Menteri LHK Patok Akasia Cuma Rp 140 Ribu Per Meter Kubik Bikin DBH Kehutanan Kecil, Permintaan Gubernur Riau Agar Harga Dinaikkan Tak Digubris
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Gubernur Riau Syamsuar ternyata telah meminta agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menaikkan harga patokan kayu akasia dan eukaliptus. Permintaan itu disebabkan karena patokan harga yang dipakai sebagai dasar perhitungan dana bagi hasil (DBH) sektor kehutanan, khususnya provisi sumber daya hutan (PSDH) dinilai sangat kecil.
Hal itulah yang menjadi penyebab kucuran DBH sektor kehutanan untuk Provinsi Riau dinilai amat kecil, tak sebanding dengan risiko lingkungan dan ekses ekologi lain yang didera oleh daerah.
Permohonan Gubernur Syamsuar itu bahkan telah disampaikan secara tertulis lewat sepucuk surat kepada Menteri Siti Nurbaya pada Oktober 2021 lalu. Namun, tampaknya permintaan Syamsuar itu tak digubris oleh Kementerian LHK.
BERITA TERKAIT: Pantas Saja DBH Kehutanan Riau Sangat Kecil, Menteri LHK Tetapkan Patokan Harga Akasia dan Eukaliptus Sangat Murah?
Buktinya, pada tahun 2023 mendatang, jajaran pemerintah daerah di Riau, termasuk 12 kabupaten/ kota masih hanya menerima total DBH sektor kehutanan sebesar Rp 161,67 miliar. Penetapan besaran DBH sektor kehutanan tersebut masih menggunakan harga patokan akasia dan eukaliptus yang lama, yakni sebesar Rp 140 ribu per meter kubik.
"Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan di Provinsi Riau sangat bergantung pada hasil hutan kayu khususnya jenis akasia dan eukaliptus. Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah harga patokan dari hasil hutan kayu tersebut. Kami mengusulkan dilakukan penyesuaian harga patokan hasil hutan pada hutan negara," demikian isi surat Gubernur Syamsuar yang ditujukan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya.
BERITA TERKAIT: Hutan Riau Ludes Dieksploitasi Tapi Cuma Segini Penerimaan DBH Kehutanan, Ini Data Pembagiannya ke 12 Kabupaten/ Kota
Dalam lampiran surat tersebut, Syamsuar mengajukan usulan penyesuaian harga patokan kayu akasia dan eukaliptus masing-masing menjadi sebesar Rp 375.000 dan Rp 400.000 per meter kubik.
Surat tertanggal 28 Oktober 2021 tersebut juga ditembuskan kepada Ketua Badan Legislasi DPR RI, Ketua DPRD Riau, Sekjen Kementerian LHK dan Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK.
Sebelumnya diwartakan, penyebab rendahnya penerimaan dana bagi hasil (DBH) sektor kehutanan untuk Provinsi Riau terungkap. Diduga kuat hal ini disebabkan penentuan patokan harga kayu hutan tanaman industri oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sangat rendah dan murah. Padahal, patokan harga tersebut menjadi unsur utama perhitungan DBH sektor kehutanan yang diperoleh Riau.
DBH sektor kehutanan itu diperoleh dari Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Semakin rendah patokan harga kayu hutan industri (HTI) maka sudah pasti DBH sektor kehutanan yang diterima daerah makin minimalis.
Berdasarkan penelusuran SabangMerauke News, penetapan harga kayu sebagai patokan perhitungan PSDH ditetapkan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya. Yakni lewat penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan. Aturan itu diteken Menteri Siti pada 19 Desember 2017 lalu.
Dalam lampiran Peraturan Menteri LHK tersebut, patokan harga kayu akasia dan eukaliptus ditetapkan hanya sebesar Rp 140.000 per meter kubik. Diketahui, kedua jenis kayu itu merupakan bahan baku industri pulp and paper (bubur kertas) dan produk turunannya.
Di Riau, dua raksasa industri pulp and paper dikuasai oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang terafiliasi dengan APRIL Grup dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) yang merupakan afiliasi dari APP Grup.
Tidak diketahui apa dasar Kementerian LHK dalam menetapkan patokan harga kayu akasia dan eukaliptus tersebut. Apalagi, saat ini harga-harga komoditi berbahan dasar kedua kayu tersebut sudah naik di pasaran.
Menteri LHK Siti Nurbaya dan Sekretaris Jenderal Kementerian LHK Bambang Hendroyono sudah dikonfirmasi soal penetapan patokan harga kayu akasia dan eukaliptus tersebut. Namun, pesan konfirmasi via WhatsApp yang dilayangkan media ini kepada keduanya belum dibalas hingga berita ini diterbitkan.
Dasar Perhitungan DBH Sektor Kehutanan
DBH sektor kehutanan dikelompokkan dalam tiga bagian. Yakni Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR). Khusus untuk dana reboisasi hanya diterima oleh pemerintah tingkat provinsi. Sementara, PSDH diterima oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/ kota.
DBH sektor kehutanan merupakan salah satu bagian dari DBH Sumber Daya Alam yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ke daerah. Selain sektor kehutanan, ada juga penerimaan sektor migas, perikanan, minerba, dan panas bumi. Bagian lain dari DBH yakni penerimaan dari DBH pajak meliputi PPH, PBB dan CHT.
