PT Inti Indosawit Subur Bantah Kelola Kebun Sawit 1.200 Hektare di Taman Nasional Tesso Nilo, Lantas Punya Siapa dan Ke Mana Aliran Buah Sawitnya?
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru telah memutuskan agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menebang kebun sawit seluas 1.200 hektar yang berada di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Riau. Meski demikian, Menteri LHK justru mengajukan upaya hukum banding atas putusan tersebut.
Keberadaan pemilik kebun tersebut pun saat ini terkesan misterius. Soalnya, pihak PT Inti Indosawit Subur membantah sebagai pengelola kebun sawit di 'daerah terlarang' itu. Manager Humas PT Inti Indosawit Subur, Ahmad Taufik menyatakan pihaknya tidak melakukan pembangunan kebun sawit di kawasan TNTN yang menjadi objek gugatan dari Yayasan Riau Madani.
Ahmad mengklaim publikasi yang menyebut kebun seluas 1.200 hektar dikelola oleh PT Inti Indosawit subur merugikan citra perusahaan di mata stakeholder. Diketahui, PT Inti Indosawit Subur merupakan salah satu perusahaan anggota Rountable on Suistanable Palm Oil (RSPO). Perusahaan ini tergabung dalam Asian Agri Grup.
Munculnya dugaan PT Inti Indosawit Subur sebagai pengelola kebun termuat dalam gugatan Yayasan Riau Madani terhadap Menteri LHK, Dirjen Gakkum KLHK dan Kepala Balai TNTN. Pada Selasa (15/11/2022) lalu, trio majelis hakim PTUN Pekanbaru telah mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani. Hakim menyatakan kalau ketiga institusi tersebut melakukan perbuatan melawan hukum karena dinilai tidak melakukan pengamanan dan perlindungan TNTN sehingga berakibat munculnya kebun sawit.
Diketahui, kawasan konservasi TNTN yang namanya sudah mendunia dan pernah dikunjungi aktor Hollywood Harrison Ford, saat ini telah mengalami kehancuran yang luar biasa. Dari 83 ribu hektare kawasan TNTN, separuh lebih di antaranya telah mengalami alih fungsi menjadi kebun kelapa sawit ilegal.
Yayasan Riau Madani dalam gugatan di PTUN Pekanbaru turut melampirkan lokasi titik koordinat kebun sawit tersebut. Bahkan, majelis hakim telah menggelar sidang lapangan (pemeriksaan setempat) lokasi kebun.
Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (C) Surya Darma SAg, SH, MH menyatakan dugaan pengelolaan kebun sawit oleh PT Inti Indosawit Subur diketahui dari tanda-tanda kesamaan tanaman dan sarana penunjang kebun sawit.
Menurutnya, perawatan tanaman dilakukan sesuai standar perusahaan perkebunan dan sulit meyakini kebun itu milik masyarakat biasa. Apalagi keberadaan kebun sawit dalam luasan 1.200 hektar itu rapi dan seragam dan diduga serentak dibangun. Menurut Surya, lokasi kebun sawit PT Inti Indosawit Makmur berdekatan dengan kebun 1.200 hektar yang dipersoalkan pihaknya dan diduga ada akses jalan ke kebun inti perusahaan tersebut.
"Sidang lapangan saat perkara digelar menunjukkan kebun sawit ini memiliki keseragaman. Infrastruktur penunjang kebun sangat baik. Sehingga dari pengamatan saja sudah bisa diketahui kalau kebun tersebut dikelola sesuai standar korporasi," jelas Surya Darma, kemarin.
Ia menyatakan, pihaknya mendorong agar aparat penegak hukum termasuk Gakkum KLHK mendalami soal aliran tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tersebut. Pabrik kelapa sawit yang berada di sekitar kebun sawit dalam TNTN seharusnya dilakukan pengawasan secara ketat asal TBS yang dikelola.
"Jika pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK konsen dan komit dalam penyelamatan TNTN, maka seluruh aktivitas perkebunan kelapa sawit di dalam TNTN harusnya ditelisik ke mana aliran TBS-nya. Dengan mudah akan diketahui pabrik kelapa sawit yang menampung. PKS yang menampung dapat dijerat dengan hukum sebagai penadah hasil kebun sawit dalam kawasan hutan konservasi," tegas Surya Darma.
