Selamatkan Kebun Sawit Rakyat di Kawasan Hutan, DPRD Riau Wacanakan Susun Perda Lahan
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Saat ini disinyalir ada sekitar 1,3 juta hektar atau 56 persen lahan sawit tanpa izin di Riau. Hal ini menjadi polemik karena banyak masyarakat yang menggantungkan hajat hidupnya di lahan bermasalah tersebut.
Berada dalam kawasan hutan yang artinya tanpa legalitas, petani sawit di kawasan tersebut terancam tak bisa menjual hasil produksinya karena tersandung regulasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Bahkan secara hukum dapat dipenjara karena merusak kawasan hutan.
Untuk menghindari konflik sosial, DPRD Riau tengah memformulasi jalan tengah untuk menyelamatkan masyarakat pemilik lahan dan kawasan hutan tersebut melalui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Penyelenggaraan Lahan.
Ketua Pansus Penyelenggaraan Hutan DPRD Riau, Husaimi Hamidi mengatakan salah satu upaya tersebut adalah dengan mengganti sawit yang sudah tertanam dan memberdayakan lahan yang sudah digarap menjadi lokasi wisata.
"Mereka tak pakai izin, lahan sudah ditanami sawit. Tapi mereka sudah ada kesepakatan dengan DLHK melalui KPH-nya mereka mau kembali lagi mengganti hutannya dengan kayu. Tetapi lahan kawasan ini jadi objek wisata," ujar Husaimi (10/10/2022).
Husaimi menyebut, hal ini diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat yang terancam sanksi pidana sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi daerah.
"Kita ingin masyarakat bisa memanfaatkan hutan dan tidak dikerjar-kejar hukum. Hutan kita bisa kita amankan, masyarakat ada pendapatan, Pemda provinsi Riau dapat retribusi dari sana," papar legislator PPP tersebut.
Lebih jauh Husaimi menyebut Ranperda ini merujuk pada Undang-undang Cipta Kerja yang dimaksudkan untuk menyediakan lapangan kerja di kawasan hutan.
"Ini turunan Cipta Kerja, jadi ini kan membuka lapangan kerja. Membuka peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan tersebut. Selain wisata, kita bisa tanam nangka, kayu manis, kayu putih. Disini pun kita lihat potensinya cukup bagus," jelasnya lagi.
Sementara itu, dalam Undang-Undang 11/l Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjadi induk aturan ini, ketentuan terkait mekanisme penyelesaian pun diupayakan ada di Pasal 110A dan 110B.
Singkatnya perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa rmengajukan pelepasan ataupun tetap beroperasi setelah membayar denda administratif.
Dalam Undang-undang Omnibus Law yang sempat menjadi polemik di tengah masyarakat dan dinyakatan inkonstitusional bersyarat tersebut, diatur jika terbukti berada di wilayah tersebut minimal lima tahun dengan luas tidak lebih dari 5 Ha akan diizinkan pengelolaan tanpa ada denda.
Selain itu ketentuan detil mengenai hal ini dapat ditemukan dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah no 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP Dari Denda Administrasi Bidang Kehutanan. (cr5)