Merujuk pada Buku Pegangan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang diterbitkan Kementerian Keuangan RI, dana bagi hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendefenisikan PSDH sebagai pungutan pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara dan atau hasil hutan yang berada pada kawasan hutan yang telah dilepas statusnya menjadi bukan kawasan hutan atau hutan negara yang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan.
Dengan demikian, PSDH juga seharusnya telah memperhitungan ekses ekologi dan sosial (eksternalitas) dari pemanfaatan (eksploitasi) hutan yang telah dilakukan.
Sementara, dana reboisasi (DR) merupakan dana untuk pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya dipungut dari hasil pemanfaatan hutan kayu alam yang berasal dari hutan negara dan atau terhadap hasil hutan kayu hutan alam yang telah dilepas statusnya menjadi bukan kawasan hutan.
Penetapan dana bagi hasil (DBH) dilakukan oleh Menteri Keuangan. Salah satu acuannya yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan.
Ketentuan tersebut mengatur soal harga patokan sejumlah komoditas kehutanan berupa kayu dan non kayu. Termasuk juga patokan harga hasil sylvopastura dan sylvofishery yang berlaku sebagai acuan perhitungan PSDH.
Adapun porsi pembagiannya, untuk DBH Kehutanan bersumber dari PSDH dibagi antara alokasi untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat mendapat porsi 20 persen dan pemerintah daerah menerima 80 persen.
PSDH untuk pemerintah daerah ini dibagi lagi dalam bagian yang menjadi hak pemerintah provinsi sebesar 16 persen. Sisanya untuk pemerintah kabupaten/ kota sebesar Rp 32 persen dan sisanya 32 persen lagi untuk pemerintah kabupaten/ kota dalam satu wilayah provinsi.
Sementara, dalam hal pembagian dana reboisasi, alokasinya didominasi untuk pemerintah pusat sebesar 60 persen dan sisanya 40 persen untuk pemerintah daerah (provinsi).
DBH Kehutanan untuk Riau
Pemerintah pusat akan mengucurkan dana bagi hasil (DBH) sektor kehutanan pada 2023 mendatang. Khusus untuk provinsi Riau, termasuk 12 kabupaten/ kota, hanya akan menerima total sebesar Rp 161,67 miliar dari DBH Kehutanan ini.
Adapun besaran defenitif dana reboisasi (DR) yang akan diterima Pemprov Riau pada 2023 mendatang hanya sebesar Rp 3,51 miliar. Jumlah tersebut dinilai sangat kecil untuk kebutuhan reboisasi di Riau.
Sementara itu, berdasarkan data rincian APBN tahun 2023, alokasi IIUPH-PSDH untuk Provinsi Riau hanyalah sebesar Rp 34,11 miliar.
Adalah Pelalawan yang merupakan kabupaten mendapat dana IIUPH-PSDH terbesar di Riau, yakni senilai Rp 26,3 miliar.
Untuk Kabupaten Kabupaten Siak mendapat kucuran DBH Kehutanan sebesar Rp 17,1 miliar.
Sementara, Kabupaten Bengkalis mendapat Rp 14,2 miliar yang disusul Kabupaten Indragiri Hilir sebesar Rp 13,7 miliar. Untuk Kabupaten Kampar besaran DBH kehutanan yang diperoleh sebesar Rp 10,09 miliar.
Menariknya, Rokan Hilir yang notabenenya memiliki luas hutan keempat terbesar di Riau per 2021, justru mendapat DBH kehutanan paling sedikit yakni Rp 5,3 miliar.
Sementara DBH kehutanan untuk Kota Pekanbaru dan Dumai masing-masing sebesar Rp 5,7 miliar dan 5,8 miliar.
Sementara itu, empat kabupaten lain di Riau juga menerima DBH kehutanan di bawah angka Rp 10 miliar. Yakni Rokan Hulu yang menerima sebesar Rp 6,5 miliar, Indragiri Hulu sebesar Rp 6,8 miliar.
Untuk Kabupaten Kepulauan Meranti menerima DBH kehutanan sebesar Rp 7,5 miliar dan Kabupaten Kuantan Singingi sebesar Rp 8,14 miliar.
Jika direkapitulasi, besaran alokasi DBH sektor kehutanan untuk seluruh wilayah Riau mencapai Rp 161,67 miliar. Jumlah tersebut hampir setara dengan porsi 15 persen dari total DBH Kehutanan yang dibagikan ke 486 kabupaten/ kota se-Indonesia, termasuk 31 provinsi.
Berikut data lengkap rincian alokasi penerimaan DBH Sektor Kehutanan untuk wilayah Provinsi Riau dari APBN 2023 mendatang:
1. Provinsi Riau: Rp 37.626.500.000
2. Kabupaten Pelalawan:Rp 26.305.357.000
3. Kabupaten Siak: Rp 17.128.163.000
4. Kab. Bengkalis: Rp 14.264.994.000
5. Kabupaten Indragiri Hilir: Rp 13.748.748.000
6. Kabupaten Kampar: Rp 10.098.087.000
7. Kabupaten Kuantan Singingi: Rp 8.141.977.000
8. Kabupaten Kepulauan Meranti: Rp 7.572.784.000
9. Kabupaten Indragiri Hulu: Rp 6.868.502.000
10. Kabupaten Rokan Hulu: Rp 6.579.038.000
11. Kota Dumai: Rp 5.857.061.000
13. Kota Pekanbaru: Rp 5.747.251.000
14. Kabupaten Rokan Hilir: Rp 5.314.669.000. (*)