Siap-siap! Kelapa Sawit Indonesia Kena Black-List, Uni Eropa Setujui Undang-undang Produk Anti Penghancuran Hutan
SABANGMERAUKE NEWS - Tekanan terhadap produk asal Indonesia khususnya kelapa sawit tampaknya makin dilakukan secara sistematis oleh Uni Eropa. Dalam sebuah paket undang-undang yang baru disetujui sejumlah negara maju tersebut, melarang keras komoditi yang bersumber dari penghancuran hutan (deforestasi).
Adapun produk yang disorot dalam UU tersebut di antaranya kopi, minyak sawit, kedelai dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi ke pasar mereka.
Sejumlah negara diprediksi kuat akan terimbas dalam regulasi yang diketuk pada Selasa (6/12/2022) lalu. Selain Indonesia, sejumlah negara lain di antaranya Brasil dan Kolombia akan terkena dampak aturan ini.
Undang-undang akan mewajibkan perusahaan untuk membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan sebelum mereka menjual barang ke Uni Eropa atau mereka dapat menghadapi denda yang besar.
“Saya berharap peraturan inovatif ini akan memberikan dorongan bagi perlindungan hutan di seluruh dunia dan menginspirasi negara-negara lain di COP15,” kata juru runding utama Parlemen Eropa, Christophe Hansen, Selasa (6/12/2022).
Deforestasi adalah sumber utama emisi gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim dan akan menjadi fokus pada konferensi COP15 PBB minggu ini, di mana negara-negara akan mencari kesepakatan global untuk melindungi alam.
Aturan ini juga akan diberlakukan untuk kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao dan kopi, dan beberapa produk turunan termasuk kulit, cokelat, dan furnitur. Karet, arang, dan beberapa turunan minyak sawit dimasukkan atas permintaan anggota parlemen Uni Eropa. Indonesia selama ini merupakan eksportir terbesar produk sawit.
Perusahaan perlu menunjukkan kapan dan di mana komoditas tersebut diproduksi dan informasi yang dapat diverifikasi bahwa komoditas tersebut tidak ditanam di lahan yang digunduli setelah tahun 2020.
Negara-negara yang terkena aturan itu mengatakan, ketentuan tersebut memberatkan dan mahal. Sertifikasi pasokan juga sulit dipantau, terutama karena beberapa rantai melewati banyak negara. Kegagalan untuk mematuhi dapat mengakibatkan denda hingga 4% dari omset perusahaan di negara anggota UE.
Hak Masyarakat Adat Terabaikan
Sementara para juru kampanye menyambut undang-undang tersebut sebagai sebuah sejarah. Mereka juga mengkritik persyaratan bagi perusahaan untuk membuktikan telah menghormati hak-hak masyarakat adat, tetapi hanya jika hak tersebut sudah dilindungi secara hukum di negara produsen.
"Uni Eropa telah melewatkan kesempatan untuk memberi sinyal kepada dunia bahwa solusi paling penting untuk menghentikan deforestasi adalah menegakkan hak-hak masyarakat adat," kata Nicole Polsterer dari kelompok kampanye Fern.
Negara-negara UE dan parlemen Eropa harus secara resmi menyetujui undang-undang tersebut. Undang-undang dapat mulai berlaku 20 hari kemudian, setelah itu perusahaan besar memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhi, dan perusahaan kecil 24 bulan.
Negara anggota UE akan diminta untuk melakukan pemeriksaan kepatuhan yang mencakup 9% perusahaan yang mengekspor dari negara dengan risiko deforestasi tinggi, 3% dari negara berisiko standar, dan 1% untuk negara berisiko rendah.
UE mengatakan akan bekerja dengan negara-negara yang terkena dampak untuk membangun kapasitas mereka dalam menerapkan aturan tersebut. (*)