Pertanyakan Dana Operasional Gakkum
Surya juga mempertanyakan penggunaan dana pengamanan dan operasional Kementerian LHK dalam pelaksanaan pengamanan kawasan hutan. Menurutnya, kondisi hutan di Riau, khususnya hutan konservasi yang porak-poranda saat ini menjadi pembanding yang nyata tentang gagalnya sistem dan pelaksanaan pengamanan hutan yang dilakukan oleh KLHK.
"Terkadang kita jadi bertanya-tanya, apa ya kerja aparat pengamanan hutan kita. Mereka punya personil, punya fasilitas dan ada anggaran. Lantas hutan yang mana yang diamankan dan diawasi? Kondisinya sudah hancur lebur digarap," kata Surya Darma.
Ia meminta agar Gakkum KLHK menginvestigasi secara konsisten dan kredibel aliran buah kelapa sawit yang dihasilkan dari dalam kawasan hutan konservasi di Riau. Langkah tersebut akan lebih konkret untuk memotong mata rantai (supply chain) pasokan buah ilegal yang masuk ke dalam PKS.
Apalagi, sudah pasti buah TBS dari kawasan hutan tersebut tidak memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah. Melainkan hanya menimbulkan dampak ekologis yang sangat fatal bagi keberlanjutan lingkungan.
"Gakkum KLHK harus menunjukkan taring dan wibawanya dalam mengamankan sekaligus menindak penjarah hutan negara. Jangan semuanya ditamengkan dengan Undang-undang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusonal bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi," pungkas Surya Darma.
Sebelumnya diwartakan, Yayasan Riau Madani kembali mengalahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam gugatan tata usaha negara di PTUN Pekanbaru, Selasa (15/11/2022) lalu.
Tak hanya mengalahkan Menteri LHK, Yayasan Riau Madani juga 'meng-KO-kan' Dirjen Penegakan Hukum KLHK dan Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo dalam perkara terbaru, terkait keberadaan kebun kelapa sawit di kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Riau ini.
"Menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III untuk seluruhnya. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian," tulis majelis hakim PTUN Pekanbaru dalam amar putusannya, Selasa pagi tadi.
Dalam perkara kualifikasi tindakan administrasi pemerintah/ tindakan faktual ini, Yayasan Riau Madani menyeret Kepala Balai TNTN sebagai Tergugat I, Menteri LHK sebagai Tergugat II dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK sebagai Tergugat III.
Perkara ini berkaitan dengan keberadaan kebun kelapa sawit pada lahan seluas 1.200 hektar di kawasan konservasi TNTN. Berdasarkan putusan PTUN tersebut, terdapat penyebutan lahan kebun sawit yang menjadi objek gugatan diduga dikelola PT Inti Indosawit Subur. Pihak perusahaan sepanjang persidangan sudah dua kali dipanggil, namun dilaporkan kalau manajemen PT Inti Indosawit Subur tak pernah hadir.
Trio majelis hakim mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani yang meminta agar menghukum para Tergugat supaya melakukan pemulihan terhadap kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang telah rusak akibat adanya pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 1.200 hektar tersebut.
"Mewajibkan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III secara bersama-sama untuk melakukan tindakan pemerintahan berupa pemulihan terhadap kerusakan lingkungan hidup hutan konservasi TNTN, khususnya terhadap areal kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar dengan cara menebang seluruh tanaman kelapa sawit dan melakukan reboisasi sesuai jenis tumbuhan di hutan konservasi," demikian amar putusan majelis hakim TUN Pekanbaru.
Majelis hakim juga dalam putusannya mewajibkan Kepala Balai TNTN dan Dirjen Gakkum KLHK melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan dan kehutanan dengan menghentikan kegiatan perkebunan kelapa sawit tersebut.
"Dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan atau tindakan penegakan hukum lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," tegas majelis hakim dalam putusannya.
Majelis hakim juga mewajibkan Menteri LHK dan atau pihak-pihak terkait melalui Menteri LHK untuk menanggung seluruh kerugian lingkungan hidup atas biaya pemulihan dan penanaman kembali (reboisasi) terhadap kerusakan kawasan konservasi TNTN.
"Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III bersama-sama membayar biaya perkara sebesar Rp 7,63 juta," demikian putusan majelis hakim.
