi administrasi kepada subjek hukum.
"Dorong transparansi dan akuntabilitas. Cegah lobi-lobi menurunkan denda. Cegah politisasi menuju 2024. KPK awasi KLHK," tulis Zazali dalam unggahannya di Facebook, Senin (12/12/2022) kemarin.
Desakan Transparansi Terus Bergulir
Desakan terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk transparan dalam proses penetapan denda administratif kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan kian bergulir. Menteri LHK Siti Nurbaya diminta untuk membuka data proses penetapan denda tersebut ke publik.
"Atas dasar apapun, tidak boleh proses penetapan denda kebun sawit dalam kawasan hutan dilakukan dalam ruang terbatas apalagi tertutup. Karena ini menyangkut penerimaan keuangan negara yang cukup besar, maka KLHK harus transparan agar publik dapat ikut mengawasi, termasuk institusi lain dan aparat penegak hukum," kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Pergerakan Seluruh Advokat Indonesia (PERSADI) Patar Sitanggang SH, MH, Minggu (11/12/2022) lalu.
Patar yang juga merupakan pendiri Relawan Jokowi Center Indonesia (RJCI) kini menjadi Rumah Nawacita, meminta budaya tertutup di KLHK segera diubah. Dari pengalamannya mengadvokasi persoalan lingkungan hidup, Patar mengakui KLHK masih sangat tertutup.
"Dari dulu sampai sekarang yang namanya Kementerian LHK termasuk Kementerian Agraria Tata Ruang/ BPN itu sangat tertutup. Padahal, katanya sekarang sudah era transparansi. Tapi, nampaknya itu masih sangat sulit. Tidak ada perubahan sampai saat ini," kata Patar.
Ia meminta Tim Implementasi UU Cipta Kerja bentukan Menteri LHK dalam penerapan sanksi denda administrasi kebun sawit dalam kawasan hutan melaporkan hasil kerjanya ke publik secara rutin. Menurutnya, jika saja ada political will KLHK untuk transparan, data-data perkembangan proses denda yang sedang dan telah dilakukan harusnya dapat diakses dan dipublikasikan ke masyarakat.
"Sekarang sudah abad medsos. Informasi dapat dengan mudah disebar. Sekarang tergantung political will KLHK apakah ingin transparan. Kami juga meminta Bapak Presiden Jokowi untuk menginstruksikan pembantunya segera membuka data proses denda kebun sawit dalam kawasan hutan tersebut," tegas Patar.
Menurutnya, publik harus dapat mengawasi proses penetapan denda kebun sawit dalam kawasan hutan. Sebab hal tersebut menyangkut dengan cuan yang besar dan setelah ditelaah prosesnya dapat menimbulkan 'permainan' dalam penentuan besaran denda yang harus disetor ke negara.
"Kewenangan penuh penetapan denda kebun sawit dalam kawasan hutan mutlak di tangan KLHK. Dalam kondisi kekuasaan yang relatif mutlak, maka sangat rawan terjadi penyimpangan. Ini yang harus dicegah agar penerimaan negara secara maksimal dapat diperoleh," tegas Patar sembari menyebut isu agraria dan kehutanan selama ini telah menjadi concern dari Rumah Nawacita sejak pemerintahan Presiden Jokowi.
Patar juga menyeru agar PNBP hasil denda kebun sawit dalam kawasan hutan dapat didistribusikan secara adil dan maksimal ke daerah atau provinsi tempat kebun sawit itu berada. Mekanisme pembagian PNBP kebun sawit dalam kawasan hutan harus mempertimbangkan dampak ekologis di daerah dan biaya pemulihan sosial lainnya.
"Setidaknya 60-80 persen PNBP kebun sawit dalam kawasan hutan itu mestinya dikembalikan dan distribusikan ke daerah. Apalagi Provinsi Riau yang memiliki luasan kebun sawit dalam kawasan hutan mencapai 1,4 juta hektar, seharusnya mendapatkan keadilan ekonomi dan ekologi yang setimpal," tegas Patar.
Media ini telah mengonfirmasi Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, Bambang Hendroyono soal jaminan adanya transparansi dan akuntabilitas KLHK dalam proses penetapan denda administrasi terhadap penguasaan kawasan hutan tanpa izin. Bambang yang juga merupakan Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan dan Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Kehutanan bentukan Menteri LHK Siti Nurbaya belum memberikan jawaban.
Menteri LHK Bentuk Satuan Kerja UU Cipta Kerja
Diketahui, kalau Menteri LHK Siti Nurbaya telah membentuk sebuah tim untuk implementasi UU Cipta Kerja dan aturan turunannya di sektor kehutanan. Tim tersebut bernama Satuan Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim ini ditetapkan berdasarkan SK Menteri LHK nomor: SK.203/ Menlhk/ Setjen/ KUM./ 5/ 2021 yang diteken pada 4 Mei 2021 lalu.
Adapun tim ini jumlahnya cukup besar yang meliputi 10 kelompok kerja (pokja). Tim diketuai oleh Sekretaris Jenderal KLHK dan sekretarisnya ditunjuk Roosi Tjandrakirana. Sementara, Menteri LHK dan Wakil Menteri LHK menjadi pengarah.
Untuk posisi Wakil Ketua Tim ditunjuk dua orang yakni Irjen Kementerian LHK dan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Posisi wakil sekretaris juga dipegang oleh dua orang yakni FX Herwirawan dan Sigit Nugroho.
Sementara itu, 6 pejabat Dirjen di lingkungan Kementerian LHK ditunjuk menjadi anggota tim pengarah, termasuk di dalamnya Kepala Badan Standarisasi Instrumen Lingkungan dan Kehutanan.
