Segera Audit Seluruh Kontrak Kerja dan PKWT di Blok Rokan, Disnaker dan Kementerian Ketenagakerjaan Harus Bergerak!
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau dan Kementerian Ketenagakerjaan didesak untuk melakukan audit total terhadap seluruh kontrak kerja dan mekanisme pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) di seluruh wilayah operasional blok migas Rokan. Audit secara kredibel dan tuntas akan menjadi petunjuk utama memastikan hubungan industrial terwujud secara humanis dan anti perbudakan modern.
"Kita mendesak agar Disnaker Riau untuk melakukan audit terhadap kontrak-kontrak kerja dan juga PKWT yang ada di Blok Rokan. Karena ini menyangkut isu nasional, maka seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan RI juga harus turun gunung," kata Ketua Gerakan Massa Buruh (Gemuruh) Provinsi Riau, Suwandi Hutasoit SH kepada SabangMerauke News, Sabtu (3/12/2022).
Suwandi menyatakan, hingga saat ini tidak ada action konkret yang dilakukan institusi pemerintah menyusul kematian 5 pekerja di Blok Rokan secara beruntun sejak Juli-November lalu. Ia meminta proses pemeriksaan seluruh pihak, baik itu manajemen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) maupun mitra kerjanya dilakukan secara transparan dan akuntabel.
"Harus ada ujung dari kisah ini sebagai upaya memperbaiki hubungan industrial yang humanis dan jauh dari anti perbudakan modern. Pemerintah harus serius karena publik khususnya buruh migas sangat menanti-nantikan gebrakan dari pemerintah. Proses ini akan dikawal sampai tuntas," tegas Suwandi.
Suwandi yang juga menjabat Ketua DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak ini meminta PKWT yang dilakukan oleh sejumlah anak dan cucu perusahaan BUMN di Blok Rokan juga diaudit.
"Pemeriksaan kontrak dan PKWT juga harus dilakukan terhadap sejumlah anak perusahaan BUMN di Blok Rokan. Karena mereka juga mempekerjakan banyak buruh kontrak migas," kata Suwandi.
BERITA TERKAIT: 5 Pekerja Blok Rokan Meninggal Beruntun di Awal Pengelolaan PT Pertamina Hulu Rokan, Buruh Migas Sindir Asupan Gizi dan Hidup Layak
Sebagaimana diketahui, sejak alih kelola Blok Rokan dari tangan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada 9 Agustus 2021 silam, aksi ekspansif dan massif anak cucu cicit BUMN Pertamina 'menyerbu' ladang minyak terbesar di Indonesia ini. Bahkan, disebut-sebut sejumlah perusahaan BUMN itu mendapat hak istimewa proyek lewat mekanisme penunjukkan langsung dengan alibi Sinergi BUMN.
Di antaranya yakni PT Patra Drilling Contractor (PDC), PT PGAS Solution, PT Elnusa, PT Pertagas dan sejumlah anak perusahaan BUMN lainnya.
Suwandi menegaskan, audit kontrak kerja dan PKWT dilakukan untuk memastikan apakah seluruh ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku telah dipenuhi dalam kontrak kerja dan PKWT yang dijalankan.
"Jangan sampai demi mengejar lifting migas, justru mengorbankan para buruh migas di Blok Rokan. Lifting dan target produksi migas memang penting, tapi nyawa pekerja dan safety lebih utama. Efisiensi memang perlu, namun harus realistis dan tidak mengabaikan keselamatan serta kesehatan kerja," tegas Suwandi.
Ia mengingatkan, aturan ketenagakerjaan dibuat oleh negara. Oleh sebab itu, BUMN dan anak-anak perusahaannya semestinya wajib untuk mematuhi ketentuan yang sudah dibuat oleh negara.
"BUMN dan anak-anak perusahaannya harus memberi keteladanan terhadap praktik peraturan ketenagakerjaan," jelas Suwandi seraya meminta PT PHR sebagai pemberi kerja di Blok Rokan harus segera mengambil inisiasi dan koreksi atas peristiwa kematian buruh yang terjadi.
Secara teknis, Suwandi meminta audit PKWT menyasar pada pelaksanaan jam kerja, upah, lembur (overtime), perlindungan sosial dan jaminan keselamatan dan kesehatan pekerja.
"Aspek-aspek krusial itu penting ditelisik karena langsung menyangkut pada nasib buruh migas," pungkasnya.
Sebelumnya pada Kamis (1/12/2022) lalu, tim pengawas ketenagakerjaan Disnaker Riau telah memanggil manajemen PT PHR terkait kasus kematian 5 pekerja di Blok Rokan. Sebanyak 6 orang pejabat dan pegawai PHR telah diperiksa oleh tim Disnaker Riau, namun sejauh ini belum diperoleh perkembangan pengananan kasus ini.
