Inilah Tim Lengkap Bentukan Menteri LHK Bertugas Menerapkan UU Cipta Kerja Sektor Kehutanan, Cuan Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Paling Krusial
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Program pengampunan akibat 'keterlanjuran' pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin menjadi salah satu roh penting dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi leading sektor dalam implementasi UU tersebut pada sektor kehutanan dan lingkungan hidup.
Salah satu isu penting dari UU tersebut yakni keberadaan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang dituangkan dalam pasal 110A dan pasal 110B beleid sapu jagat tersebut. Bahkan, sebagai instrumen turunannya, sudah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Dengan regulasi tersebut, potensi negara mendapatkan pundi-pundi dari kebun sawit dalam kawasan hutan sangat besar. Sebagai contoh, untuk luasan kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 10 ribu hektar dan umur tanaman 15 tahun, negara berpotensi mendapatkan PNBP sebesar Rp 500 miliar.
Bandingkan dengan estimasi penguasaan kawasan hutan tanpa izin yang disulap menjadi kebun sawit yang diprediksi luasannya mencapai 1 juta hektar lebih. Secara khusus, untuk wilayah Provinsi Riau, diperkirakan terdapat 535 ribu hektar kawasan hutan dikuasai korporasi dan subjek hukum untuk kebun sawit tanpa izin.
Nah, sejauh ini belum dapat diketahui secara pasti sudah berapa subjek hukum, khususnya korporasi dan koperasi yang diproses menggunakan UU Cipta Kerja dan PP Nomor 24 Tahun 2021 tersebut.
Akses informasi untuk mengetahui perkembangan proses yang dilakukan oleh Kementerian LHK belum bisa ditembus. Yang jelas, Menteri LHK Siti Nurbaya sejak 2021 hingga Agustus 2022 lalu telah mengeluarkan daftar 1.000 lebih subjek hukum yang menguasai hutan tanpa izin kehutanan lewat 8 surat keputusan yang telah ditekennya.
Secara khusus di Provinsi Riau terdata mencapai 442 subjek hukum yang menguasai lebih dari 300 ribu hektar lebih kawasan hutan secara tidak sah. Jumlah subjek hukum dan perkiraan awal luasan hutan yang dikuasai tanpa izin ini masih terbuka terjadi penambahan. Soalnya, dari 8 Surat Keputusan Menteri LHK yang sudah diterbitkan itu, tak semuanya mencantumkan luasan lahan.
Diketahui, kalau Menteri LHK Siti Nurbaya telah membentuk sebuah tim untuk implementasi UU Cipta Kerja dan aturan turunannya di sektor kehutanan. Tim tersebut bernama Satuan Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim ini ditetapkan berdasarkan SK Menteri LHK nomor: SK.203/ Menlhk/ Setjen/ KUM./ 5/ 2021 yang diteken pada 4 Mei 2021 lalu.
Adapun tim ini jumlahnya cukup besar yang meliputi 10 kelompok kerja (pokja). Tim diketuai oleh Sekretaris Jenderal KLHK dan sekretarisnya ditunjuk Roosi Tjandrakirana. Sementara, Menteri LHK dan Wakil Menteri LHK menjadi pengarah.
Untuk posisi Wakil Ketua Tim ditunjuk dua orang yakni Irjen Kementerian LHK dan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Posisi wakil sekretaris juga dipegang oleh dua orang yakni FX Herwirawan dan Sigit Nugroho.
Sementara itu, 6 pejabat Dirjen di lingkungan Kementerian LHK ditunjuk menjadi anggota tim pengarah, termasuk di dalamnya Kepala Badan Standarisasi Instrumen Lingkungan dan Kehutanan.
Tim Satuan Pelaksanaan UU Cipta Kerja Bidang Kehutanan ini juga diisi oleh 5 tenaga ahli yakni Prof San Afri Awang, Prof Asep Warlan Yusuf, Dr Ilyas Assad, Dr Agus Pambagio dan Prof Sigit Hardwinarto.
Tim Satuan Pelaksanaan UU Cipta Kerja ini secara teknis dibagi dalam 10 kelompok kerja (pokja). Yakni Pokja I membidangi sosialisasi, Pokja II membidangi inventory dan analisis konsekuensi implementasi regulasi, Pokja III membidangi standarisasi dan penerapan standar.
Sementara Pokja IV membidangi asistensi perizinan berusaha berbasis risiko (risk based approach). Pokja V membidangi konsolidasi data dan penyelesaian keterlanjuran, Pokja VI membidangi pengembangan dan integrasi sistem tata kelola, Pokja VIII mengurusi finalisasi perhutanan sosial.
Sedangkan Pokja IX membidangi pengembangan kelembagaan dan asistensi daerah serta Pokja X membidangi transisi regulasi dan pengendalian konsekuensi/ ekses.
Adapun Pokja I dikoordinatori oleh Kepala Biro Hukum Kementerian LHK dan 8 pejabat lain sebagai anggota pokja. Pokja II dikoordinatori oleh Kepala Biro Hukum dibantu 8 pejabat lain.
Sementara Pokja III dipimpin oleh Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha Kegiatan dibantu oleh 7 pejabat lain sebagai anggota pokja. Pokja IV diketuai Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 didukung oleh 7 pejabat lain sebagai anggota pokja.
Selanjutnya, Pokja V dikoordinatori oleh Direktur Penegakan Hukum Pidana dan dibantu oleh 10 orang pejabat sebagai anggota pokja. Pokja VI dikomandoi oleh Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan dibantu oleh 7 pejabat sebagai anggota.
Pokja VII dikoordinatori oleh Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan serta dibantu 7 pejabat lain. Sementara Pokja VIII dipimpin oleh Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat dibantu sebanyak 7 pejabat sebagai anggota pokja.
Pokja IX dikoordinatori oleh Sekretaris Badan Penyuluhan dan Pembangunan SDM yang dibantu 7 pejabat sebagai anggota pokja. Serta terakhir Pokja X dikoordinatori oleh Direktur Rencana, Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Kawasan Hutan yang dibantu oleh 7 pejabat lain sebagai anggota pokja.
Adapun masing-masing pokja ini berdasarkan SK pembentukannya oleh Menteri LHK telah diatur lebih rinci.
Sekretaris Jenderal KLHK yang juga Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono belum memberikan konfirmasi ikhwal jaminan pelaksanaan denda administrasi dilakukan secara transparan dan akuntabel. (*)