Participating Interest Blok Rokan Macet 5 Bulan: Momentum Konsolidasi Daerah di Era Pertamina
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Sudah lebih 15 bulan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mendapat hak kelola wilayah kerja (WK) blok Rokan, pasca habisnya masa konsesi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Sejumlah persoalan mulai bermunculan.
Masalah menerpa meliputi beragam segi dan sisi. Ujian bagi manajemen PT PHR di bawah kepemimpinan Jaffee Arizon Suardin sebagai direktur utamanya tak kunjung usai.
Persoalan awal muncul manakala mobilisasi anak-cucu perusahaan Pertamina secara agresif dan massif mendapat proyek-proyek strategis lewat penunjukkan langsung. Problem ini menggoyang sejumlah pelaku usaha migas dan jasa penunjang lokal yang selama ini sudah menjadi pemain di era Chevron.
Kebijakan ekspansif perusahaan anak-cucu BUMN menggarap Blok Rokan dinilai sebagai ancaman serius dan konkret. Pelaku usaha lokal mengaku sulit bertahan jika kondisi ini berlangsung.
Mereka merasa dirinya sebagai penonton di negeri sendiri. Jangankan untuk naik kelas, bertahan saja sudah alhamdullilah.
Hingga kini, pekik dan teriakan minta tolong pelaku usaha lokal masih berlangsung. Namun, 'perlawanan' untuk mendapat hak istimewa 'mandat daerah' tak dilakukan secara terbuka.
Berharap bisa mendapat 'keistimewaan' sebagai hak daerah, namun hal itu tak kunjung diperoleh. Mereka berteriak dalam hati, sambil bermohon dalam doa. Sebagian masih berharap-harap dalam kecemasan.
Pada sisi lain, keberadaan limbah tanah tercemar minyak (TTM) Blok Rokan juga dipersoalkan. Masalahnya muncul karena PT PHR dituding tak kunjung melakukan pemulihan lingkungan tercemar TTM sejak mulai beroperasi pada 9 Agustus 2021 lalu. Belum lagi warisan untuk menanggung beban limbah TTM yang ditinggal Chevron dalam jumlah lebih dari 6 juta kubik.
Beban berat yang paling krusial PT PHR yakni mewujudkan ambisi kenaikan produksi lifting minyak Blok Rokan. Berada pada level produksi 162 ribu liter per hari (bph) saat ini, PT PHR mendapat 'penugasan' untuk memacu produksi.
Tantangannya yakni mengembalikan kejayaan Blok Rokan sebagai ladang penghasil minyak terbesar di Indonesia. Predikat itu selama puluhan tahun lalu berhasil diraih oleh Blok Rokan, namun sejak 2019 lalu direbut ke Blok Cepu yang dikelola dominan oleh ExxonMobile.
PT PHR mengklaim kondisi sumur-sumur minyak warisan Chevron sudah tua (mature).
Dibutuhkan teknologi baru yang memerlukan investasi besar. Proyek EOR yang digadang-gadang mampu mempercepat kenaikan produksi, hingga kini tak kunjung terealisasi.
Participating Interest Blok Rokan
Pemerintah daerah di Riau, khususnya yang menjadi wilayah operasi Blok Rokan, memiliki kepentingan soal produksi minyak. Betapa tidak, hal tersebut berkaitan dengan penerimaan daerah melalui dana bagi hasil (DBH) yang kian tahun terus melorot.
Pada 2022 ini, Provinsi Riau hanya menerima DBH sekitar Rp 400-an miliar. DBH menjadi tulang punggung utama pendapatan Riau untuk pembangunan dan membayar gaji-gaji pegawai.
Pendapatan migas sebenarnya bisa dipompa lewat hak participating interest (PI) 10 persen Blok Rokan. Pemprov Riau telah mengajukan Badan Usaha Daerah (BUMD) PT Riau Petroleum untuk mengelola PI tersebut. Selanjutnya, PT Riau Petroleum membentuk anak perusahaan PT Riau Petroleum Rokan untuk menjadi unit usaha pengelolaan PI tersebut.