Selain itu, Disnaker Riau juga sempat menyebut akan memeriksa 3 perusahaan mitra kerja (sub kontraktor) PT PHR.
Pada sisi lain, manajemen PT Pertamina Hulu telah menyampaikan kalau mekanisme ketentuan kerja buruh kontrak sepenuhnya menjadi kewenangan dari mitra kerja mereka.
"Pengaturan kontrak atau perjanjian kerja antara perusahaan alih daya mitra kerja PT PHR dengan pekerjanya adalah kewenangan mitra kerja sepenuhnya," kata VP Corporate Affairs PT Pertamina Hulu Rokan, Rudi Ariffianto dalam keterangan tertulis diterima SabangMerauke News, Senin (28/11/2022) lalu.
Sebelumnya, penerapan masa kontrak per 3 bulan, per 6 bulan hingga per 1 tahun lewat pola PKWT yang diterapkan mitra kerja PT PHR disebut oleh organisasi buruh telah melanggar ketentuan peraturan ketenagakerjaan khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Alasannya, jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para buruh bersifat tetap dan merupakan bagian dari kegiatan produksi utama perusahaan.
Sementara, berdasarkan PP 35 tersebut diatur secara rinci 3 kriteria pokok pekerjaan yang dapat diadakan dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Yakni PKWT hanya bisa diberlakukan pada jenis pekerjaan sementara, musiman dan produk baru (percobaan).
"Jenis pekerjaan yang di-PKWT-kan di Blok Rokan hampir semuanya merupakan jenis pekerjaan tetap yang bukan merupakan jenis pekerjaan sesuai kriteria PKWT," kata Ketua DPC Federasi Pertambangan Energi (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak, Suwandi Hutasoit SH, kemarin.
Rudi Ariffianto mengklaim penyerahan kewenangan pengaturan kerja oleh perusahaan mitra PHR kepada buruh sesuai dengan ketentuan Ketenagakerjaan RI. Ia menyebut perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh mengenai pelaksanaan alih daya.
"Ketentuan-ketentuan dalam kontrak alih daya, termasuk jangka waktu kerja merupakan kesepakatan kedua belah pihak antara perusahaan alihdaya dan pekerjanya," terang Rudi.
SabangMerauke News menanyakan apakah dalam hal ada dugaan pelanggaran aturan ketenagakerjaan di lingkungan PHR sebagai pemberi kerja, PHR tidak mengambil tindakan, Rudi menyatakan pihaknya hanya berpegang pada kontrak antara PHR dengan mitra kerja.
"Kita objektif saja. Pegangan kita kontrak antara PHR dan mitra kerja dan juga regulasi yang ada," jelas Rudi.
SabangMerauke News lantas menanyakan lagi apakah dalam kontrak antara PHR dengan mitra kerjanya, tidak memuat klausul soal kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan yang berlaku, khususnya yang mengatur soal jenis-jenis pekerjaan dalam PKWT, Rudi tidak memberikan penjelasan lanjutan.
Isu rendahnya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan Blok Rokan menyeruak pasca meninggalnya 5 pekerja sejak Juli-November lalu. Dalam rentang 4 hari yakni 17 November hingga 20 November lalu, 3 tenaga kerja di Blok Rokan meninggal dunia. Sebelumnya, pada Juli lalu, terjadi 2 kematian pekerja di Blok Rokan. PT PHR membantah para pekerja meninggal akibat kecelakaan kerja, meski kematian para buruh itu terjadi di lingkungan kerja.
Melanggar PP Nomor 35 Tahun 2021
Ketua DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak, Suwandi Hutasoit SH menyatakan, praktik pekerjaan buruh kontrak di Blok Rokan diduga kuat melanggar sejumlah ketentuan perundang-undangan. Salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Ia mengutip pasal yang mengatur soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam PP Nomor 35 tahun 2021 tersebut. Di mana PKWT seharusnya tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Secara jelas dan tegas dalam pasal 5 disebutkan kalau PKWT diadakan hanya untuk tiga jenis pekerjaan. Yakni pekerjaan yang perkiraan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama, pekerjaan musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru (produk tambahan yang bersifat uji coba).
"Dalam kenyataannya, hampir seluruh jenis pekerjaan yang di PKWT-kan di Blok Rokan adalah pekerjaan berlanjut dan tetap secara terus menerus yang tidak masuk dalam batasan kriteria PKWT," kata Suwandi.
Ia heran, praktik penyimpangan peraturan ketenagakerjaan itu dibiarkan terus berlanjut tanpa ada upaya pemerintah (Disnaker dan Kemenaker) serta PT PHR untuk memperbaikinya.
