Inilah Trio 'Yang Mulia', Majelis Hakim yang Sunat Vonis Terdakwa Korupsi Rugikan Negara Rp 114 Miliar menjadi 2 Tahun Penjara di Riau
SabangMerauke News, Jakarta - Majelis hakim banding Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru menyunat masa hukuman terdakwa Melia Boentara menjadi 2 tahun penjara dari sebelumnya oleh Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru divonis hukuman 4 tahun penjara. Melia Boentara merupakan terdakwa kasus korupsi proyek jalan Bukit Batu-Siak Kecil di Bengkalis yang menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merugikan negara sebesar Rp 114 miliar.
Sementara itu, vonis terhadap Handoko Setiono yang merupakan suami Melia Boentara tetap dipertahankan oleh majelis hakim banding hukuman selama 2 tahun penjara. Sama seperti vonis yang dijatuhkan sebelumnya oleh Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru.
BERITA TERKAIT: Putusan 2 Tahun Penjara Kasus Korupsi Rp 114 Miliar di Riau Dinilai Langgar Peraturan Mahkamah Agung
Majelis hakim banding PT Pekanbaru yang mengadili perkara ini diketuai oleh Dr. Drs. Panusunan Harahap SH, MH serta dua anggota yakni Khairul Fuad SH, MHum dan Dr Busrizalti, SH, MHum. Adapun putusan ditetapkan pada Selasa, 21 Desember lalu dengan nomor perkara 35/PID.SUS-TPK/2021/PT.PBR.
Hakim Dr Drs Panusunan adalah Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru. Ia dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Dr Syarifuddin SH, MH pada 8 Februari 2021 lalu. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Padang, Sumatera Barat.
BERITA TERKAIT: Waduh! PT Pekanbaru Sunat Vonis Terdakwa Korupsi Proyek Jalan Bengkalis Jadi 2 Tahun, Padahal BPK Hitung Kerugian Negara Rp 114 Miliar
Karir hakimnya diawali sebagai calon PNS (cakim) sejak tahun 1986 hingga 1989 di PN Jakarta Utara. Ia baru ditetapkan sebagai hakim pada tahun 1989 dengan penempatan tugas pertama di PN Sorong yang kini merupakan wilayah Provinsi Papua Barat.
Dr Panusunan pernah bertugas di PN Pekanbaru pada tahun 1998-2000 sebelum akhirnya pindah ke PN Jakarta Pusat.
Karirnya terbilang terang dan terus melonjak hingga menduduki sejumlah jabatan penting sebagai Ketua PN Selong, Lombok Timur, Ketua PN Batam, Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Ia terus mendapatkan promosi jabatan hingga menjadi Ketua PN Medan pada 2009-2011 sebelum pindah menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Palembang dan Pengadilan Tinggi Jakarta.
BERITA TERKAIT: KY dan MA Didesak Periksa Majelis Hakim Tipikor Pekanbaru yang Vonis 2 Tahun Penjara Korupsi Rp 114 Miliar Perkara KPK
Pada tahun 2016-2018 ia kembali mendapat promosi menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak, Kalimantan Barat dan kemudian Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Padang, Sumatera Barat pada 2018-2020. Ia lantas menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Padang pada periode 2020-2021 sebelum akhirnya menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Riau.
Sementara, hakim Khairul Fuad SH, MH berdasarkan penelusuran Sabang Merauke News merupakan bekas Ketua Pengadilan Negeri Batam dilantik pada 2014 lalu. Ia juga pernah menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Hakim Khairul merupakan alumnus magister hukum dari Universitas Narotama, Surabaya. Pangkatnya saat ini sudah pembina utama (IVe).
Anggota majelis hakim banding yang ketiga adalah Dr Busrizalti, SH, MHum. Ia merupakan hakim ad hoc tipikor di Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Ia diangkat sumpah dan dilantik menjadi hakim ad hoc pada 2 Juni 2021 lalu. Busrizalti tercatat sebagai alumnus program doktoral ilmu hukum Universitas Padjajaran, Bandung pada 2011 lalu.
Putusan banding trio 'Yang Mulia' yang menyunat terdakwa korupsi proyek multiyears Jalan Siak Kecil-Bukit Batu di Bengkalis, Riau ini mendapat kritik keras dari kalangan netizen. Hukuman dinilai tidak memberikan rasa keadilan dan efek jera, mengingat angka kerugian negara yang ditimbulkan dari korupsi tersebut mencapai Rp 114 miliar.
KPK selaku penyidik dan penuntut kasus ini sejauh ini belum menentukan sikap.
"KPK tentu menghormati putusan majelis hakim. Info yang kami terima, saat ini tim jaksa belum memperoleh pemberitahuan resmi dari pengadilan," terang Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangan tertulis yang diterima Sabang Merauke News, Jumat (24/12/2021).
Ali Fikri menjelaskan, KPK segera akan menentukan sikap terkait putusan tersebut setelah menerima salinan dan mempelajarinya.
"Kami berharap pengadilan tidak terlalu lama mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut," jelas Ali Fikri.
Pihak Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru belum dapat dikonfirmasi ikhwal pertimbangan putusan yang mendiskon hukuman terdakwa Melia Boentara menjadi tinggal 2 tahun.
Netizen Sebut Bikin Koruptor Berpesta Pora
Putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru yang menyunat hukuman terdakwa korupsi proyek jalan di Bengkalis dengan kerugian negara Rp 114 miliar menjadi 2 tahun dikritik keras. Suara netizen begitu marah dan mempertanyakan hati nurani majelis hakim yang menjatuhkan vonis super-ringan tersebut.
