Krisis Populasi di Korea Selatan, Pemerintah Berikan Tunjangan Rp 11 Juta per Bulan Untuk Lahirkan Bayi
SABANGMERAUKE NEWS - Korea Selatan memecahkan rekor tingkat kesuburan terendah di dunia. Pemerintah Korea Selatan bahkan harus mengucurkan dana lebih dari US$200 miliar selama 16 tahun terakhir untuk meningkatkan populasi.
Rata-rata jumlah anak di Korea Selatan 0,79. Angka ini jauh di bawah angka minimal untuk mempertahankan populasi yang stabil yakni 2,1. Korea Selatan bakal menghadapi kekurangan pekerja di tengah populasi yang kian menua.
Pemerintah Korea Selatan tidak tinggal diam. Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengaku akan menaikkan tunjangan hingga 700 ribu won (sekitar Rp8,2 juta) di 2023 dan 1 juta won (sekitar Rp11,8 juta) di 2024.
Namun, para ahli mengungkapkan solusi yang ditawarkan pemerintah itu hanya akan menyasar satu dimensi saja. Sebab, anak tidak hanya cukup dilahirkan saja, tetapi juga harus dirawat.
Seperti halnya seorang ibu rumah tangga yang tengah hamil anak kedua, Kim Min-jeong. Ia mengaku tidak terlalu peduli akan janji pemerintah.
"Mereka telah mengganti nama dan menggabungkan tunjangan. Tetapi, untuk orang tua seperti kami, tidak ada manfaat lagi," tutur Kim
Di sisi lain, banyak anak muda di Korsel yang memilih untuk tidak menikah alias melajang. Penulis Lee Jin-song mengatakan ada sebuah lelucon yang berkembang di Korsel yang berkaitan dengan kondisi saat ini.
"Jika Anda tidak berkencan saat berusia 25 tahun, Anda akan berubah menjadi burung bangau, artinya jika Anda melajang, Anda bukan manusia lagi," kata dia.
Para anak muda di Korsel menganggap menikah dan memiliki anak akan menjadi tanggung jawab serta membutuhkan biaya yang besar. Bahkan pilihan ini dianggap banyak merugikan kaum wanita, apalagi di tengah budaya patriarki. Jadi, tidak heran jika para wanita mulai berpikir untuk tidak menikah.
Senada dengan Lee, Cho menambahkan ada ekspektasi sosial bahwa laki-laki berkorban untuk perusahaan, sedangkan perempuan mendukung keluarga meski ia juga bekerja.
"Saya tahu begitu banyak pasangan di mana perempuan sebenarnya menghasilkan lebih banyak uang daripada laki-laki, tetapi ketika mereka pulang, perempuanlah yang harus melakukan pekerjaan rumah dan menjaga anak-anak serta memberikan dukungan emosional kepada suami," katanya.
Ekspektasi sosial seperti ini begitu berat buat laki-laki. Di atas kertas, cuti melahirkan telah ditingkatkan tetapi hanya segelintir yang mau ambil secara penuh.
Suami Kim, Park Kyung-su mengaku ingin turut berkontribusi merawat anak kedua mereka. Namun ada ketakutan jika nanti bisa berimbas pada penilaian performa kerja.
"Saya dapat menggunakan waktu cuti saja, tetapi saya merasa tidak nyaman menggunakannya karena saya ingin umpan balik yang baik di tempat kerja," kata Park.