"Aneh, begitu telanjang aturan dilanggar. Tapi kesannya terjadi pembiaran," tegas Suwandi.
Ketua Gerakan Massa Buruh (Gemuruh) Riau ini juga menilai, praktik kontrak per 3 bulan dan 6 bulan menjadi pemicu psikologi para pekerja di Blok Rokan menjadi lebih. Ia menghubungkannya dengan kasus kematian 5 pekerja secara beruntun di Blok Rokan dalam 5 bulan terakhir. Puncaknya pada 17 November hingga 20 November lalu, 3 pekerja meninggal di lokasi kerja.
Suwandi menegaskan, reformasi total ketenagakerjaan di Blok Rokan harus segera dilakukan. Ia meminta pemerintah dan PT PHR tak hanya jor-joran berkampanye soal peningkatan produksi (lifting) minyak, namun pada sisi lain mengabaikan perlindungan tenaga kerjanya.
"Kebijakan upah murah tanpa kepastian yang identik dengan perbudakan modern ini harus dihentikan, sebelum lebih banyak korban yang jatuh di ladang minyak Blok Rokan," tegas Suwandi.
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Jaffee Arizon Suardin telah dikonfirmasi ikhwal pernyataan buruh ini. Namun ia belum memberikan penjelasan hingga berita ini diterbitkan.
Buruh Dilanda 'Virus H2C'
Sebelumnya, buruh kontrak migas di Blok Rokan dilanda kecemasan. Para pahlawan lifting minyak nasional itu disebut terkena paparan virus yang unik namun berdampak luas. Buruh menyebutnya dengan istilah virus yang menyerang psikologi pekerja yakni H2C: Harap-harap Cemas. Mengapa?
Seorang buruh kontrak yang diwawancarai menyatakan, masa kerja buruh saat ini sangat membuat tekanan psikologis kepada mereka. Soalnya, sejumlah buruh hanya memiliki kontrak kerja per 3 bulan. Selebihnya juga ada yang bekerja dengan kontrak 6 bulan atau setahun.
"Jadi, sesungguhnya kami ini diterpa Virus H2C. Harap-harap Cemas. Saya bersama rekan-rekan buruh kontrak lain merasa tertekan dengan masa kontrak yang sangat singkat dan tak menentu ini," kata HBS, seorang pekerja saat berbincang dengan SabangMerauke News, Minggu (27/11/2022) kemarin.
HBS yang bekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengaku kerap dibayang-bayangi oleh ancaman pemutusan kerja karena masa kontrak yang segera berakhir. Padahal, ia dan rekan-rekannya memiliki tanggung jawab dan beban hidup besar, di antaranya memastikan anak-anak tetap bisa bersekolah dan kebutuhan rumah tangga terpenuhi.
Ia menduga, kasus kematian pekerja kontrak di Blok Rokan yang heboh pekan lalu kemungkinan disebabkan tingginya tekanan psikologis pekerja. Akibatnya, muncul stres dan beban pikiran yang sangat berat.
"Khawatir kalau kontrak 3 bulan diputus. Lalu mau kerja apa lagi? Pola kontrak PKWT ini sangat tidak manusiawi dan cenderung membuat pekerja memiliki beban psikologis yang berat," kata HBS.
Ia juga menyebut kalau besaran upah buruh kontrak migas saat ini cenderung stagnan. Dengan gaji pokok bervariasi antara Rp 3,2 juta sampai Rp 4,2 juta per bulan, maka sesungguhnya hal itu sangat pas-pasan untuk memenuhi hidup keluarga.
"Apalagi sejak dihapusnya upah minimum sektoral migas, maka penghasilan menjadi terbatas. Kalau sudah punya anak istri mungkin kurang. Upah itu hanya layak untuk orang lajang, belum berkeluarga," kata HBS.
Ia juga menyinggung soal minimnya biaya ekstra fooding (puding) yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. HBS mengaku hanya mendapat bantuan puding sebesar Rp 7 ribu per hari.
"Kalau uang puding Rp 7 ribu per hari, maka cukup untuk segelas kopi. Bagaimana badan mau fit dan stamina terjaga," kata HBS.
HBS merupakan salah satu pekerja kontrak pada perusahaan sub kontraktor PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sejak blok migas Rokan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (istilah menunjukkan diambil oleh BUMN), praktis tidak ada perubahan tentang kebijakan ketenagakerjaan di Blok Rokan, bahkan cenderung menurun bila dibanding era pengelolaan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Perlindungan tenaga kerja kontrak disebut sangat rentan, meski bekerja di industri strategis nasional sekalipun.
"Jadi ada benarnya juga kalau ibu kandung disebut lebih kejam dibanding ibu tiri. Kami meminta agar PHR segera melakukan evaluasi konkret soal ketenagakerjaan di Blok Rokan," kata HBS. (*)