"Majelis hakim yang baik hati semoga diberikan panjang umur, agar para perampok uang negara bisa berpesta ria," tulis netizen Had**** pada kolom komentar Facebook, Kamis (23/12/2021).
"Katanya korupsi hukuman mati," komentar netizen Yas***.
Netizen lain mengaitkan vonis tersebut dengan menilai kondisi hukum saat ini makin parah.
"Sudah terbaca kok, negara ini semakin parah," komentar netizen Jua*****.
"Luar biasa," tulis Kha**** mengomentari vonis tersebut.
Amar Putusan Banding
Dalam putusan banding tersebut, majelis hakim menyatakan memperbaiki putusan Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru sebelumnya tanggal 19 Oktober 2021, sekedar menyangkut lama hukuman terhadap Melia Boentara (terdakwa I) dari sebelumnya divonis 4 tahun menjadi 2 tahun.
Adapun majelis hakim yang mengadili perkara tingkat pertama di Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru diketuai oleh Lilin Herlina dan dua anggota hakim Dedi Kuswara dan Darlina Darmis. Lilin Herlina bulan lalu mendapat promosi sebagai Ketua PN Jambi. Lilin saat menjatuhkan vonis merupakan Wakil Ketua PN Pekanbaru.
Berdasarkan putusan banding ini, Melia juga tetap dikenakan pidana denda sebesar Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan penjara. Sama halnya dalam putusan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru, Melia juga dijatuhi hukuman membayar uang pengganti sebesar Rp 10,5 miliar yang wajib dibayarkan paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila Melia tidak memiliki harta benda untuk membayar uang pengganti kerugian negara tersebut dipidana selama 1 tahun penjara.
Sementara putusan banding terhadap Handoko tetap selama 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan penjara. Handoko yang merupakan Komisaris PT Arta Niaga Nusantara (ANN) tidak dikenakan hukuman membayar uang pengganti kerugian negara.
Melia adalah istri Handoko yang menjabat sebagai Direktur PT ANN, kontraktor pelaksana proyek jalan multiyears Siak Kecil-Bukti Batu dibiayai APBD Bengkalis 2013-2015 lalu.
Vonis majelis hakim PT Pekanbaru ini jauh sekali dari tuntutan jaksa KPK yang sebelumnya melakukan upaya banding atas putusan Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru. Jaksa dalam permohonan bandingnya menyebut putusan itu tidak memberikan rasa keadilan masyarakat dan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, jaksa KPK menuntut kedua terdakwa hukuman masing-masing 8 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan penjara. Kedua terdakwa juga dituntut jaksa KPK membayar uang pengganti kerugian negara secara tanggung renteng sebesar Rp 110,5 miliar.
Adapun perhitungan kerugian negara berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus ini yakni sebesar Rp 114 miliar lebih. Sebanyak 4 miliar di antaranya mengalir ke sejumlah pejabat Dinas Pekerjaan Umum Bengkalis dan orang dekat mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh.
Pada pekan lalu, Selasa (14/12/2021), juru bicara KPK, Ali Fikri sempat dikonfirmasi SabangMerauke News ikhwal harapan KPK dalam putusan banding kasus ini. Ia menyatakan KPK tidak bisa mengintervensi putusan pengadilan. Siapa pun pihaknya tidak dibenarkan mempengaruhi ataupun mengintervensi majelis dalam memutus perkara.
Meski demikian menurut Ali Fikri, prinsip independensi hakim sangat penting, namun juga berarti ketika memutus sebuah perkara mesti benar-benar mempertimbangkan banyak aspek keadilan masyarakat.
"Namun, pemahaman bahwa korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dampaknya begitu dahsyat merusak seluruh sendi kehidupan menjadi hal penting sebagai background utama ketika hakim membangun keyakinannya sebelum memutus perkara," jelas Ali Fikri dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada SabangMerauke News, Selasa (14/12/2021) lalu.
KPK kata Ali Fikri menilai pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan suatu siklus yang saling bertaut dan terintegrasi. Paradigma penanganan korupsi sebagai kejahatan extra ordinary tidak hanya soal penegakan hukum demi rasa keadilan.
"Namun bagaimana penegakkan hukum itu juga mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa kembali terulang," tegasnya.
Sebelumnya, Direktur LBH Visi Keadilan Nusantara, Pagar Sianturi SH meminta agar majelis hakim banding memutus perkara ini dengan menjadikan rasa keadilan masyarakat sebagai alat ukur utamanya. Menurutnya kasus ini tergolong korupsi jumbo yang semestinya memberikan efek jerah dan pemulihan kerugian negara yang optimal.
"Vonis ringan majelis hakim PN Pekanbaru jangan diamini oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Jika itu kembali terjadi, maka akan berisiko memperburuk citra pengadilan. Ini adalah kasus yang menjadi atensi publik. Karena kerugian negaranya yang amat besar tidak setimpal dengan hukuman yang dijatuhkan," kata Pagar, Selasa lalu.
Pagar menyatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa. Oleh karena itu hukuman yang dijatuhkan haruslah setimpal sehingga publik masih dapat mempercayai institusi pengadilan sebagai lembaga kredibel dan bermarwah.
"Kami akan mengawal kasus hingga hingga tuntas. Dan kami meminta KPK juga semakin mengintensifkan pengawasan dalam kasus ini. Bagi kami, ini juga adalah evaluasi bagi KPK karena kasus yang ditanganinya ternyata divonis ringan dan kerugian negara hasil audit BPK RI tidak dipakai oleh hakim PN Pekanbaru sebagai angka kerugian yang pasti," tegas Pagar. (*)