Tolak Misi Kristenisasi Tanah Batak oleh Belanda, Alasan Ini Membuat Sisingamangaraja XII Melawan Hingga Tetes Darah Terakhir
SABANGMERAUKE NEWS - Dominasi penganut agama Kristen di Tanah Batak, secara khusus kawasan Danau Toba di Sumatera Utara saat ini tak lepas dari peran penjajahan Belanda. Misi Belanda datang ke Tanah Batak selain untuk menaklukan wilayah, juga berkaitan dengan upaya melakukan penyebaran agama Kristen.
Misi 'suci' yang dikenal dengan sebutan Gospel tersebut diduga juga berkaitan dengan strategi perang Belanda yang tak menginginkan bersatunya kekuatan pasukan Islam dari Tanah Minang (Sumatera Barat) hingga ke Tanah Aceh.
Belanda memiliki kepentingan untuk membatasi gerak pasukan Paderi dalam invasi ke Tanah Batak. Tentu saja, jika kekuatan pasukan Islam Minangkabau bisa bersatu dengan pasukan Aceh, Belanda akan kelabakan menghadapinya.
Sisingamangaraja XII yang bernama lengkap Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela merupakan tokoh paling keras yang melawan kedatangan Belanda. Ia melawan keras datangnya Belanda yang turut membawa misionaris dalam program kristenisasi Tanah Batak.
Sisingamangaraja XII lahir pada 18 Februari 1845 dan tutup usia pada 17 Juni 1907 sebagai akhir dari sejarah Perang Batak melawan Belanda.
Program Kristenisasi yang digencarkan Belanda tersebut menjadi salah satu pemicu meletusnya Perang Batak selama 29 tahun, yakni sejak 1878-1907. Sebelumnya, upaya misionaris sudah mulai dilakukan sejak kedatangan pertama kali kali misionaris menginjak tanah Batak pada sekitar tahun 1825-an.
Apa alasan Sisingamangaraja XII menentang program Kristenisasi Tanah Batak oleh Belanda?
Sisingamangaraja XII adalah "raja" terakhir di tanah Batak yang memimpin Perang Batak atau Perang Sisingamangaraja.
Sisingamangaraja XII tidak hanya dipandang sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai seorang "raja" yang bersifat ilahi, yang memiliki kekuatan karismatik yang dapat memberi keselamatan, perlindungan, dan kesejahteraan.
Sisingamangaraja menganut kepercayaan tradisional yang belakangan dikenal dengan sebutan parmalim. Dengan adanya kepercayaan terhadap pemimpin seperti itu, masyarakat Batak yang terdiri atas banyak marga dapat disatukan dalam satu ikatan negeri.
Kala itu, struktur masyarakat di Tanah Batak didasarkan pada bentuk kesatuan ikatan-ikatan kampung atau huta. Tiap kesatuan huta, yang diperintah oleh raja huta, didiami oleh satu marga. Selain itu, terdapat horja (gabungan beberapa huta), yang di atasnya terdapat bius (gabungan beberapa horja).
Dari beberapa bius, terbentuk kesatuan wilayah yang lebih luas, yakni kesatuan negeri yang dipimpin oleh Sisingamangaraja.
Sebagai masyarakat yang masih hidup dalam alam tradisional, kehendak untuk mempertahankan tradisi-tradisi yang berlaku pada lingkungan hidupnya sangat besar.
Sebaliknya, kecenderungan untuk menolak pengaruh dari luar yang dianggap dapat mengganggu tradisi itu menjadi besar pula.
Sisingamangaraja XII melihat kekuasaan Belanda semakin meluas, bahkan pengaruhnya telah sampai di Tanah Batak. Ia pun mulai melakukan penyerangan ke markas-markas tentara Belanda. Maka dimulailah tragedi Perang Batak sejak 1978.
Tuntutan Perang Batak cukup jelas, yakni mengusir orang Belanda dari tanah Batak dan menolak gerakan Kristenisasi.
Alasan Sisingamangaraja XII menentang Kristenisasi yang dilakukan Belanda adalah adanya kekhawatiran perkembangan agama Kristen akan menghilangkan tatanan tradisional masyarakat Batak, khususnya dalam hal kepercayaan dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada sejak zaman dulu.
Selain itu, Sisingamangaraja XII beranggapan bahwa Kristenisasi merupakan alat pemerintah kolonial Belanda untuk menganeksasi wilayahnya.
Kekhawatiran Sisingamangaraja XII sangat beralasan. Berdasarkan laporan resmi lembaga penginjilan Jerman Rheinische Missions-Gessellschaft (RMG) yang bergerak di Sumatera dalam majalah BRMG tahun 1869 dan 1871, para misionaris memang mendukung aneksasi tanah Batak.
Bagi pemerintah kolonial, Kristenisasi memiliki fungsi yang cukup strategis. Dengan berpindah agama menjadi Kristen, orang Batak tidak akan menimbulkan masalah bagi Belanda.
Pada 1877, Sisingamangaraja XII bekerja sama dengan Aceh untuk mengusir para misionaris yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda.
Kemudian, pada Januari 1878, para misionaris diperintahkan untuk segera meninggalkan wilayah Sisingamangaraja XII.
Karena peristiwa ini, para misionaris meminta bantuan tentara Belanda, yang memicu Perang Batak.
Dalam laporan resmi lembaga penginjilan Jerman Jahresberichte der Rheinischen Missions-Gessellschaft, para misionaris bukan hanya berperan mendampingi tentara kolonial, tetapi juga berupaya melemahkan semangat perjuangan rakyat Batak sekaligus memuluskan upaya penjajahan Belanda di wilayah ini.
Tewas di Aek Sibulbulon
Mengutip situs Indonesiana di alamat indonesiana.id, sebelum tewas, pasukan Belanda, Kolonel Macan atau Brigade Setan lebih dulu mengepung Sisingamangaraja XII beserta keluarga dan pengikutnya. Karena suasana tidak kondusif, kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, walau tetap saja mereka tertangkap oleh Belanda.
Meski tidak menyerah dan melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda, pada 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, Desa Si Onom Hudon, Perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi (sekarang), Sisingamangaraja XII pada akhirnya meregang nyawa, usai mendapat tembakan peluru tajam Belanda.
Sisingamangaraja XII tewas bersama tiga anaknya, Patuan Nagari, Patuan Anggi, dan Lopian. Diikuti kematian-kematian pengikut, dan beberapa panglima asal Aceh yang turut serta melawan Belanda kala itu.
Sementara pengikut-pengikut yang selamat berpencar dan tetap berusaha mengadakan perlawanan, keluarga Sisingamangaraja XII yang tersisa terpaksa menerima cercaan dan hinaan dari lingkungan sekitar, sebelum akhirnya mereka ditawan di Internering Pearaja, Tarutung.
Kala itu, jenazah Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung. Kemudian pada 1953, jenazah ketiganya dipindah kuburkan ke Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun pemerintah, keluarga dan masyarakat setempat. Artinya setelah 46 tahun makamnya ditemukan dan dipindahkan.
Pada 19 November 1961, sang raja Sisingamangaraja XII resmi memperoleh gelar pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia lewat Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590/1961. (*)