Tim Satuan Pelaksanaan UU Cipta Kerja Bidang Kehutanan ini juga diisi oleh 5 tenaga ahli yakni Prof San Afri Awang, Prof Asep Warlan Yusuf, Dr Ilyas Assad, Dr Agus Pambagio dan Prof Sigit Hardwinarto.
Tim Satuan Pelaksanaan UU Cipta Kerja ini secara teknis dibagi dalam 10 kelompok kerja (pokja). Yakni Pokja I membidangi sosialisasi, Pokja II membidangi inventory dan analisis konsekuensi implementasi regulasi, Pokja III membidangi standarisasi dan penerapan standar.
Sementara Pokja IV membidangi asistensi perizinan berusaha berbasis risiko (risk based approach). Pokja V membidangi konsolidasi data dan penyelesaian keterlanjuran, Pokja VI membidangi pengembangan dan integrasi sistem tata kelola, Pokja VIII mengurusi finalisasi perhutanan sosial.
Sedangkan Pokja IX membidangi pengembangan kelembagaan dan asistensi daerah serta Pokja X membidangi transisi regulasi dan pengendalian konsekuensi/ ekses.
Cara Perhitungan Denda Administrati
Penyelesaian masalah kebun kelapa sawit ilegal dalam kawasan hutan lewat mekanisme Undang-undang Cipta Kerja menghasilkan cuan jumbo ke pundi-pundi negara. Tarif denda administrasi yang dikenakan bakal membuat negara beroleh dana berjibun.
Terdapat dua pola perhitungan sanksi administrasi yang dijatuhkan kepada pengelola kebun sawit ilegal yang tak mengantongi izin pengelolaan kawasan hutan. Rujukannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Peraturan Pemerintah tersebut merupakan instrumen UU Cipta Kerja khususnya yang termuat dalam pasal 110A dan pasal 110B. Penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan yang menggunakan pasal 110A dikenakan denda berupa pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Acuannya telah ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan.
Nah, bagaimana dengan penerapan pasal 110B terhadap kebun sawit di dalam kawasan hutan?
Berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah, formula perhitungan denda administrasi (D) sebagai tindak lanjut pasal 110B yakni hasil perkalian antara luasan lahan (L), jangka waktu pelanggaran (J) dan tarif denda dari persentase keuntungan pengelola kebun sawit (TD).
Formulanya secara matematika adalah D = L x J x TD.
Jangka waktu pelanggaran ditetapkan berdasarkan usia produktif tanaman kebun sawit. Sementara, tarif denda diperoleh dari perkalian antara pendapatan bersih per tahun dengan tarif denda tutupan hutan.
Penentuan tarif denda dilakukan berdasarkan persentase luas tutupan hutan atau luas kegiatan yang melanggar aturan yang ditentukan melalui informasi citra satelit dan data pendukung lainnya. Dalam ketentuannya ada tiga kelompok tarif denda tutupan hutan yakni skala tinggi (60 persen), skala sedang (40 persen) dan skala rendah (20 persen).
Contohnya, pada kasus kebun sawit dengan luasan pelanggaran 10 ribu hektar dan usia tanaman 15 tahun.
Maka besaran denda administratif yang harus dibayar dengan cara menghitung lebih dulu asumsi keuntungan per hektar. Misalkan keuntungan per tahun mencapai Rp 25 juta setiap hektar kebun sawit. Penetapan keuntungan ini juga dapat menggunakan jasa penaksir (appraisal).
Sedangkan untuk menetapkan jangka waktu produksi yang produktif dihitung mulai tahun keenam umur tanaman. Dengan demikian, masa produksi yang dijadikan perhitungan denda adalah 10 tahun.
Selanjutnya, jika berdasarkan informasi citra satelit diketahui persentase tutupan hutan dulunya pada saat membuka kebun sawit tersebut adalah rendah, maka tarif denda tutupannya yakni sebesar 20 persen. Dengan demikian dapat ditetapkan tarif denda yang ditetapkan yakni hasil keuntungan sebesar Rp 25 juta dikali 20 persen sama dengan Rp 5 juta.
Maka, perhitungan denda administratif yakni menggunakan rumus: D = L x J x TD.
Denda = 10.000 hektare x 10 tahun x Rp 5.000.000. Maka besaran denda administrasi yang harus dibayar yakni Rp 500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah).
Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan di Riau
Sebelumnya, sejak tahun 2021 lalu hingga Agustus 2022, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan sebanyak 8 surat keputusan (SK) tentang hasil inventarisasi kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan di Provinsi Riau. Berdasarkan delapan SK itu setidaknya diketahui ada sebanyak 442 subjek hukum (pengelola kawasan hutan tanpa izin) yang berada di Provinsi Riau. Subjek hukum yang dimaksud tergolong dalam korporasi (perusahaan), kelompok tani dan koperasi, masyarakat individu dan pemerintah.
Sayangnya, dalam delapan SK Menteri LHK itu tidak semua mencantumkan luasan hutan yang dikelola oleh subjek hukum. Dari sebanyak 442 subjek hukum yang terdata, sebagian dikenakan dengan penerapan pasal 110A maupun pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Adapun total luasan yang tercantum yakni sekitar 330 ribu hektar.
Kementerian LHK dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI pernah mengekspos ada kawasan hutan yang dikuasai tanpa izin seluas 1,4 juta hektare di Riau. Dari jumlah tersebut, sekitar 535 ribu hektar diduga dikuasai oleh korporasi. Sisanya dikelola oleh kelompok masyarakat dalam bentuk kelompok tani dan koperasi, perorangan dan pemerintah.
Meski demikian, hingga kini belum diperoleh angka pasti berapa luasan kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa izin di Riau yang dikuasai oleh korporasi. Pihak Kementerian LHK belum pernah mengungkapnya secara terbuka. (*)