Kasus Kematian 5 Pekerja Migas di Blok Rokan, Kemenaker RI Turun Tangan
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Kasus kematian lima pekerja migas di Blok Rokan telah sampai ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI di Jakarta. Dikabarkan, Kemenaker segera turun ke Blok Rokan untuk menelisik kasus kejadian yang dinilai tak wajar tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh SabangMerauke News, pihak Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan dan K3 (Binwas K3) Kemenaker RI telah menerima laporan soal kejadian di ladang minyak terbesar di Indonesia tersebut. Sebuah pertemuan telah dilakukan meminta agar Ditjen Binwas K3 Kemenaker segera turun ke lapangan.
BERITA TERKAIT: Segera Audit Seluruh Kontrak Kerja dan PKWT di Blok Rokan, Disnaker dan Kementerian Ketenagakerjaan Harus Bergerak!
"Ya, informasi itu telah diterima. Dan direncanakan akan ada tim yang segera turun. Pihak Ditjen telah mendapatkan masukan dan aspirasi untuk menindaklanjuti hal tersebut," kata sumber tersebut.
BERITA TERKAIT: Kematian Buruh di Blok Rokan, Momentum Jaffee-Rosa Benahi Hubungan Industrial Anti Perbudakan Modern
Meski demikian, belum diketahui secara pasti kapan tim Kemenaker RI akan turun ke Blok Rokan.
"Soal waktunya, belum bisa dipastikan. Yang jelas sudah dilakukan pertemuan soal itu," kata sumber itu lagi.
SabangMerauke News belum dapat mengonfirmasi Direktur Jenderal Binwas K3 Kemenaker RI Haiyani Rumondang soal tindakan yang akan dilakukan oleh pihaknya. Seorang pejabat direktur di Kemenaker RI telah dikonfirmasi, namun belum menjawab pesan via WhatsApp yang dilayangkan media ini.
BERITA TERKAIT: 5 Pekerja Blok Rokan Meninggal Beruntun di Awal Pengelolaan PT Pertamina Hulu Rokan, Buruh Migas Sindir Asupan Gizi dan Hidup Layak
Diberitakan sebelumnya, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Riau telah memeriksa 6 pegawai di lingkungan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Pemeriksaan digelar sebagai buntut kematian 5 pekerja di Blok Migas Rokan secara beruntun sejak Juli-November lalu. Selain itu, 3 perusahaan mitra PHR juga telah diperiksa.
Sebenarnya, Disnakertrans Riau memanggil langsung Direktur Utama PT PHR Jaffee Arizon Suardin untuk dimintai penjelasan soal kejadian tak biasa yang merenggut nyawa buruh migas tersebut. Namun, manajemen PHR hanya mengutus 6 orang pegawainya.
"Alhamdulillah sudah dilakukan pemeriksaan. Yang datang 6 orang tim dari PHR. Sabar dulu ya. Tim masih harus ambil data ke lapangan ," kata Kepala Disnakertrans Provinsi Riau, Dr Imron Rosyadi MH, Rabu (30/11/2022) lalu.
Disnaker Riau juga menyatakan akan menelisik soal penerapan aturan keselamatan dan kesehatan kerja di wilayah operasional PT PHR. Termasuk juga di antaranya menelisik soal kontrak-kontrak kerja yang diterapkan kepada buruh yakni menyangkut penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kepada buruh kontrak migas.
Imron menegaskan, pihaknya akan menegakkan aturan ketenagakerjaan bisa dipatuhi oleh seluruh pihak agar kondisi ketenagakerjaan di Riau, khususnya PT PHR tetap kondusif.
"Intinya keberlangsungan untuk tetap bekerja," jelas Imron.
Netizen Minta Penyelesaian Tuntas
Kalangan netizen di dunia maya ikut merespon soal kasus kematian 5 pekerja migas di Blok Rokan secara beruntun sejak Juli-November kemarin. Warganet meminta agar pemerintah menuntaskan hasil investigasi dan mendapatkan solusi jaminan keselamatan dan kesehatan buruh kontrak migas di ladang minyak terbesar di Indonesia tersebut.
