Tajuk Redaksi
Segera Revisi Patokan Harga PNBP Sektor Kehutanan atau Negara Rugi Kehilangan Potensi Pendapatan!
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluhkan kecilnya kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan. Ia menyindir luasnya hutan di Indonesia yang sudah berbasis industri, namun hanya menyumbang PNBP sebesar Rp 5,66 triliun.
Jumlah tersebut hanya secuil atau sekitar 1,2 persen dari total PNBP yang pada 2021 lalu yang mencapai Rp 452 triliun. Sri Mulyani dalam keterangannya pada Juni 2022 lalu bahkan menyebut ada yang aneh dan tak beres dari jumlah setoran PNBP sektor kehutanan tersebut.
“Jadi kalau kehutanan only Rp5 triliun it doesn’t sound right. Kita harus punya sense seperti ini supaya kita memahami ini value-nya is about what?,” kata Sri Mulyani pada Juni 2022 lalu.
BERITA TERKAIT: Menteri LHK Diduga Patok Harga Akasia Terlalu Murah, Menkeu Sri Mulyani Pernah Sebut Ada yang Tak Beres Soal PNBP Sektor Kehutanan
Soal rendahnya PNBP sektor kehutanan tersebut sebenarnya tak hanya membuat Sri Mulyani yang kecewa. Namun juga sejumlah pemerintah daerah ikut mengeluh.
Misalnya saja Pemprov Riau yang menilai penerimaan daerah bersumber dari dana bagi hasil (DBH) sektor kehutanan amat kecil. Wajar saja, Riau merupakan salah satu provinsi memiliki luasan hutan negara yang sangat lebar. Namun, penerimaan DBH sektor kehutanan bersumber dari porsi PNBP kehutanan dinilai sangat kecil.
BERITA TERKAIT: Pantas Saja DBH Kehutanan Riau Sangat Kecil, Menteri LHK Tetapkan Patokan Harga Akasia dan Eukaliptus Sangat Murah?
Pada Oktober 2021 lalu, dilaporkan kalau Gubernur Riau Syamsuar sudah melayangkan surat tertulis ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya. Gubernur Syamsuar mengemukakan betapa tingginya harapan sektor kehutanan bisa berkontribusi untuk keuangan daerah.
Syamsuar mengusulkan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya untuk menaikan harga patokan kayu hutan khususnya jenis akasia dan eukaliptus. Kedua jenis kayu hutan tanaman industri (HTI) tersebut merupakan bahan baku pokok industri pulp paper di Riau. Dua raksasa perusahaan ada di Riau, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper-RAPP (APRIL Grup) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper-IKPP (APP Grup).
BERITA TERKAIT: Menteri LHK Patok Akasia Cuma Rp 140 Ribu Per Meter Kubik Bikin DBH Kehutanan Kecil, Permintaan Gubernur Riau Agar Harga Dinaikkan Tak Digubris
Namun, sepertinya harapan itu bertepuk sebelah tangan. Surat Gubernur Riau tak berbalas. Peraturan Menteri LHK yang menetapkan patokan harga komoditi kehutanan sebagai dasar perhitungan PNBP tak kunjung direvisi.
Faktanya, Provinsi Riau dan 12 kabupaten/ kota tahun 2023 mendatang hanya menerima DBH sektor kehutanan sebesar Rp 161,67 miliar. Jumlah tersebut dinilai tak sebanding dengan risiko ekologis dan sosial yang didera akibat eksploitasi hutan di Riau.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), hingga pada tahun 2007 lalu, terdapat 1,93 juta hektar luasan hutan tanaman industri (HTI) di Riau. Di mana 58 persen dari luasan tersebut berada dalam kawasan hutan gambut.
Badan Pusat Statistik (BPS) Riau dalam laporan datanya menyebutkan bahwa sejak tahun 2017 hingga tahun 2019, rata-rata produksi kayu bulat dari IUPHHK-Hutan Tanaman (HTI) mencapai 19,45 juta meter kubik. Jumlah tersebut didominasi jenis kayu akasia dan eukaliptus yang merupakan bahan baku industri pulp and paper.
Selain itu, pada tahun 2019 tercatat sebanyak 535,74 ribu meter kubik produksi kayu bulat dari IUPHHK-Hutan Alam.
Kayu dari hasil IUPHHK-Hutan Tanaman (HTI) maupun IUPHHK-Hutan Alam merupakan salah satu sumber utama PNBP dari sektor kehutanan. Keduanya menyumbangkan pendapatan dalam bentuk provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi.
