In Dubio Pro Natura, Doktrin Hukum yang Dipakai Hakim PTUN Pekanbaru Seret Tanggung Jawab Menteri LHK dalam Kasus 1.200 Hektar Kebun Sawit di TNTN
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Trio hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru mengambil putusan progresif terkait tanggung jawab negara menyangkut keberadaan kebun sawit seluas 1.200 hektar di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Ketiga hakim dalam putusannya dinilai mampu meresapi suasana batin rakyat dan pecinta lingkungan, termasuk aneka makhluk hidup (flora/ fauna) tentang parahnya laju pengrusakan (deforestasi) hutan saat ini.
Gugatan kualifikasi tindakan administrasi pemerintah/ tindakan faktual ini, menyeret Kepala Balai TNTN sebagai Tergugat I, Menteri LHK sebagai Tergugat II dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK sebagai Tergugat III. Adapun penggugatnya yakni Yayasan Riau Madani yang dikenal sepak terjangnya dalam melakukan upaya litigasi terhadap perambah hutan.
Ketiga hakim yang menyidangkan gugatan ini yakni Darmawi SH sebagai ketua majelis dan hakim Selvie Ruthyarodh SH, MH serta Erick Siswandi Sihombing SH masing-masing sebagai anggota.
Hakim Erick dikenal sebagai salah satu hakim lingkungan terbaik yang bertugas di lingkungan PTUN. Ia disebut pernah menjadi perwakilan hakim di lingkup Mahkamah Agung dalam penataran hakim lingkungan se Asia Tenggara.
Dalam putusannya, majelis hakim menolak dalil-dalil dalam eksepsi para tergugat untuk seluruhnya dan mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani untuk sebagian.
Adapun putusan terhadap gugatan Yayasan Riau Madani ini yakni mewajibkan para tergugat bersama-sama melakukan tindakan pemerintahan berupa pemulihan kerusakan lingkungan hidup di hutan konservasi kawasan pelestarian alam TNTN. Caranya dengan menebang seluruh tanaman kelapa sawit seluas 1.200 hektar yang berada di kawasan yang "haram" untuk diusik, apalagi disulap menjadi perladangan sawit tersebut.
Menteri LHK dkk juga diwajibkan melakukan reboisasi pada lahan kebun sawit yang ditebang dengan jenis tumbuhan yang sesuai dengan fungsi hutan konservasi.
Amar putusan lain yang tak kalah progresif yakni mewajibkan Dirjen Penegakan Hukum Kementerian LHK dan Kepala Balai TNTN melakukan tindakan penegakan hukum.
"Dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan atau tindakan penegakan hukum lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," tegas majelis hakim dalam putusannya.
Majelis hakim juga mewajibkan Menteri LHK dan atau pihak-pihak terkait melalui Menteri LHK untuk menanggung seluruh kerugian lingkungan hidup atas biaya pemulihan dan penanaman kembali (reboisasi) terhadap kerusakan kawasan konservasi TNTN.
Atas putusan ini, belum diketahui langkah yang akan ditempuh Menteri LHK Siti Nurbaya dan Dirjen Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani. Keduanya belum menjawab pesan konfirmasi yang dilayangkan SabangMerauke News via pesan WhatsApp.
In Dubio Pro Natura dan Principles of State Responsibility
Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim menguraikan secara detil alasan-alasan menolak dalil dalam eksepsi para tergugat. Salah satu yang dipakai yakni penerapan doktrin hukum in dubio pro natura.
Doktrin hukum ini mengandung makna jika dalam menangani perkara hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan aspek perlindungan lingkungan dalam putusannya.
"Bahwa terhadap gugatan sengketa lingkungan hidup pada PTUN, dimungkinkan adanya tuntutan dan penjatuhan amar ganti kerugian secara khusus ditujukan untuk pemulihan lingkungan hidup. Hakim dapat menambah amar putusan dengan pertimbangan demi perlindungan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Hakim lingkungan dituntut untuk tidak hanya menguji secara administrasi, namun juga wajib menguji aspek-aspek lingkungan hidup (in dubio pro natura)," tulis majelis hakim dalam pertimbangan putusan.
