PT Pertagas Digugat Rp 15 Miliar Terkait Pembangunan Fasilitas Migas untuk Blok Rokan, Begini Perkembangan Perkaranya
SABANGMERAUKE NEWS, Rokan Hilir - PT Pertamina Gas (Pertagas) digugat oleh mantan anggota DPRD Riau, Siswaja Muljadi alias Aseng UB terkait pembangunan fasilitas migas untuk Blok Rokan. Gugatan tersebut telah bergulir di Pengadilan Negeri Rokan Hilir.
Bagaimana perkembangan gugatan perdata atas tidak dilakukannya ganti rugi terhadap lahan yang diklaim Siswaja merupakan miliknya?
Kuasa hukum Siswaja Muljadi, Daniel Pratama SH, MH menyatakan agenda sidang pada 9 November 2022 lalu ditunda. Sidang baru akan digelar pada 23 November mendatang.
Daniel menjelaskan, sidang pada pekan depan itu akan mengagendakan mediasi dengan para pihak.
"Sidang ditunda dan dijadwalkan akan digelar 23 November nanti. Agendanya mediasi," kata Daniel saat dikonfirmasi, Kamis (17/11/2022).
Gugat PT Pertagas dkk Rp 15 Miliar
Mantan anggota DPRD Provinsi Riau, Siswaja Muljadi menggugat PT Pertamina Gas (Pertagas) ke Pengadilan Negeri Rokan Hilir. Gugatan didaftarkan terkait pembangunan fasilitas migas Blok Rokan di atas tanah miliknya tanpa ganti rugi.
BACA JUGA: Heboh Proyek Pipa Minyak Blok Rokan Rp 4,2 Triliun, Mangkrak atau Molor?
PT Pertamina Gas Negara (PGN) melalui anak perusahaannya PT Pertagas melakukan pembangunan pipanisasi minyak Blok Rokan. PT Pertagas menggaet mitra investasi yakni PT Rukun Raharja (RAJA) dengan porsi 20 persen.
Sementara pelaksanaan proyek dikerjakan oleh konsorsium PT Patra Drilling Contractor (PDC) dan PT PGAS Solution. Proyek pipanisasi ini menelan anggaran Rp 4,2 triliun lebih. Seremonial pembukaan proyek (first welding) telah dilakukan sejak 9 September 2020 lalu di Kandis, Siak, Riau.
Gugatan dalam klasifikasi perizinan ini telah didaftarkan oleh Siswaja pada 22 September 2022 lalu. Adapun perkara terdaftar dalam nomor registrasi: 50/Pdt.G/2022/PN Rhl.
BACA JUGA: Anggota DPR Sebut Proyek Pipa Minyak Blok Rokan Rp 4,2 Triliun Mangkrak, Minta Aparat Hukum Usut
Siswaja juga turut menyeret keterlibatan PT Patra Drilling Contractor (PDC) dan PT Wahanakarsa Swamandiri sebagai tergugat II dan tergugat III. Dalam gugatan tersebut, Gubernur Riau juga dijadikan sebagai pihak turut tergugat.
Siswaja dalam petitum gugatannya meminta majelis hakim untuk menerima dan mengabulkan gugatan seluruhnya.
Ia meminta agar majelis hakim menyatakan tanah sebagaimana dalam surat SKGR nomor Reg. Penghulu: 89/SKGR/BJ/2010 tertanggal 8 Juli 2010 atas nama Siswaja Muljadi adalah sah miliknya.
"Menyatakan perbuatan dan/ atau tindakan yang dilakukan oleh para tergugat adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)," demikian gugatan Siswaja.
Selain itu, Siswaja meminta untuk menghukum para tergugat membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp 5 miliar dan immateriil sebesar 10 miliar.
"Menghukum dan memerintahkan para tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsoom) sebesar Rp 1 juta per hari setiap keterlambatan tergugat dan turut tergugat secara tanggung-renteng melaksanakan putusan perkara ini," demikian gugatan Siswaja.
