Dituduh Terima Rp 7 Miliar Terkait Pencemaran Limbah PT SIPP di Bengkalis, Kadis LHK Riau Kaget: Uang Segitu Besar Sekali, Adik-adik Salah Informasi!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Riau, Mamun Murod dituduh menerima uang sebesar Rp 7 miliar oleh massa Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Riau (AMMPR). Kelompok massa menuding pemberian uang terkait tuduhan pembekingan pabrik kelapa sawit PT Sawit Inti Prima Perkasa (SIPP) di Rangau, Bengkalis yang diduga telah mencemari lingkungan akibat limbah yang jebol. AMPPR mengaitkan hal tersebut dengan tidak adanya proses hukum kepada perusahaan.
Apa respon Kadis Mamun Murod terhadap tuduhan serius itu?
Mamun Murod mengawali penjelasannya dengan tertawa kecil. Ia kaget diberitakan menerima uang dari PT SIPP.
"Wah, sebanyak apa tuh ya uang Rp 7 miliar? Banyak sekali itu uang. Gak lah, itu informasi keliru entah dari mana dapat infonya adik-adik yang demo itu. Itu gak benar," kata Murod dihubungi SabangMerauke News, Sabtu (25/12/2021).
BERITA TERKAIT: Lawan Pemkab Bengkalis, Perusahaan Terduga Pencemar Lingkungan PT SIPP Gugat SK Bupati Soal Penutupan Pabrik Sawit
Namun meski mendapat tuduhan berat, Murod mengaku tak akan menanggapinya dengan serius. Ia justru salut dengan semangat para pendemo. Hanya saja menurutnya kelompok massa seharusnya mendapatkan informasi yang benar, sebelum menyampaikan ke publik lewat aksi demo.
"Adik-adik itu terlalu bersemangat, biasalah masih muda. Saya gak menanggapi itu sebagai hal serius," jelas Murod.
BERITA TERKAIT: #PercumaLaporPolisi, Pendemo Tuding Perusahaan Terduga Pencemar Lingkungan PT SIPP di Bengkalis Kebal Hukum
Sebelumnya, Kamis (23/12/2021) lalu, massa AMMPR menggelar demo di depan kantor Gubernur dan Mapolda Riau. Mereka menuntut proses hukum yang tuntas kepada PT SIPP atas dugaan pencemaran lingkungan dari limbah perusahaan.
BERITA TERKAIT: Negara 'Kalah Tak Berdaya' di Kasus Pencemaran Lingkungan Pabrik Sawit PT SIPP di Bengkalis, Korban Bisa Apa?
Dalam pernyataan sikapnya, AMPPR AMMPR mendesak agar aparat hukum yakni KPK, Polri dan Kejaksaan menelisik dugaan adanya dana ke oknum pejabat yang terkait persoalan tersebut. Massa bahkan menuding kalau Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau, Mamun Murod diduga menerima dana mencapai Rp 7 miliar.
Murod menjelaskan hingga saat ini belum ada keterkaitan antara Dinas LHK Provinsi Riau dengan persoalan PT SIPP yang diduga mencemari lingkungan. Soalnya, perizinan PT SIPP diterbitkan oleh Pemkab Bengkalis. Sementara, Pemkab Bengkalis sudah menjatuhkan sanksi kepada perusahaan lewat SK Bupati dengan perintah paksa penghentian sementara operasional perusahaan.
"Perusahaan itu izinnya dari Pemkab Bengkalis. Sampai sekarang tidak ada keterkaitannya dengan DLHK Riau. Kita juga tidak pernah mengeluarkan kebijakan dan langkah tertentu terkait itu. Jadi, agak heran kok DLHK Riau jadi diseret-seret ke situ," kata Murod yang mengaku tidak pernah dikonfirmasi oleh AMPPR sebelum demo digencarkan.
Usung Spanduk #PercumaLaporPolisi
Massa AMPPR dalam aksinya menilai perusahaan pabrik kelapa sawit PT SIPP kebal hukum karena hingga saat ini penindakan hukum tak kunjung dilakukan. Operasional perusahaan justru tetap berjalan, meski sudah ada sanksi penghentian dari Bupati Bengkalis.
Dalam aksinya, pendemo membentangkan plakat dan spanduk berisi kritik atas lambannya penanganan kasus tersebut. Massa juga menuding ada indikasi pembekingan perusahaan dengan sejumlah motif.
"Percuma Lapor Polisi. Apa harus viral dulu baru diproses," demikian isi spanduk kecil yang dipampang pengunjuk rasa.
Koordinator Lapangan aksi tersebut, Eko menyatakan Gubernur Riau harus mengambil tindakan dalam kasus dugaan pencemaran limbah PKS perusahaan. Selain itu, Polda Riau juga diminta melakukan kewenangannya untuk menyelidiki kasus tersebut hingga tuntas.
Pendemo juga mendesak agar Polda Riau menindaklanjuti laporan pengaduan yang sudah disampaikan beberapa bulan lalu.