"Mudah-mudahan gak sekadar panggil2 aja, tapi semoga ada solusi yang menenangkan pihak buruh," komentar netizen Sur**** pada kolom grup Facebook ditilik SabangMerauke News, Jumat (2/12/2022).
Tindakan Disnaker Riau tersebut mendapat dukungan dari netizen. Namun tak sedikit juga yang pesimis.
"Lagu lama tetap enak didengar," sindir netizen Hend***.
"Solusinya gak ada selagi semua manusia gila akan sogokan uang," timpal Qie****.
Warganet menilai kebijakan kontrak kerja durasi 3 bulan, 6 bulan dan setahun yang diberlakukan sejumlah perusahaan mitra kerja PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di lingkungan Blok Rokan sebagai taktik perusahaan untuk menghindar dari kewajiban pesangon.
"Kasihan pekerja pak. Banyak perusahaan menghindari pesangon. Kontrak diperpanjang terus menerus kasihan mereka pak anaknya pada kuliah dan sekolah. Mudah-mudahan bapak mendapat solusinya. Amin," tulis Pak****.
Netizen lain secara keras menyorot soal praktik hubungan industrial khususnya yang terjadi di Duri, Bengkalis. Mereka juga mempersoalkan kekuatan buruh yang tak solid.
"Yang jelas, PT kontraktor yang ada di Duri semuanya hampir tak beres. Kalau Pertamina mana mau tahu itu. Karena mereka tahu siap aja. Wahai kawan-kawan, berani gak kalian membuat suatu gebrakan ke perusahaan. Kalian jangan cuma koar-koar di sosmed. Coba pikir, buruh begitu besar di Duri, tapi buruh itu mati karena kehilangan kekompakan," tulis Swa***
Netizen lain juga mempersoalkan rendahnya upah buruh kontrak yang tak sebanding dengan biaya sertifikat pelatihan kerja sebagai syarat mereka diterima.
"Tidak imbangnya biaya sertifikat skill dengan upah yang diterima. Seandainya biaya sertifikat Rp 5 juta, dengan basic (gaji) Rp 3,5 juta dan tanggungan anak 2 orang, hanya bisa untuk kebutuhan hari2. Belum tentu terkumpul lagi uang Rp 5 juta seandainya sertifikat itu limit atau mati," curhat Rud****
Ada lagi komentar netizen yang mengungkit soal nilai kontrak perusahaan mitra dari Pertamina.
"Yang salah PT itu sendiri. Ngambil kontrak yang terendah," tulis Vik***.
Sebagian netizen juga membanding-bandingkan pengelolaan Blok Rokan era Pertamina dengan Chevron dulunya.
"Akibat Chevron angkat kaki, maka Pertamina penguasa dan di Pertamina sudah sub disub kan lagi. Udah di subkan diborongkan lagi di dalam. Sehingga gaji karyawan habis dipotong-potong," tulis Bun****.
Kewenangan Mitra Kerja
Manajemen PT Pertamina Hulu Rokan telah merespon soal tudingan serius penerapan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) di Blok Rokan yang diduga melanggar aturan ketenagakerjaan. Cucu perusahaan BUMN Pertamina tersebut menegaskan mekanisme ketentuan kerja buruh kontrak sepenuhnya menjadi kewenangan dari mitra kerja mereka.
"Pengaturan kontrak atau perjanjian kerja antara perusahaan alih daya mitra kerja PT PHR dengan pekerjanya adalah kewenangan mitra kerja sepenuhnya," kata VP Corporate Affairs PT Pertamina Hulu Rokan, Rudi Ariffianto dalam keterangan tertulis diterima SabangMerauke News, Senin (28/11/2022) lalu.
Penerapan masa kontrak per 3 bulan, per 6 bulan hingga per 1 tahun lewat pola PKWT yang diterapkan mitra kerja PT PHR disebut oleh organisasi buruh telah melanggar ketentuan peraturan ketenagakerjaan khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Alasannya, jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para buruh bersifat tetap dan merupakan bagian dari kegiatan produksi utama perusahaan.
