Tajuk Redaksi
Nasib Apes Duta Palma Grup, Korporasi yang Dikecualikan Aparat Hukum dalam Undang-undang Cipta Kerja?
SABANGMERAUKE NEWS - Sejumlah anggota Komisi III DPR RI melakukan pertemuan dengan Kapolda Riau Irjen Pol M Iqbal di Pekanbaru, Rabu (16/11/2022). Persamuhan malam hari itu juga dihadiri Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Supardi.
Seperti biasa, kedatangan para wakil rakyat yang membidangi urusan hukum ini pasti saja membawa kabar. Namun kali ini, tampaknya mereka berfokus pada isu hukum di seputar keberadaan kebun kelapa sawit ilegal di Riau.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Mulfachri Harahap mengungkap ada sebanyak 80 perusahaan perkebunan di Riau yang terindikasi melakukan aktifitas ilegal di kawasan hutan.
Kabar yang disampaikan Mulfachri ini sebenarnya isu lawas, bukan barang baru alias bisa disebut sudah basi. Bahkan, fakta yang sebenarnya, jumlah korporasi perambah hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit di Riau jumlahnya lebih dari 80.
Melansir data kelompok yang menguasai hutan tanpa izin yang diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedikitnya ada 442 subjek hukum yang telah 'merampok' hutan negara. Luasannya mencapai lebih dari 331 ribu hektar.
Data tersebut dirangkum tim SabangMerauke News dari 8 surat keputusan yang diteken Menteri LHK Siti Nurbaya memuat tentang hasil inventarisasi penguasaan hutan tanpa izin kehutanan di Riau.
Sejak tahun lalu hingga Oktober 2022, Menteri Siti telah menugaskan anak buahnya untuk melakukan pendataan kawasan hutan yang dikelola tanpa izin di seluruh wilayah Indonesia. Hasilnya di wilayah Provinsi Riau terdapat lebih dari 442 kelompok yang mengelola hutan tanpa izin dengan luasan mencapai 331 ribu hektar.
Namun, jumlah tersebut dipastikan jauh lebih besar dari fakta sebenarnya. Soalnya, di dalam 8 SK yang diteken Menteri Siti Nurbaya, banyak korporasi atau subjek hukum yang tak dicantumkan luasan hutan yang telah dikuasai.
Jika merujuk pada hasil rapat kerja Komisi IV DPR RI dengan Kementerian LHK beberapa bulan lalu, terungkap di wilayah Riau sedikitnya terdapat lebih dari 1,4 juta hektar hutan yang telah dialihfungsikan dan dikuasai secara ilegal tanpa izin. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 535 ribu hektar yang dikuasai oleh korporasi kelapa sawit di Riau.
Adapun modus paling umum yang dipakai korporasi dalam mengelola lahan hutan tersebut, di antaranya dengan menggaet kelompok tani maupun menggunakan tameng koperasi. Ini praktik kasat mata yang sangat telanjang dan mudah untuk ditelisik. Aliran tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil dari kebun dalam kawasan hutan, dapat dengan mudah dimonitor pergerakannya sampai ke hilir.
Kasus Duta Palma Grup: Sebuah Pengecualian?
Pada Juni 2022 lalu, kabar menghentak datang dari Gedung Bundar yakni Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. Secara mendadak, Korps Adhyaksa mengusut dugaan korupsi pengelolaan kebun kelapa sawit Duta Palma Grup di Indragiri Hulu, Riau seluas 37.500 hektar.
Perusahaan yang dikenal berada dalam afiliasi Darmex Agro ini ketimpa sial. Bos atau pemiliknya Surya Darmadi ditetapkan sebagai tersangka. Mantan Bupati Indragiri Hulu, Thamsir Rachman juga dijerat. Kini keduanya telah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tak tanggung-tanggung, Kejagung mendakwa Surya Darmadi telah merugikan negara sebesar lebih dari Rp 84 triliun. Bahkan di awal, Kejagung sempat mengumumkan jumlah kerugian negara (kerugian keuangan negara dan perekonomian negara) sebesar Rp 104 triliun.
Kasus ini disebut-sebut sebagai dugaan megakorupsi yang pernah diusut seluruh jajaran aparat hukum di negeri ini, sejak Indonesia merdeka 77 tahun lalu.
Penyidikan perkara ini dipimpin oleh Dr Supardi, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung. Dua bulan lalu, Supardi telah pindah tugas sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau.
Namun, lebih dari dua bulan bertugas di Bumi Lancang Kuning, tampaknya belum ada tanda-tanda kasus baru kebun kelapa sawit ilegal di Riau yang diusut oleh Kejati Riau di bawah kepemimpinan Supardi. Hal yang sama juga terjadi pada Kepolisian Daerah Riau maupun Dirjen Penegakan Hukum Kementerian LHK, termasuk juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menelisiknya.
Duta Palma Grup benar-benar apes dan ketimpa sial. Korporasi ini menjadi satu-satunya yang diproses hukum dalam kasus penguasaan kawasan hutan tanpa izin. Sejumlah korporasi lain yang justru diduga mengusai hutan lebih luas di Riau masih aman-aman saja. Apakah Duta Palma Grup dikecualikan dari korporasi-korporasi lainnya?
Tameng Undang-undang Cipta Kerja Sektor Kehutanan
Pasca terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, isu kebun kelapa sawit ilegal dalam kawasan hutan mulai bergeser. Undang-undang sapu jagad itu seolah dipakai untuk 'melindungi' para korporasi penguasa hutan ilegal dengan jargon asa ultimum remedium.
Asas hukum itu dimaknai sebagai penyelesaian kasus kebun sawit dalam kawasan hutan dengan menjadikan jalur pidana sebagai pilihan terakhir penyelesaiannya. Pemerintah mengedepankan tindakan/ sanksi administratif dengan penjatuhan sanksi denda administrasi maupun pemberhentian sementara kegiatan usaha.
Hal tersebut tertuang dalam penyisipan pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja pada sektor kehutanan. Kedua pasal sisipan ini yang kerap dijadikan tameng perlindungan bagi korporasi perambah hutan ilegal.
Namun, sejauh ini belum diketahui secara pasti sudah berapa besar denda administrasi yang dikumpulkan Kementerian LHK sebagai leading sector. Pun termasuk soal berapa korporasi yang dikenai sanksi pemberhentian sementara kegiatan usaha, sama sekali tak pernah diumumkan oleh KLHK. Perlu pelibatan instansi dan aparat lain untuk memantau perkembangan penerapan sanksi administrasi yang dilakukan oleh KLHK ini.
Di luar itu, debat soal konstitusionalitas Undang-undang Cipta Kerja pun masih bergulir. Apalagi, putusan uji materiil yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi telah menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat.
Konsekuensinya yakni pemerintah harus merevisi sejumlah pasal sekaligus dilarang untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja.
Tapi, itu semua tampaknya tak diacuhkan. Buktinya, pemerintah justru menerbitkan aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja.
Salah satunya dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Lantas, mengapa setelah terbitnya UU Cipta Kerja, Kejaksaan Agung justru memproses Duta Palma Grup ke jalur hukum pidana? Dan jika Kejagung ingin mengenyampingkan UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan MK inkonstitusional bersyarat itu, mengapa korporasi lain yang diduga menjalankan praktik identik dengan Duta Palma, justru tidak diproses hukum? (*)