539 Ribu Hektare Kebun Sawit Korporasi dalam Kawasan Hutan di Riau, Inilah 10 Isu Kritis Penyelesaian Lewat Sanksi Administrasi UU Cipta Kerja
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Sebanyak 539.177 hektare kebun kelapa sawit dikelola korporasi berada dalam kawasan hutan di Provinsi Riau. Data tersebut bersumber dari hasil inventarisasi yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) sejak 2021 hingga Oktober 2022 lalu.
Sebelumnya, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan delapan pucuk surat keputusan berisi pendataan terhadap subjek hukum yang menguasai hutan tanpa perizinan kehutanan.
Data tersebut akan dipakai oleh KLHK dalam proses penerapan sanksi administrasi berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cipta Kerja yakni pada pasal 110A dan pasal 110B. Adapun mekanisme teknisnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Penerapan sanksi administrasi terhadap 'pelanggar' pasal 110A UU Cipta Kerja dilakukan lewat pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR). Namun, jika dalam 3 tahun tidak dilakukan pembayaran, maka pengelola usaha dikenakan sanksi administrasi sebesar 10 kali lipat dari besaran PSDH-DR. Termasuk sanksi lain dalam bentuk pencabutan izin lokasi/ IUP yang kemudian akan diselesaikan menggunakan mekanisme pasal 110B UU Cipta Kerja.
Sementara, penerapan pasal 110B berkaitan dengan penjatuhan denda administrasi kepada pengelola kawasan hutan tanpa izin khususnya korporasi (badan usaha) dan perorangan yang luasannya di atas 5 hektare. Adapun perhitungan denda administrasi berdasarkan rumusan perkalian luas lahan, masa produktif tanaman dan persentase keuntungan yang didasarkan pada luasan tutupan hutan berdasarkan citra satelit kondisi hutan saat dilakukan penanaman kelapa sawit.
BERITA TERKAIT: Warning! Muncul Seruan KPK Awasi Kementerian LHK Terkait Penetapan Denda Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan
Praktisi sosio-legal, Ahmad Zazali SH, MH menilai ada sejumlah isu kritis yang krusial dalam penerapan sanksi administrasi terhadap kebun kelapa sawit yang dikelola oleh kelompok korporasi tersebut. Menurutnya, isu-isu itu penting untuk disikapi oleh Kementerian LHK dan institusi lain agar tidak menimbulkan spekulasi negatif dan persoalan baru.
Menurut Zazali, dalam kenyataan ada banyak kawasan hutan di Riau yang belum dilakukan pengukuhan atau penetapan. Hal ini menimbulkan terjadinya celah terhadap legalitas kawasan hutan secara yuridis namun pada sisi lain Kementerian LHK telah menetapkannya sebagai objek kebun sawit dalam kawasan hutan.
BERITA TERKAIT: Inilah Tim Lengkap Bentukan Menteri LHK Bertugas Menerapkan UU Cipta Kerja Sektor Kehutanan, Cuan Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Paling Krusial
Selain itu, Zazali juga menilai terbuka kemungkinan terjadi ketidakakuratan batas lahan yang dikuasai oleh korporasi pemegang hak guna usaha (HGU). Ia juga menyinggung soal tidak adanya pelibatan unsur pemerintah daerah dalam proses inventarisasi dan verifikasi subjek hukum kegiatan usaha dalam kawasan hutan.
Zazali yang merupakan seorang advokat ini memprediksi kerentanan adanya negosiasi antara oknum tim verifikasi lapangan maupun oknum petugas analisa citra satelit. Hal ini berpotensi membuat besaran angka perhitungan denda administratif yang akan ditagihkan tidak sesuai dengan kenyataan yang seharusnya.
"Berpotensi kuat digunakan oleh kekuatan politik tertentu untuk menekan kolompok korporasi yang teridentifikasi dan telah ditetapkan Menteri LHK sebagai subjek hukum berusaha dalam kawasan hutan tanpa izin," terang Zazali yang merupakan pimpinan AZ Law Office & Conflict Resolution Center.
BERITA TERKAIT: Negara Panen Cuan dari Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan, Luasan 10 Ribu Hektar Besaran Denda Administrasi Capai Rp 500 Miliar
Secara lengkap, berikut 10 isu krusial dalam penerapan sanksi administrasi terhadap usaha dalam kawasan hutan berdasarkan UU Cipta Kerja:
1. Masih adanya status hukum kawasan hutan yang belum dikukuhkan/ ditetapkan, sehingga berpotensi menimbulkan gugatan dari subjek hukum yang keberatan terhadap penerapan sanksi administratif.
2. Adanya kemungkinan ketidakakuratan dalam penempatan titik patok batas luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan oleh petugas tata batas dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga pembukaan perkebunan sawit masuk dalam kawasan hutan berada di luar HGU.
3. Ketiadaan keterlibatan pemerintah daerah dalam proses inventarisasi dan verifikasi subjek hukum yang memiliki kegiatan usaha dalam kawasan hutan tanpa izin.
4. Potensi kekeliruan dalam penentuan luas kegiatan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan, mengingat tim verifikasi yang ditugaskan Kementerian LHK ke lapangan memiliki waktu terbatas.
5. Potensi adanya negosiasi terlarang antara oknum tim verifikasi lapangan maupun oknum petugas analisa citra satelit atau oknum orang dalam di lingkup direktorat penegakan hukum Kementerian LHK dengan subjek hukum pemilik perkebunan sawit yang bertujuan mempengaruhi perhitungan nilai nominal denda administratif yang akan ditagihkan kepada subjek hukum pemilik perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
6. Pendeknya jangka waktu penerapan sanksi administratif yakni hanya 3 tahun sejak UU Cipta Kerja disahkan, sehingga penyelesaian sawit dalam kawasan hutan berpotensi tidak sepenuhnya rampung hingga batas 3 tahun tersebut.
7. Penerapan sanksi administratif berupa denda menimbulkan kesan bahwa pemerintah memberi pengampunan atau melakukan pemutihan dosa (tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang 41 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013) terhadap pelaku usaha besar yang sudah mendapat keuntungan besar secara 'tanpa izin/ ilegal' dari perambahan kawasan hutan.
8. Pemanfaatan dana yang diperoleh dari pembayaran denda administratif belum memiliki korelasi langsung terhadap upaya untuk pemulihan bagi lingkungan dan sosial ekonomi bagi kelompok terkena dampak dari menurunnya daya dukung serta fungsi ekologis karena kerusakan hutan.
9. Berpotensi kuat digunakan oleh kekuatan politik tertentu untuk menekan kolompok korporasi yang teridentifikasi dan telah ditetapkan Menteri LHK sebagai subjek hukum berusaha dalam kawasan hutan tanpa izin.
10. Berpotensi kuat menjadi isu yang digunakan oleh kelompok tertentu melancarkan kampanye negatif terhadap perkebunan sawit, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. (*)