Sementara, berdasarkan PP 35 tersebut diatur secara rinci 3 kriteria pokok pekerjaan yang dapat diadakan dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Yakni PKWT hanya bisa diberlakukan pada jenis pekerjaan sementara, musiman dan produk baru (percobaan).
"Jenis pekerjaan yang di-PKWT-kan di Blok Rokan hampir semuanya merupakan jenis pekerjaan tetap yang bukan merupakan jenis pekerjaan sesuai kriteria PKWT," kata Ketua DPC Federasi Pertambangan Energi (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak, Suwandi Hutasoit SH, kemarin.
Rudi Ariffianto mengklaim penyerahan kewenangan pengaturan kerja oleh perusahaan mitra PHR kepada buruh sesuai dengan ketentuan Ketenagakerjaan RI. Ia menyebut perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh mengenai pelaksanaan alih daya.
"Ketentuan-ketentuan dalam kontrak alih daya, termasuk jangka waktu kerja merupakan kesepakatan kedua belah pihak antara perusahaan alihdaya dan pekerjanya," terang Rudi.
SabangMerauke News menanyakan apakah dalam hal ada dugaan pelanggaran aturan ketenagakerjaan di lingkungan PHR sebagai pemberi kerja, PHR tidak mengambil tindakan, Rudi menyatakan pihaknya hanya berpegang pada kontrak antara PHR dengan mitra kerja.
"Kita objektif saja. Pegangan kita kontrak antara PHR dan mitra kerja dan juga regulasi yang ada," jelas Rudi.
SabangMerauke News lantas menanyakan lagi apakah dalam kontrak antara PHR dengan mitra kerjanya, tidak memuat klausul soal kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan yang berlaku, khususnya yang mengatur soal jenis-jenis pekerjaan dalam PKWT, Rudi tidak memberikan penjelasan lanjutan.
Isu rendahnya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan Blok Rokan menyeruak pasca meninggalnya 5 pekerja sejak Juli-November lalu. Dalam rentang 4 hari yakni 17 November hingga 20 November lalu, 3 tenaga kerja di Blok Rokan meninggal dunia. Sebelumnya, pada Juli lalu, terjadi 2 kematian pekerja di Blok Rokan. PT PHR membantah para pekerja meninggal akibat kecelakaan kerja, meski kematian para buruh itu terjadi di lingkungan kerja.
Melanggar PP Nomor 35 Tahun 2021
Ketua DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak, Suwandi Hutasoit SH menyatakan, praktik pekerjaan buruh kontrak di Blok Rokan diduga kuat melanggar sejumlah ketentuan perundang-undangan. Salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Ia mengutip pasal yang mengatur soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam PP Nomor 35 tahun 2021 tersebut. Di mana PKWT seharusnya tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Secara jelas dan tegas dalam pasal 5 disebutkan kalau PKWT diadakan hanya untuk tiga jenis pekerjaan. Yakni pekerjaan yang perkiraan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama, pekerjaan musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru (produk tambahan yang bersifat uji coba).
"Dalam kenyataannya, hampir seluruh jenis pekerjaan yang di PKWT-kan di Blok Rokan adalah pekerjaan berlanjut dan tetap secara terus menerus yang tidak masuk dalam batasan kriteria PKWT," kata Suwandi.
Ia heran, praktik penyimpangan peraturan ketenagakerjaan itu dibiarkan terus berlanjut tanpa ada upaya pemerintah (Disnaker dan Kemenaker) serta PT PHR untuk memperbaikinya.
"Aneh, begitu telanjang aturan dilanggar. Tapi kesannya terjadi pembiaran," tegas Suwandi.
Ketua Gerakan Massa Buruh (Gemuruh) Riau ini juga menilai, praktik kontrak per 3 bulan dan 6 bulan menjadi pemicu psikologi para pekerja di Blok Rokan menjadi lebih. Ia menghubungkannya dengan kasus kematian 5 pekerja secara beruntun di Blok Rokan dalam 5 bulan terakhir. Puncaknya pada 17 November hingga 20 November lalu, 3 pekerja meninggal di lokasi kerja.