Pengajuan PT Riau Petroleum telah disampaikan Pemprov Riau ke SKK Migas akhir 2021 lalu. Persoalan muncul manakala proses perizinan PI disebut-sebut macet dan jalan di tempat.
Direktur Utama PT Riau Petroleum, Husnul Kausarian pekan lalu membeberkan fakta macetnya proses PI Blok Rokan. Pengajuan izin akses data ke PT PHR sejak lima bulan lalu tak kunjung diperoleh. Alhasil, proses due dilligence tak bisa dilakukan.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran PI 10 Persen pada Wilayah Kerja Migas, seyogianya proses akses dan due dilligence dilakukan dalam tempo 180 hari atau sekitar 6 bulan.
"Sudah lima bulan lalu permohonan izin akses data pelamparan kami ajukan, namun belum dapat kami terima," kata Husnul pekan lalu.
Mandegnya izin akses ini menyebabkan PT Riau Petroleum tidak dapat menindaklanjuti perizinan ke tahap selanjutnya. Diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM tersebut ada sekitar 12 tahapan yang mesti dilakukan. Proses akses data dan due dilligence adalah tahap ke delapan.
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Jaffee Arizon Suardin telah dikonfirmasi soal penyebab BUMN ini tak kunjung memberikan akses data ke PT Riau Petroleum. Namun Jaffee alias Buyung tak kunjung memberikan balasan.
Wajar saja Husnul dibuat pusing. Soalnya, dari gedung DPRD Riau, PT Riau Petroleum selalu ditagih soal target capaian pendapatan asli daerah sektor migas sebesar Rp 450 miliar. Para wakil rakyat selalu mewanti-wanti BUMD ini untuk dapat meraup target deviden jumbo tersebut.
Konsolidasi Daerah
Agak aneh memang jika suara dari DPRD Riau kerap menekan PT Riau Petroleum untuk mendapatkan target penerimaan dari PT Riau Petroleum. Padahal, sudah jelas kalau PT Riau Petroleum sedang mengalami hambatan dalam pengurusan izin PI.
Semestinya, DPRD Riau turut untuk mendesak agar Pertamina segera memenuhi kewajibannya memberikan akses data ke PT Riau Petroleum. Sebab hal ini menyangkut penerimaan daerah yang dibebankan ke PT Riau Petroleum.
Namun tampaknya, suara vokal dari gedung DPRD Riau soal mandegnya proses PI yang 'nyangkut' di Pertamina ini tak kunjung dilayangkan oleh para wakil rakyat.
Sama halnya juga dengan para anggota DPR RI daerah pemilihan Riau, tak pernah terdengar suaranya mendesak Pertamina untuk pro aktif dalam proses pengurusan PI Blok Rokan.
Kondisi saat Blok Rokan dikelola Pertamina saat ini sebenarnya menjadi momentum fatal bagi seluruh stakeholder Riau untuk secara aktif mendorong segera direalisasikannya PI Blok Rokan. Adalah merupakan kerugian besar jika realisasi PI Blok Rokan molor hingga beberapa tahun ke depan. Riau akan kehilangan potensi penerimaan yang besar dari PI tersebut. Padahal, Pemprov Riau dan juga jajaran Pemkab/ Pemko di Riau kerap mengeluh soalnya terbatasnya APBD mereka.
Konsolidasi kekuatan sosial seluruh stakeholder masyarakat Riau baik di daerah maupun pusat mestinya segera dilakukan dalam mendapatkan haknya dalam pengelolaan PI 10 persen di Blok Rokan. Pertamina harus selalu diingatkan agar pro aktif memberikan akses data sebagai bagian dari proses perizinan PI tersebut.
Tentu saja, konsolidasi sosial ini tak saja soal PI Blok Rokan. Namun juga dalam mengatasi kesenjangan keterlibatan pelaku usaha lokal dan juga pekerja lokal untuk ikut berperan dalam dalam pengelolaan Blok Rokan.
Bukankah dengan kembalinya Blok Rokan ke Pangkuan Ibu Pertiwi seharusnya memberikan manfaat lebih bagi masyarakat di daerah penghasil? Lalu mengapa yang terjadi justru masyarakat lokal masih sebatas penonton di negerinya sendiri? (*)