Audit BPK dan BPKP Lelet Bikin Penyidikan Kasus Korupsi Terhambat
SabangMerauke News, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menilai, lamanya pemeriksaan terkait kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat menghambat proses penyidikan yang tengah berlangsung.
Alex mengatakan, hambatan itu juga dirasakan penyidik-penyidik daerah.
"Selama ini sering terhambat teman-teman penyidik di kejaksaan di daerah itu. Mereka selalu mengeluhkan lamanya audit meskipun mereka tidak hanya meminta BPK tapi lebih banyak sebetulnya kepada BPKP," ujar Alex saat diskusi dengan awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/12/2021).
Alex pun menjelaskan alasan KPK menghitung sendiri nilai kerugian keuangan negara terhadap kasus yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost Lino atau RJ Lino.
Menurut dia, lamanya proses audit di BPK menjadi alasan utama lembaga antirasuah itu menghitung sendiri nilai kerugian negara melalui Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi.
Apalagi, kasus pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) twinlift kapasitas 61 ton untuk Pelabuhan Panjang, Pontianak dan Palembang yang menjerat RJ Lino tersebut perhitungan kerugian negaranya tidak selesai selama 5 tahun.
"Saya mendorong supaya kita punya unit baru deteksi analis korupsi itu, kita punya akuntan forensik, ya saya kira kalau dari sisi kemampuan kapasitas juga punya kompetensi di sana dalam menghitung kerugian negara," ucap Alex.
"Saya mendorong, pimpinan mendorong, supaya dilakukan penghitungan kerugian negara menyangkut pengadaan barang dan jasanya," imbuh dia.
Menurut Alex, penghitungan sendiri nilai kerugaian negara tidak melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Dalam SEMA itu, ujar dia, disebutkan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK yang memiliki kewenangan konstitusional.
Namun, instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan sebagainya tetap berwenang melakukan pemeriksaan kerugian negara tetapi tidak berwenang menyatakan atau men-declare ada kerugian keuangan negara.
"Dan dalam praktik pengadilan, persidangan, SEMA ini rasa-rasanya juga enggak begitu mengikat hakim," ucap Alex.
Berdasarkan pengalamannya menjadi hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Alex berujar, banyak penyidik yang mengeluhkan lamanya perhitungan nilai kerugian negara oleh BPK. Bahkan, penyidik kerap meminta bantuan BPKP untuk mengganti peran auditor BPK.
"Dari situ saja sebetulnya SEMA ini sudah kehilangan maknanya. Karena teman-teman penyidik meminta bantuan BPKP untuk audit," ucap dia.
Dari pengalamannya, Alex berpendapat, perhitungan nilai kerugian negara dalam pengadaan barang dan jasa tidak saja bisa dilakukan oleh BPK. Ia menilai, KPK, penyidik dan hakim juga bisa melakukan penghitungan kerugian negara. Mengingat, keputusan akhir perihal kerugian tersebut menjadi keputusan hakim.
"Jadi putusan hakim sebetulnya. Hasil audit itu sebetulnya hanya menjadi semacam alat bantu bagi hakim untuk mengungkap terjadinya proses kerugian negara itu. Apakah itu mengikat? Oh tidak. Tentu tidak mengikat hakim harus setuju," ujar Alex.
"Di putusan kan disebutkan di situ berapa kerugian negara dan siapa yang nanti yang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan kerugian negara," imbuhnya.
Sebelumnya, Dalam sidang putusan terdakwa RJ Lino di Pengadilan Tipikor Jakarta, Ketua majelis hakim Rosmina menilai, KPK tidak cermat dalam menghitung kerugian negara.
Dalam sidang pembacaan vonis itu, Rosmina mengemukakan opini yang berbeda atau dissenting opinion dengan dua hakim anggota lain, yaitu Agus Salim dan Teguh Santoso.
Salah satu alasannya, karena terjadi perbedaan metode penghitungan kerugian negara yang dilakukan BPK dan Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
Perbedaan itu terkait penghitungan keuntungan pada perusahaan pengadaan QCC yaitu Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM) asal China.
“Terjadi perbedaan (penghitungan kerugian negara) BPK tidak lagi memperhitungkan tentang keuntungan dari penyedia barang,” ujar Rosmina, saat persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (14/12/2021).
“Sedangkan Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memperhitungkan keuntungan (penyedia) meskipun disebutkan kerugian negara negara timbul akibat adanya penyimpangan-penyimpangan,” tutur dia.
Berdasarkan penghitungan BPK, disebutkan bahwa pembayaran PT Pelindo II terhadap pengadaan dan perawatan 3 unit QCC senilai 15.165.150 dolar AS. Sementara, menurut Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, yakni 15.554.000 dolar AS.
Kemudian hasil penghitungan Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK itu dikurangi dengan nilai harga pokok penjualan (HPP) QCC berdasarkan manufaktur di China, ditambah keuntungan wajar dan biaya lain-lain dengan total 13.579.088,71 dolar AS.
Maka nilai kerugian negara adalah 1.974.911,29 dolar AS atau senilai Rp 28,82 miliar.
Dalam pandangan Rosmina, semestinya jika KPK menyebut bahwa pengadaan barang menyimpang, maka keuntungan penyedia tidak bisa diberikan.
“Penghitungan Unit Forensik Akunting Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK dilakukan secara tidak cermat dan melanggar asas penghitungan kerugian negara,” imbuh dia.
Dalam perkara ini RJ Lino divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dia dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. (*)