Suwandi menegaskan, reformasi total ketenagakerjaan di Blok Rokan harus segera dilakukan. Ia meminta pemerintah dan PT PHR tak hanya jor-joran berkampanye soal peningkatan produksi (lifting) minyak, namun pada sisi lain mengabaikan perlindungan tenaga kerjanya.
"Kebijakan upah murah tanpa kepastian yang identik dengan perbudakan modern ini harus dihentikan, sebelum lebih banyak korban yang jatuh di ladang minyak Blok Rokan," tegas Suwandi.
Buruh Dilanda 'Virus H2C'
Sebelumnya, buruh kontrak migas di Blok Rokan dilanda kecemasan. Para pahlawan lifting minyak nasional itu disebut terkena paparan virus yang unik namun berdampak luas. Buruh menyebutnya dengan istilah virus yang menyerang psikologi pekerja yakni H2C: Harap-harap Cemas. Mengapa?
Seorang buruh kontrak yang diwawancarai menyatakan, masa kerja buruh saat ini sangat membuat tekanan psikologis kepada mereka. Soalnya, sejumlah buruh hanya memiliki kontrak kerja per 3 bulan. Selebihnya juga ada yang bekerja dengan kontrak 6 bulan atau setahun.
"Jadi, sesungguhnya kami ini diterpa Virus H2C. Harap-harap Cemas. Saya bersama rekan-rekan buruh kontrak lain merasa tertekan dengan masa kontrak yang sangat singkat dan tak menentu ini," kata HBS, seorang pekerja saat berbincang dengan SabangMerauke News, Minggu (27/11/2022) kemarin.
HBS yang bekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengaku kerap dibayang-bayangi oleh ancaman pemutusan kerja karena masa kontrak yang segera berakhir. Padahal, ia dan rekan-rekannya memiliki tanggung jawab dan beban hidup besar, di antaranya memastikan anak-anak tetap bisa bersekolah dan kebutuhan rumah tangga terpenuhi.
Ia menduga, kasus kematian pekerja kontrak di Blok Rokan yang heboh pekan lalu kemungkinan disebabkan tingginya tekanan psikologis pekerja. Akibatnya, muncul stres dan beban pikiran yang sangat berat.
"Khawatir kalau kontrak 3 bulan diputus. Lalu mau kerja apa lagi? Pola kontrak PKWT ini sangat tidak manusiawi dan cenderung membuat pekerja memiliki beban psikologis yang berat," kata HBS.
Ia juga menyebut kalau besaran upah buruh kontrak migas saat ini cenderung stagnan. Dengan gaji pokok bervariasi antara Rp 3,2 juta sampai Rp 4,2 juta per bulan, maka sesungguhnya hal itu sangat pas-pasan untuk memenuhi hidup keluarga.
"Apalagi sejak dihapusnya upah minimum sektoral migas, maka penghasilan menjadi terbatas. Kalau sudah punya anak istri mungkin kurang. Upah itu hanya layak untuk orang lajang, belum berkeluarga," kata HBS.
Ia juga menyinggung soal minimnya biaya ekstra fooding (puding) yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. HBS mengaku hanya mendapat bantuan puding sebesar Rp 7 ribu per hari.
"Kalau uang puding Rp 7 ribu per hari, maka cukup untuk segelas kopi. Bagaimana badan mau fit dan stamina terjaga," kata HBS.
HBS merupakan salah satu pekerja kontrak pada perusahaan sub kontraktor PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sejak blok migas Rokan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (istilah menunjukkan diambil oleh BUMN), praktis tidak ada perubahan tentang kebijakan ketenagakerjaan di Blok Rokan, bahkan cenderung menurun bila dibanding era pengelolaan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Perlindungan tenaga kerja kontrak disebut sangat rentan, meski bekerja di industri strategis nasional sekalipun.
"Jadi ada benarnya juga kalau ibu kandung disebut lebih kejam dibanding ibu tiri. Kami meminta agar PHR segera melakukan evaluasi konkret soal ketenagakerjaan di Blok Rokan," kata HBS. (*)