Waduh! Raksasa Migas Dunia Hengkang dari Indonesia, Inilah Penyebabnya
SABANGMERAUKE NEWS - Sejumlah perusahaan minyak dan gas bumi (migas) kelas kakap satu per satu mulai hengkang dari proyek hulu migas di Indonesia. Mulai dari Chevron, Shell, hingga ConocoPhillips sudah menyatakan keluar dari proyek hulu migas di Indonesia.
Perusahaan minyak asal Amerika Serikat, ConocoPhillips, sudah resmi melepas asetnya di Indonesia kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) pada awal 2022 lalu.
ConocoPhillips sebelumnya merupakan operator dan juga pemegang hak partisipasi (Participating Interest/ PI) sebesar 54% di Blok Corridor, lepas pantai Sumatera Selatan.
Medco resmi mengakuisisi aset ConocoPhillips senilai US$ 1,35 miliar atau kisaran Rp 19,37 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$).
Perjanjian Jual Beli Saham (Share Sale and Purchase Agreement/ SPA) antara Medco Energi Global Pte Ltd (MGE) dan Phillips International Investments Inc telah dilakukan pada 8 Desember 2021 lalu. Dengan demikian, Blok Corridor di Sumatera Selatan kini resmi dikelola oleh Medco.
Selain ConocoPhillips, Chevron Indonesia Company (CICO) juga menyatakan akan keluar dari proyek gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur. Lalu, Shell juga sejak tiga tahun lalu menyatakan akan keluar dari proyek gas raksasa Blok Masela di Maluku.
Lantas, apa yang membuat perusahaan migas kelas dunia ini keluar dari proyek hulu migas di Tanah Air?
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menilai tidak adanya kepastian hukum di sektor hulu migas RI menjadi salah satu penyebab hengkangnya perusahaan migas kelas kakap global ini.
Padahal, Indonesia membutuhkan para investor tersebut untuk menggenjot produksi migas nasional.
"Di tengah kondisi seperti ini adalah ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan hengkangnya perusahaan minyak seperti Total, Chevron, ConocoPhillips, dan Shell di Blok Masela," ungkap Mulyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI bersama SKK Migas, Rabu (16/11/2022).
Adapun kondisi ini sebetulnya terjadi lantaran tak kunjung selesainya pembahasan Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Oleh sebab itu, ia pun mendorong keseriusan pemerintah untuk segera menggenjot pembahasan Revisi UU Migas.
"Terutama mendorong keseriusan pemerintah, jangan sampai seperti RUU EBT lagi, DIM-nya gak ada. Kita sudah siapkan tanpa DIM terus gimana, barangnya bodong jadi gak bisa dibahas," ujarnya.
Mulyanto pun berharap agar Revisi UU Migas dapat segera rampung. Terutama, untuk memperkokoh legitimasi hukum SKK Migas yang saat ini hanya bersifat sementara.
"Kita harus ubah UU Migas ini, membentuk kelembagaan yang ideal di tengah kondisi senjakala industri migas. Ini yang harus kita tata dengan baik, saya khawatir Andaman mengulangi kasus Abadi Masela karena adanya ketidakpastian hukum," ungkapnya.
Seperti diketahui, belum tuntasnya pembahasan Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinilai menjadi salah satu faktor iklim investasi migas di RI kurang menarik, terutama bagi perusahaan migas global.
Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan juga mendorong agar pemerintah segera merampungkan Revisi UU Migas. Pasalnya, investor masih akan tetap menahan investasinya hingga RI mempunyai kekuatan payung hukum tetap.
"Semakin lama disahkan. Uncertainty juga semakin besar. Investors wait and see. Options ada di investors, mereka mau berinvestasi di Indonesia (dengan segala uncertainty) atau ke negara-negara lainnya yang lebih certain," katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/11/2022).
Di samping itu, ekosistem investasi di sektor hulu migas RI sudah tidak semenarik apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Misalnya seperti Malaysia, Brunei, dan beberapa negara di Asean.
"Mungkin mereka lebih memprioritaskan ke negara-negara tersebut yang masih banyak International Oil and Gas Company yang melakukan investasinya," ujarnya. (*)