Bayangkan saja, dari besarnya produksi hutan tanaman industri (HTI) tersebut, Provinsi Riau hanya menerima DBH sektor kehutanan sebesar Rp 161,67 miliar tahun depan.
Revisi Peraturan Menteri LHK
Acuan yang dipakai untuk menetapkan besaran PBNP sektor kehutanan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan. Aturan itu diteken Menteri LHK Siti Nurbaya pada 19 Desember 2017 lalu.
Dalam lampiran Peraturan Menteri LHK tersebut, harga kayu akasia dan eukaliptus yang dipatok sebagai dasar PSDH dan Dana Reboisasi hanyalah sebesar Rp 140 ribu per meter kubik.
Adapun penentuan besaran jenis dan tarif PNBP yang berlaku di Kementerian Kehutanan ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan PP tersebut, besaran tarif PNBP untuk jenis kayu akasia dan eukaliptus yakni 6 persen. Itu artinya per meter kubik kayu akasia atau eukaliptus hanya memberikan kontribusi PNBP sebesar Rp 8.400.
Itu sebabnya, Gubernur Riau Syamsuar meminta agar patokan harga kayu itu dinaikkan menjadi Rp 375 ribu per meter kubik untuk jenis kayu akasia dan Rp 400 ribu per meter kubik untuk kayu eukaliptus.
Usulan Gubernur Riau tersebut sebenarnya wajar-wajar saja. Soalnya, di pasaran harga kedua kayu tersebut saat ini berkisar pada level Rp 575 ribu per meter kubik. Itu artinya, patokan harga yang ditentukan oleh Menteri LHK sebesar Rp 140 ribu hanyalah 1/4 dari harga pasaran.
Di situs pengadaan.web.id, harga kayu akasia secara gelondongan di pasaran dijual dengan harga lebih mahal lagi. Misalnya untuk ukuran diameter 10-13 cm dijual dengan harga Rp 730 ribu per kubik. Sementara kayu ukuran diameter 16-19 cm dan diameter 22-28 cm dijual masing-masing seharga Rp 850 ribu dan Rp 970 ribu. Meski demikian, daftar harga tersebut belum dapat diverifikasi akurasinya.
Anggota DPR RI Abdul Wahid sudah meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya segera merevisi patokan harga kayu hutan. Penetapan standar patokan harga yang dibuat pada tahun 2017 lalu dinilai terlalu rendah memicu minimnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dapil Riau II itu mendukung usulan Gubernur Riau Syamsuar yang telah meminta Menteri Siti Nurbaya menaikkan harga kayu hutan, khususnya jenis kayu akasia dan eukaliptus yang merupakan bahan baku industri pulp and paper di Riau.
Potensi Kerugian Negara
Penetapan patokan harga hasil hutan sebagai dasar perhitungan PNBP berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 sebenarnya patut untuk segera dievaluasi. Pemerintah pusat, melalui sejumlah kementerian yakni Menteri LHK, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan BPK maupun BPKP harus mengkaji ulang patokan harga tersebut.
Survei pasar dan faktor-faktor lain perlu dipertimbangkan dalam mendapatkan standar patokan harga yang paling realistis. Apalagi saat ini, sektor kehutanan masih menjadi primadona di pasar ekonomi.
Hal yang paling pokok menjadi pertimbangan adalah soal ekses ekologis dan sosial sebagai dampak dari industri kehutanan. Eksternalitas harus dihitung secara cermat dan objektif. Penetapan harga patokan hasil hutan itu harus dibuat transparan dan akuntabel.
Penetapan harga patokan hasil hutan yang terlalu rendah juga berpotensi hilangnya pendapatan negara. Dalam kondisi tersebut, bisa saja unsur kerugian negara telah terjadi.
Oleh karena itu, suara pemerintah daerah yang mengusulkan kenaikan harga hasil hutan kayu, khususnya di sektor HTI tersebut sangat penting dan sangat mendesak ditindaklanjuti. Negara bisa saja kehilangan penerimaan keuangan, jika revisi Peraturan Menteri LHK itu tidak segera dilakukan.
Jangan salah, Peraturan Menteri LHK tersebut tidak hanya mengatur soal harga kayu akasia dan eukaliptus. Namun, ada puluhan jenis lagi hasil hutan lain yang diatur harga patokannya dalam regulasi tersebut.
Inilah saatnya pemerintah segera meninjau ulang patokan harga hasil hutan sebagai dasar penetapan PNBP. Jika tidak, maka risiko negara mengalami kerugian dengan hilangnya pendapatan akan terus terjadi.
Bukankah negara saat ini sedang perlu uang? (*)