Putusan hukum cukup spektakuler ini ditetapkan oleh trio majelis hakim TUN Pekanbaru yang terdiri dari Darmawi SH sebagai ketua majelis dan hakim Selvie Ruthyarodh SH, MH serta Erick S Sihombing SH sebagai anggota.
Gugatan ini didaftarkan oleh Yayasan Riau Madani pada Kamis, 30 Juni 2022 lalu dengan nomor registrasi perkara: 36/G/TF/2022/PTUN.PBR dan dijatuhkan putusan pada Selasa (15/11/2022) tadi.
Kesampingkan UU Cipta Kerja
Gugatan Yayasan Riau Madani yang dikabulkan majelis hakim PTUN Pekanbaru ini seolah menjadi pukulan telak bagi negara dalam hal ini Kementerian LHK yang telah lalai dan tidak melakukan tindakan dalam aksi pendudukan kawasan konservasi TNTN yang disulap menjadi kebun kelapa sawit.
"Putusan hakim ini merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya penyelamatan hutan dan lingkungan. Kami sangat mengapresiasi majelis hakim yang sangat pro natural karena memandang hutan serta lingkungan sebagai masa depan kehidupan," kata Tim Kuasa Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (C) Surya Darma S.Ag, SH, MH usai menerima putusan tersebut.
Surya Darma juga menilai, putusan tersebut menjadi fakta bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dapat dikesampingkan. Soalnya, seluruh dalil-dalil para tergugat (Menteri LHK, Dirjen Gakkum dan Kepala Balai TNTN) yang menggunakan tameng UU Cipta Kerja khususnya pasal 110A dan 110B tidak dipertimbangkan atau dikesampingan oleh majelis hakim.
Sebagaimana diketahui, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji material tahun lalu telah menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Dampaknya UU tersebut harus diperbaiki dan tidak bisa dipergunakan untuk kebijakan atau tindakan pemerintah yang bersifat strategis.
"UU Cipta Kerja dalam kasus kejahatan kehutanan telah dan dapat dikesampingkan. Sebagaimana juga telah terjadi dalam kasus kebun kelapa sawit milik PT Duta Palma Grup yang diproses oleh Kejaksaan Agung dan perkaranya saat ini sudah bergulir di persidangan PN Jakarta Pusat. Gugatan kami yang dikabulkan majelis hakim PTUN Pekanbaru ini kami nilai nafasnya juga sama," tegas Surya Darma.
Surya Darma juga mempertanyakan soal penggunaan dana reboisasi oleh Kementerian LHK. Termasuk soal upaya atau kegiatan pengamanan hutan dan lingkungan yang dilakukan Kementerian dalam menjaga kelestarian kawasan hutan, khususnya kawasan hutan konservasi.
Sebagaimana diwartakan sebelumnya, kerusakan kawasan hutan konservasi tak hanya terjadi di TNTN. Namun juga hampir di seluruh hutan konservasi lainnya, seperti Suaka Margasatwa Balairaja di Bengkalis, Suaka Margasatwa Kerumutan dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
"Gugatan kami ini menjadi hentakan untuk mempertanyakan upaya penjagaan, perlindungan dan pengamanan kawasan hutan konservasi di Riau yang telah dilakukan selama ini," tegas Surya.
Ia meminta agar Kementerian LHK dan seluruh perangkatnya yang digugat dalam perkara ini dapat mematuhi dan melaksanakan putusan majelis hakim.
"Kepatuhan institusi negara yakni Kementerian LHK terhadap putusan majelis hakim ini, akan menjadi bentuk keteladanan kepada publik. Kami minta agar dipatuhi dan dilaksanakan," pungkas Surya.
Kekalahan Menteri LHK dkk dalam gugatan ini juga dinilai sebagai 'noda' di tengah kampanye keberhasilan pemerintah dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP27 di Mesir beberapa hari lalu. Menteri LHK dalam forum dunia tersebut mengklaim mampu menghadang dan menahan laju deforestasi hutan di Indonesia. Termasuk juga dalam kampanye KTT G20 di Bali.
Menteri LHK Siti Nurbaya dan Dirjen Gakkum KLHK Ridho Rasio Sani sejak berita putusan PTUN ini muncul tak kunjung memberikan pernyataan meski telah dikonfirmasi. (*)