4 Hal Mengagetkan Kasus Suap HGU PT Adimulia Agrolestari yang Menjerat Eks Kakanwil BPN Riau, Sebut Fitnah Hingga Larang Penyuap Bawa HP
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan eks Kakanwil BPN Provinsi Riau, M Syahrir dalam kasus dugaan suap perpanjangan hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan PT Adimulia Agrolestari di Kuantan Singingi, Riau. Syahrir sejak bulan lalu sudah ditetapkan sebagai tersangka dan pada Kamis (1/12/2022) lalu resmi ditahan hingga 20 hari ke depan.
Syahrir adalah tersangka keempat dalam perkara suap HGU tersebut. Tiga orang lainnya yakni mantan General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso, Komisaris PT Adimulia Agrolestari Frank Widjaya dan Bupati Kuansing nonaktif, Andi Putra.
Khusus Sudarso dalam perkara awal sudah divonis bersalah dalam pemberian suap kepada Andi Putra. Sudarso tak mengajukan banding usai divonis 2 tahun oleh Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru. Sama halnya Andi Putra juga sudah dijatuhi hukuman hingga tingkat banding di Pengadilan Tinggi Riau. Kini, Andi Putra mengajukan upaya hukum kasasi.
Sudarso ikut dijadikan tersangka dalam kasus suap jilid kedua. Ia diduga kuat telah memberikan sejumlah uang mencapai Rp 1,2 miliar kepada Syahrir. Sementara, Frank Widjaya menjadi orang yang diduga memerintahkan Sudarso dalam pengurusan HGU, termasuk mengetahui dan diduga memberi persetujuan pembagian uang kepada Syahrir. Frank sudah ditahan lebih dulu.
Berikut empat hal menarik dalam kasus suap HGU PT Adimulia Agrolestari yang menjerat Syahrir:
1. Diduga Terima Uang Rp 1,2 Miliar
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menduga kuat Syahrir telah menerima suap sebesar Rp 1,2 miliar. Uang diterima saat Sudarso mendatangi rumahnya untuk membicarakan proses pengurusan HGU perusahaan yang akan habis konsesinya pada 2024 mendatang.
Sumber uang tersebut diperoleh dari brankas perusahaan. Sudarso awalnya mengajukan dana dalam bentuk Dollar Singapura.
Menurut keterangan Ketua KPK Firli Bahuri, ada permintaan uang sebesar Rp 3,5 miliar oleh Syahrir kepada Sudarso. Namun, penyerahan uang rencananya akan dilakukan dalam dua tahap.
"Ada permintaan uang oleh MS (Muhamad Syahrir) sekitar Rp 3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40% sampai dengan 60% sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA (Adimulia Agrolestari)," kata Firli.
PT Adimulia Agrolestari memiliki lahan lebih dari 3 ribu hektar yang pada awalnya seluruh lokasinya berada di Kabupaten Kampar. Namun, seiring dengan perubahan tapal batas daerah, sebagian lokasi kebun sawit PT Adimulia beralih wilayah administrasi ke Kabupaten Kuansing.
Pemberian uang kepada Bupati Kuansing nonaktif Andi Putra diduga untuk mempermulus agar Pemkab Kuansing tidak keberatan dengan lokasi kebun KKPA sebesar 20 persen dari HGU untuk dibangun di Kampar. Konon kabarnya, PT Adimulia telah membangun kebun KKPA di Kampar, sehingga merasa tidak perlu lagi membangun di Kuansing.
2. Minta Tak Bawa Handphone
Wakil Ketua KPK Ali Gufron menyebut proses penyiapan dokumen perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari sudah dilakukan pada Agustus 2021 lalu. Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan perpanjangan masa HGU seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi.
Dalam perkembangannya, terjadi komunikasi antara Sudarso dan Syahrir. Pertemuan pun terjadi di rumah Syahrir untuk membicarakan pengurusan HGU. Di sinilah diduga terjadi pembicaraan soal uang.
Dari pertemuan tersebut, Sudarso lalu melaporkan permintaan Syahrir kepada Frank Widjaya yang merupakan komisaris sekaligus pemegang saham PT Adimulia Agrolestari.
"SDR (Sudarso) kemudian mengajukan permintaan uang 120 ribu dolar Singapura (setara dengan Rp1,2 miliar) ke kas PT AA dan disetujui Frank Widjaya (FW)," kata Gufron.
Penyerahan uang diduga terjadi di rumah dinas Syahrir pada September 2021 lalu. Dalam rencana pertemuan itu, Syahrir meminta Sudarso tidak membawa perangkat telekomunikasi handphone.
"Sekitar September 2021, atas permintaan MS (Muhamad Syahri), penyerahan uang 120 ribu dolar Singapura dari SDR (Sudarso) dilakukan di rumah dinas MS dan MS mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apa pun," tutur Gufron.
3. Syahrir Sebut Fitnah
Eks Kakanwil BPN Riau, Muhamad Syahrir beberapa kali telah membantah kalau dirinya telah menerima uang dari Sudarso. Saat bersaksi dalam persidangan terdakwa Sudarso dan Andi Putra, kepada majelis hakim Syahrir mengklaim dirinya tidak pernah menerima uang apa pun.
Syahrir bahkan menyebut pengakuan Sudarso yang telah memberi dirinya uang sebesar Rp 1,2 miliar sebagai fitnah.
"Tidak ada itu (pemberian uang). Itu fitnah. Prosesnya saja belum berjalan," kata Syahrir saat berada di Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru.
Memang, pengakuan Sudarso lah yang telah menjerat Syahrir ke pusaran kasus rasuah ini. Namun Syahrir bersikukuh menegaskan dirinya telah menyerahkan uang kepada Syahrir, meski dibantah oleh Syahrir.
Bahkan, dalam persidangan secara zoom beberapa waktu lalu, Syahrir sempat menunjukkan secarik kertas tentang goresan jumlah uang yang diduga diminta oleh Syahrir.
4. KPK Endus Dugaan Suap Rp 9 Miliar
KPK tampaknya tidak hanya berfokus pada kasus suap PT Adimulia Agrolestasi saja. Namun, komisi antirasuah ini juga menelisik dugaan adanya penerimaan lain oleh Syahrir sebesar Rp 9 miliar.
Penerimaan itu diperoleh saat Syahrir bertugas sebagai Kepala Kanwil BPN sejak 2017 hingga 2021 lalu.
"Pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, MS (Muhamad Syahrir) diduga menerima gratifikasi sejumlah Rp 9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik," kata Ali Ghufron.
Dalam kasus suap HGU PT Adimulia Agrolestari, KPK juga mengendus adanya beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan para pegawai Kanwil BPN Riau dan pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar. Jumlah aliran uang tersebut mencapai Rp 791 juta.
"KPK menduga dalam kurun waktu September 2021-27 Oktober 2021, MS (Muhamad Syahrir) menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank atas nama pribadi MS maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN sejumlah sekitar Rp791 juta yang berasal dari FW (Frank Widjaya)," terang Ali Gufron. (*)