Doktrin hukum in dubio pro natura yang kerap dipakai dalam perkara lingkungan hidup ini, agaknya memiliki nafas yang sama dengan doktrin in dubio pro reo pada perkara pidana. Yakni jika hakim ragu mengenai suatu hal, hakim harus menjatuhkan hukuman yang meringankan terdakwa.
Doktrin ini berkaitan erat dengan rumusan Deklarasi Rio pada 1992 dalam penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Meski pembuktian kerusakan lingkungan merujuk pada mekanisme projustisia, namun proses pembuktian tersebut harus mendahulukan kepentingan perlindungan lingkungan hidup. Hal ini membuktikan kalau hukum lingkungan tak kalah agresif dan progresif dalam mengadopsi prinsip kehati-hatian tersebut.
Atau dengan kata lain, perlindungan lingkungan hidup harus dikedepankan, ketimbang aspek lain, apalagi hanya sekadar pada aspek keuntungan ekonomi belaka.
Arie Trouwborst, seorang pakar hukum lingkungan dari kampus Tilburg University, Belanda memaknai in dubio pro natura dalam kalimat yang lebih fungsional. Ia menyebutnya dengan 'giving the benefit of the doubt to the environment'.
Para hakim di belahan dunia pun kerap menggunakan doktrin in dubio pro natura dalam kasus-kasus lingkungan. Olehnya, doktrin ini bisa disebut sebagai ius cogen (diakui bangsa-bangsa beradab).
Penerapan in dubio pro natura juga memperlihatkan cara pandang sejumlah hakim tentang deep ecology. Yakni melihat sisi tanggung jawab manusia atas kerusakan yang diakibatkan keserakahan manusia itu sendiri.
In dubio pro natura juga dipandang sebagai upaya pencegahan sebelum terjadinya kerusakan lebih parah, tanpa harus menunggu sampai bukti ilmiah terkumpul secara lengkap. Pada titik ini, keyakinan hakim memegang kendali utama.
Dengan prinsip precautionary, maka dalam setiap kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup, terkandung adanya kewajiban untuk melakukan pencegahan dini. Tidak dilakukannya kewajiban melakukan pencegahan dini secara layak, adalah merupakan kesalahan yang nyata sehingga tidak relevan lagi diperlukan pembuktian di persidangan.
Dalam putusannya, majelis hakim PTUN Pekanbaru juga menerapkan asas tanggung jawab negara (Principles of State Responsibility). Yakni negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam bagi kesejahteraan bersama masa kini dan masa yang akan datang. Termasuk mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan kerusakan lingkungan.
Menurut majelis hakim, kewajiban badan dan atau pejabat pemerintahan untuk melakukan perlindungan kelestarian alam, khususnya terhadap hutan konservasi kawasan pelestarian alam TNTN merupakan perwujudan dari asas tanggung jawab negara.
"Telah terdapat alat bukti yang kuat untuk menyatakan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak melakukan tindakan/ perbuatan konkret melaksanakan perlindungan hutan terhadap hutan konservasi TNTN seluas 1.200 hektar. Oleh karenanya objek sengketa mengandung cacat yuridis dari aspek prosedur dan aspek substansinya," tulis majelis hakim dalam pertimbangan putusan.
Minta Menteri LHK Laksanakan Putusan
Sebelumnya diwartakan, Yayasan Riau Madani meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya untuk patuh terhadap putusan PTUN Pekanbaru terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare di dalam kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Menteri Siti diminta legowo untuk melaksanakan putusan PTUN sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian dalam penyelamatan hutan yang sudah rusak parah.