Selanjutnya, ia meminta majelis hakim menghukum turut tergugat untuk tunduk dan patuh terhadap putusan yang ada.
"Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbaar bij vooraad) walaupun para tergugat menempuh upaya hukum banding, kasasi, peninjauan kembali dan perlawanan.
Sidang pertama perkara ini sudah digelar pada Kamis (20/10/2022) lalu.
Pihak PT Pertagas dan tergugat lainnya belum dapat dikonfirmasi soal gugatan Siswaja ini.
Swasta Lebih Manusiawi Ketimbang BUMN
Siswaja menggugat ketiga perusahaan tersebut karena telah membangun fasilitas migas Blok Rokan di atas tanah yang diklaim miliknya. Ia menyebut, pembangunan fasilitas migas dilakukan tanpa ganti rugi lahan.
Siswaja lantas membandingkan tindakan pengelola Blok Rokan sebelumnya yakni PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Sejak 9 Agustus 2021 lalu, Blok Rokan telah dialih kelola ke tangan BUMN yakni PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) karena masa konsesi CPI telah habis.
Menurut Siswaja, pada era CPI mengelola Blok Rokan, tanah masyarakat yang terkena proyek migas diganti rugi. Ia merasa aneh justru saat Blok Rokan dikelola Pertamina, tanah warga yang terpakai tak diberikan ganti rugi yang sama.
"Saat Chevron (CPI) melakukan eksplorasi, semua tanah warga diganti rugi. Kok sekarang ketika dikelola Pertamina, hak masyarakat diabaikan," kata Siswaja saat dihubungi SabangMerauke News via seluler, Kamis (27/10/2022) lalu.
Menurutnya, tindakan pengabaian hak masyarakat yang terjadi saat ini cenderung tidak manusiawi.
"Bandingkan mana yang lebih manusiawi, apakah saat Blok Rokan dikelola perusahaan swasta (Chevron) atau BUMN," tegasnya.
Ia menjelaskan, salah satu tanah masyarakat yang dibangun fasilitas migas oleh Pertamina merupakan miliknya yang berada di km 12 Balam, Kepenghuluan Bangko Jaya Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir.
"Tanah di Kilometer 12 Bangko Jaya, dibangun fasilitas Pertagas, termasuk tanah saya. Mereka mengaku tanah sepanjang jalan lintas, 100 meter sisi kiri kanan adalah aset negara. Atas klaim itu mereka abaikan hak masyarakat," kata Siswaja.
Menurut Siswaja, pihak Pertagas ngotot berpegang pada Surat Keputusan (SK) Gubernur Riau sehingga hak warga masyarakat diabaikan.
"Tapi lebih bagus dibuktikan di pengadilan agar jelas," katanya.
Ia menerangkan kalau pihak PT Pertagas sudah memberikan sagu hati. Akan tetapi sagu hati tersebut diberikan sebagai pengganti tanaman, bukan tanah yang merupakan hak masyarakat.
"Yang sagu hati untuk tanaman saja, bukan tanah," imbuhnya.
Siswaja kembali menegaskan bahwa di dalam surat SKGR tanah yang ia miliki tercantum limit Chevron 29 meter. Setelah diukur, ternyata fasilitas migas yang dibangun PT Pertagas sudah memasuki wilayah tanahnya.
Pembangunan fasilitas itu juga sudah memakai tanah miliknya yang sudah ditanam pohon kelapa sawit. Banyak tanah timbun yang diletakkan begitu saja oleh pihak kontraktor pada saat pembangunan sehingga menyebabkan kondisi kotor. Setelah ditegur, kata Siswaja, barulah pihak kontraktor membersihkannya.
"Pembangunan fasilitas tersebut telah menutup akses ke tanah kami yang berada di belakang. Sehingga untuk keluar masuk, kami terhalangi," pungkas Siswaja. (*)