Siswi di Sragen Jawa Tengah Dirundung karena Tak Pakai Hijab, Begini Respon KPAI
SABANGMERAUKE NEWS, Seragen - Kasus perundungan dialami S (15), siswi kelas X SMAN 1 Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah.
S mengaku dirundung oleh guru matematikanya, Suwarno (54) ketika jam pelajaran sekolah. Perundungan ini dialami S karena dia tidak memakai jilbab.
Suwarno menyelipkan ajaran perintah memakai hijab saat mengajar dan hal ini membuat S merasa tidak nyaman.
Karena kejadian ini, S megadukan ke orang tuanya dan kemudian melaporkan ke pihak sekolah.
Usai kejadian tersebut sang anak sempat mau untuk berangkat ke sekolah. Namun, karena diduga dibully oleh kakak kelas, S minta dijemput pulang dan enggan masuk sekolah lagi.
"Habis kejadian itu tak rayu-rayu mau masuk lagi. Terus dibully kakak kelasnya. Terus WhatsApp saya minta dijemput, sampai sekarang nggak mau sekolah," kata Agung, Jumat (11/11/2022).
Orang tua S mengaku kecewa dengan guru yang melakukan perundungan karena memaksakan pendapatnya sendiri terkait pemakaian jilbab.
"Guru matematika itu, memarahi dia sudah cenderung ke arah bullying. Pada dasarnya, pendidik edukasinya kan harusnya tatarannya objektif. Tapi ini sudah masukkan subjektivitas guru itu sendiri," ujarnya
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mengecam kasus perundungan siswi lantaran tidak memakai jilbab. Retno menilai kasus tersebut mencerminkan literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum baik.
Retno mengatakan, KPAI telah mendapatkan laporan kasus perundungan siswi berinisial S tersebut. Akibat hal tersebut, S mengalami tekanan psikis dan merasa enggan masuk sekolah karena takut.
"Saya mengecam perundungan yang dilakukan oleh oknum guru dan sesama peserta didik terhadap anak korban karena tidak mengenakan jilbab. KPAI mencatat ada kasus serupa di Gemolong, Sragen, pada tahun 2020. Siswi tersebut akhirnya mutasi ke SMAN lain setelah mendapatkan perundungan terus-menerus, terutama oleh kakak kelas," katanya dalam keterangan pers pada Senin, (14/11/2022).
Menurutnya, diperlukan upaya pengembangan literasi dan moderasi beragama pada saat yang akan datang, baik di lingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas.
KPAI mencatat pada periode 2014 sampai dengan 2022, terdapat beberapa kasus pemaksaan dalam penggunaan jilbab di beberapa daerah, seperti di salah satu SMPN di Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur (2017); satu SMAN di Rantah Hilir, Riau (2018); satu SDN di Karang Tengah, gunung kidul (2019); satu SMAN di Gemolong, Sragen (2020); satu SMKN di Kota Padang, Sumatra Barat (2021); satu SMAN di Banguntapan, Bantul (2022); salah satu SMPN di Jakarta Selatan (2022).
Retno juga menyoroti tingkah laku pemimpin di tingkat daerah dan pusat mengenai moderasi dan toleransi beragama di lingkungan pendidikan ini. Ia menilai masih sedikit pemimpin yang bijaksana menyikapi moderasi dan toleransi beragama di lingkungan pendidikan, baik itu di tingkat daerah maupun pusat.
Padahal, kehadiran pemimpin seperti itu sangat dibutuhkan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
"Karena kebijaksanaan, mereka tidak mewajibkan yang tidak wajib. Sebaliknya, mereka jangan melarang hal yang tidak seharusnya dilarang hukum positif yang berlaku di negeri yang majemuk ini. Kerap kali aturan seragam di sekolah merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah di wilayah tersebut," ujarnya.
Retno juga menyinggung kasus yang bukan saja pemaksaan menggunakan jilbab. Tapi juga pelarangan memakai jilbab yang ada di beberapa daerah. Retno mencontohkan kasus yang terjadi di daerah Gunungsitoli, Sumatra Utara. Seorang kepala sekolah, katanya, melarang seorang murid memakai jilbab dengan alasan keseragaman. Pasalnya murid di sekolah sebagian besarnya beragama Kristen dan Katolik.