Februari Lalu Sudah Dilaporkan ke Polda Riau
Diwartakan sebelumnya, kasus dugaan pencemaran lingkungan akibat limbah PT SIPP sudah dilaporkan ke Polda Riau sejak 10 bulan lalu. Korban yang lahannya tercemar, Jonni Siahaan melalui kuasa hukumnya, Marnalom Hutahaean SH, MH telah melayangkan pengaduan tertulis ke Polda Riau pada 23 Februari silam.
"Namun memang hingga kini belum ada kemajuan dari laporan pengaduan yang kami sampaikan itu," kata Marnalom pekan lalu.
Itu sebabnya pada Agustus lalu, Marnalom juga melayangkan surat pengaduan ke Presiden Joko Widodo, Kapolri dan Menteri LHK, Siti Nurbaya. Namun, hingga jelang tahun baru 2022, juga belum ada respon dari pengaduan tersebut.
Marnalom menyatakan tidak adanya proses hukum terkait pencemaran lingkungan ini seakan menunjukkan kalahnya negara melawan korporasi. Ia khawatir perusahaan akan merasa lebih kuat dari pemerintah karena tidak diberikan sanksi penegakan hukum yang jelas.
"Padahal, fakta adanya pencemaran lingkungan itu jelas sekali bisa dilihat oleh mata kepala. Tidak ada keraguan lagi. Pemkab Bengkalis juga sudah menjatuhkan sanksi dan menyebut terjadi pencemaran lingkungan. Tapi, sepertinya negara masih kalah dan tindakan hukum yang keras terukur tak kunjung dilakukan," kata Marnalom.
Marnalom menyatakan kalau Bupati Bengkalis, Kasmarni sudah menjatuhkan sanksi kepada PT SIPP. Perusahaan tersebut diperintah paksa untuk menghentikan operasional pabrik, sampai pemulihan dampak pencemaran dan pengurusan izin limbah dan lingkungan dipenuhi oleh perusahaaan. Nyatanya kata Marnalom, hingga kini perusahaan masih tetap beroperasi seperti tidak ada masalah yang terjadi dan dilanggar.
Perintah penghentian operasi perusahaan itu tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Kabupaten Bengkalis Nomor: 442/KPTS/VI/2021 tanggal 29 Juni 2021.
PT SIPP bahkan telah menggugat SK Bupati Bengkalis tersebut ke PTUN Pekanbaru dan sudah memasuki agenda sidang ke delapan yakni pemeriksaan setempat (sidang lapangan) dua pekan lalu.
Gugatan tersebut sebenarnya memicu tanda tanya. Soalnya pada 4 Oktober lalu, mediasi antara PT Sawit Inti Prima Perkasa (SIPP) dengan Pemkab Bengkalis yang difasilitasi Kejari Bengkalis sudah dilaksanakan. Hasilnya, perusahaan bersedia membayarkan denda sebesar Rp 101 juta yang dititip di Kejari Bengkalis.
Nyatanya, pelaksanaan mediasi oleh jaksa pengacara negara (JPN) Kejari Bengkalis dilakukan setelah PT SIPP menggugat Bupati Bengkalis ke PTUN. Diketahui, PT SIPP mendaftarkan gugatan pada 1 Oktober lalu dengan nomor registrasi: 50/G/2021/ PTUN.PBR.
SabangMerauke News belum dapat mengonfirmasi apa penyebab PT SIPP menggugat SK Bupati Bengkalis tentang penghentian operasional perusahaan, meski sudah bersedia membayar denda.
Roslin, istri Jonni yang lahannya tercemar oleh limbah PT SIPP menyatakan sejak insiden pencemaran itu tanaman kelapa sawitnya mengalami kerusakan serius. Hasil panen anjlok karena lahannya rusak akibat limbah perusahaan yang sudah menempel lama.
"Saya menuntut keadilan dari negara atas kerugian ini. Kami berharap masih ada keadilan," kata Roslin, pekan lalu.
Pemkab Bengkalis Laporkan ke KLHK
Upaya hukum pun sudah dilakukan oleh Pemkab Kuansing pasca-terbitnya SK Bupati Bengkalis nomor: 442/KPTS/VI/2021 tanggal 29 Juni 2021. Kuasa hukum Pemkab Bengkalis, Wan Subantriarti SH, MH menyatakan kalau kliennya telah melaporkan dugaan pidana lingkungan kasus pencemaran tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.
"Kami masih menunggu tindak lanjut laporan tersebut dari Kementerian LHK," kata Wan, Rabu (8/12/2021) lalu.
Dua hari lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya datang ke Riau untuk menghadiri sejumlah rangkaian acara di Pelalawan, Siak dan Pekanbaru. Namun, tidak ada pernyataan dari Menteri Siti ikhwal kasus dugaan pencemaran PT SIPP tersebut. Kemungkinan, Menteri Siti tidak mendapat laporan kasus itu dari anak buahnya. (*)