Analisis Redaksi
Uang Besar Denda Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan, Apakah Menetes ke Riau?
SABANGMERAUKE NEWS - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menghimpun data ratusan korporasi dan perusahaan di Riau yang mengelola kebun sawit tanpa izin di kawasan hutan. KLHK menyebut dengan istilah subjek hukum untuk kelompok pengelola kawasan hutan tanpa izin tersebut.
Dari delapan surat keputusan yang diteken Menteri LHK Siti Nurbaya sejak 2021 hingga Oktober 2022 lalu, khusus di wilayah Provinsi Riau diduga terdapat 539.177 hektare kawasan hutan yang telah digarap perusahaan menjadi kebun kelapa sawit.
Jumlah tersebut bila dibandingkan dengan paparan KLHK dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI beberapa waktu lalu merupakan bagian dari sekitar 1,4 juta hektar kawasan hutan yang telah beralih fungsi tanpa izin kehutanan. Kemungkinan, terdapat di dalamnya hampir 800 ribu hektar kawasan hutan yang dikuasai mengatasnamakan masyarakat atau kelompok tertentu lainnya.
KLHK sedang menggalakkan program 'pengampunan' dengan dasar keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan. Hal itu merupakan tindak lanjut dari penerapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebuah satuan kerja terpadu telah dibentuk Menteri Siti pada Mei 2021 lalu. Tim diberi nama Satuan Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim ini disahkan lewat SK Menteri LHK nomor: SK.203/ Menlhk/ Setjen/ KUM./ 5/2021 tertanggal 4 Mei 2021 lalu.
Tim yang hanya diisi oleh internal pejabat di KLHK ini memiliki tugas yang cukup kompleks. Salah satunya yakni berkaitan dengan penetapan besaran denda administrasi yang akan dijatuhkan kepada penguasa hutan tanpa izin. Tim ini diketuai oleh Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono.
Adapun dasar penetapan sanksi administratif terhadap kebun sawit dalam kawasan hutan merujuk pada pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Secara teknis, mekanisme dan penetapan besaran denda telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.
Sejumlah pihak mengeritik tentang transparansi dan akuntabilitas tim penetapan denda administrasi oleh KLHK. Praktisi sosio-legal, Ahmad Zazali bahkan meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengawasi penetapan besaran denda administrasi tersebut. Ia bahkan menyeru kepada kalangan NGO agar ikut mengawal dan mendorong transparansi dalam penetapan subjek hukum maupun besaran denda.
Terlepas dari itu semua, jika proses penerapan sanksi administrasi terhadap kebun sawit dalam kawasan hutan ini berjalan on the track dan mulus, maka dipastikan negara akan mendapatkan pundi-pundi yang cukup besar dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pemasukan negara cukup signifikan dalam bentuk pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) dan denda administratif yang dibebankan kepada pemilik usaha kebun sawit dalam kawasan hutan sebagaimana dituangkan dalam pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja.
Pemerintah bahkan telah melakukan simulasi perhitungan terkait denda administratif ini. Dicontohkan, dalam luasan kebun sawit 10 ribu hektar dengan umur tanaman 15 tahun serta tutupan hutan 20 persen berdasarkan citra satelit, maka besaran denda administrasi yang diterima negara mencapai Rp 500 miliar.
Bandingkan dengan luas kebun sawit dalam kawasan hutan yang dikuasai korporasi di Riau saat ini mencapai 539.177 hektare. Taruhlah jika 250 ribu hektare dari luasan tersebut dikenakan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Maka negara akan mendapat cuan mencapai Rp 12,5 triliun.
Jumlah itu jika umur tanaman diestimasi rata-rata 15 tahun dan tutupan hutan ditetapkan 20 persen. Jika saja masa usia tanaman dan tutupan hutan lebih besar dari estimasi yang dipakai, maka uang yang lebih besar akan bisa diperoleh negara.
Riau Dapat Apa?
Cuan besar dari denda administrasi kebun sawit dalam kawasan hutan itu masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sayangnya, hingga saat ini tidak ada ketentuan dan aturan mekanisme penyaluran dana bagi hasil (DBH) pajak ke daerah dari sektor kelapa sawit. DBH yang selama ini ditetapkan pemerintah pusat hanya dari sektor sumber daya alam kehutanan dan migas.
Seharusnya penetapan DBH bersumber dari PNBP denda administrasi kebun sawit dalam kawasan hutan ini tetap mengacu pada sektor kehutanan. Dengan demikian, Provinsi Riau dan daerah tempat subjek hukum penguasa hutan tanpa izin lainnya mendapat cipratan pemasukan dari PNBP tersebut.
Tapi, jika pemerintah pusat memasukkan PNBP tersebut pada komoditi kelapa sawit, maka siap-siap saja pemerintah daerah di Riau akan gigit jari.
Dibutuhkan regulasi khusus mengatur soal distribusi PNBP denda kelapa sawit dalam kawasan hutan ini hingga sampai ke daerah. Pemerintah harus mengedepankan asas keadilan ekonomi, mengingat keberadaan (locus) kebun sawit tersebut ada di daerah.
Selama ini, nyaris daerah tidak mendapatkan cipratan dana yang signifikan dari sektor perkebunan kelapa sawit, selain hanya merasakan dampak ekologis, kerusakan infrastruktur, beban konflik sosial dan ekses lain yang sulit dihitung dengan pendekatan ekonomi dan uang.
Kalangan pemangku kepentingan di Riau harus kembali bersuara untuk merebut DBH dari PNBP denda kelapa sawit dalam kawasan hutan ini. Wakil Riau di Senayan, DPRD, pejabat daerah ormas, LSM dan mahasiswa harus segera dengan lantang menyuarakannya.
Elit daerah tak lagi harus berkelahi di tanahnya sendiri namun abai dengan urusan-urusan yang ditentukan oleh Jakarta. Bertelaga di kampung sendiri hanya akan menjadi tontotan murahan. Segeralah berjuang untuk mendapatkan hak itu. (*)