"Kalau memang masih memiliki kepedulian dan tanggung jawab dalam menyelamatkan hutan, maka seharusnya putusan PTUN tersebut segera dilakukan. Kami kira itu adalah sikap gentlement dari seorang pimpinan lembaga. Apalagi, hakim sudah menetapkan putusannya secara terang benderang," kata Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (C) Surya Darma SAg, SH, MH, Kamis (17/11/2022).
Surya Darma menyatakan, meski masih tersedia upaya hukum melakukan banding, namun sikap untuk menerima putusan PTUN adalah pilihan yang paling bijak. Hal ini menurut Surya akan menunjukkan keseriusan dan komitmen pemerintah (KLHK) sebagai otoritas (leading sector) terdepan penyelamatan hutan yang tersisa.
"Karena kami mendengar kalau Ibu Menteri selalu menyatakan komit menahan laju deforestasi hutan. Nah, ini momentum yang tepat untuk membuktikan kampanye itu. Mumpung KTT Perubahan Iklim COP27 dan KTT G20 baru saja selesai. Ini pertaruhan marwah institusi kementerian untuk menunjukkan konsistensi antara ucapan dengan tindakan," tegas Surya Darma.
Surya Darma juga meminta Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK dan Kepala Balai TNTN untuk patuh pada putusan PTUN tersebut. Apalagi dalam putusan tersebut, majelis hakim secara tegas telah mewajibkan keduanya untuk melakukan penegakan hukum dan lingkungan berkaitan dengan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar di TNTN tersebut.
"Dirjen Gakkum sepatutnya patuh melaksanakan putusan PTUN ini. Dulu pernah saya baca Gakkum menurunkan tim bersenjata laras panjang untuk menyegel pabrik kelapa sawit di Bengkalis. Nah, terhadap perambah hutan konservasi TNTN, harusnya hal itu juga dilakukan," sindir Surya Darma.
Gugatan Yayasan Riau Madani didaftarkan pada Kamis, 30 Juni 2022 lalu dengan nomor registrasi perkara: 36/G/TF/2022/PTUN.PBR. Sementara, putusan dijatuhkan majelis hakim pada Selasa (15/11/2022) lalu.
Kesampingkan UU Cipta Kerja
Gugatan Yayasan Riau Madani yang dikabulkan majelis hakim PTUN Pekanbaru ini seolah menjadi pukulan telak bagi negara dalam hal ini Kementerian LHK yang telah lalai dan tidak melakukan tindakan dalam aksi pendudukan kawasan konservasi TNTN yang disulap menjadi kebun kelapa sawit.
"Putusan hakim ini merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya penyelamatan hutan dan lingkungan. Kami sangat mengapresiasi majelis hakim yang sangat pro natural karena memandang hutan serta lingkungan sebagai masa depan kehidupan," kata Tim Kuasa Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (C) Surya Darma S.Ag, SH, MH usai menerima putusan tersebut.
Surya Darma juga menilai, putusan tersebut menjadi fakta bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dapat dikesampingkan. Soalnya, seluruh dalil-dalil para tergugat (Menteri LHK, Dirjen Gakkum dan Kepala Balai TNTN) yang menggunakan tameng UU Cipta Kerja khususnya pasal 110A dan 110B tidak dipertimbangkan atau dikesampingan oleh majelis hakim.
Sebagaimana diketahui, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji material tahun lalu telah menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Dampaknya UU tersebut harus diperbaiki dan tidak bisa dipergunakan untuk kebijakan atau tindakan pemerintah yang bersifat strategis.
"UU Cipta Kerja dalam kasus kejahatan kehutanan telah dan dapat dikesampingkan. Sebagaimana juga telah terjadi dalam kasus kebun kelapa sawit milik PT Duta Palma Grup yang diproses oleh Kejaksaan Agung dan perkaranya saat ini sudah bergulir di persidangan PN Jakarta Pusat. Gugatan kami yang dikabulkan majelis hakim PTUN Pekanbaru ini kami nilai nafasnya juga sama," tegas Surya Darma. (*)