Tajuk Redaksi
Lebih Setahun Jadi Pengelola, PT Pertamina Hulu Rokan Masih Gagal Kembalikan 'Kejayaan' Blok Rokan
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke tangan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) resmi dilakukan per 9 Agustus 2021 lalu. Sudah lebih dari setahun, tepatnya 15 bulan lamanya menjadi pengelola tunggal, namun cucu perusahaan Pertamina tersebut masih gagal mengembalikan kejayaan Blok Rokan sebagai ladang migas penghasil minyak terbesar di Indonesia.
Klaim terjadinya penurunan (decline) produksi minyak akibat banyaknya sumur tua (mature), kerap dijadikan alasan belum terdongkraknya produksi minyak dari perut bumi Riau ini. Padahal, PT Pertamina Hulu Rokan terus menyatakan telah menambah sumur-sumur minyak baru.
Kondisi ini, seakan mengindikasikan kinerja jajaran direksi PT Pertamina Hulu Rokan di bawah komando Direktur Utama, Jaffee Arizon Suardin dan jajaran dewan komisaris di tangan Komisaris Utama, Rosa Vivien Ratnawati belum mumpuni. Setahun perjalanannya di Blok Rokan idealnya menjadi momentum evaluasi jajaran manajemen PT PHR.
Produksi minyak Blok Rokan sejak dikelola PHR masih menyentuh kisaran 161 ribu barel per hari. Jumlah tersebut kalah dibanding produksi Blok Cepu yang rata-rata memompa minyak bumi sebesar 165 ribu hingga menyentuh 235 ribu barel per hari menurut data tahun 2021 lalu.
Dengan demikian, hasil minyak dari Blok Rokan masih berada di bawah Blok Cepu yang pengelolaannya dilakukan oleh ExxonMobil memegang kendali saham sebesar 45 persen. Sejak 2019 lalu, produksi minyak Blok Rokan telah disalib oleh Blok Cepu.
Di sisi lain, biaya pengembangan Blok Cepu terbilang murah, yaitu 4,5 dollar AS per barrel, jika dibandingkan rata-rata industri sebesar 15 dollar AS per barrel.
Fakta stagnan-nya produksi minyak Blok Rokan telah menyebabkan berkurangnya secara signifikan perolehan dana bagi hasil (DBH) migas pemda di Riau. Padahal, DBH migas menjadi andalan utama modal pembangunan pemda di Bumi Lancang Kuning ini.
Persoalan lain juga terjadi pada proses persetujuan pelaksanaan Participating Interest (PI) 10 persen melalui BUMD PT Riau Petroleum yang tak kunjung tuntas. Pemprov bersama DPRD Riau pun mulai mempertanyakan itikad baik Pertamina dalam merealisasikan PI 10 persen tersebut. Entah dimana hambatannya, belum diketahui secara pasti.
Satu masalah pelik lain yang membuat gusar masyarakat Riau yakni tak kunjung dilakukannya pemulihan tanah terkontaminasi minyak (TTM) sebagai limbah B3 yang sangat berbahaya terhadap lingkungan. Praktis, sejak 15 bulan lalu Blok Rokan yang katanya 'Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi', namun upaya pemulihan TTM tak kunjung dilakukan oleh PT PHR, meski telah mendapat penugasan dari SKK Migas.
Belum lagi gonjang-ganjing isu pengadaan barang dan jasa di lingkungan Blok Rokan yang selalu riuh dan bikin ribut di publik. Sejumlah pihak menuding dominasi perusahaan cucu cicit BUMN di Blok Rokan telah membuat pola pengadaan barang tak transparan dan kompetitif. Diduga banyak faktor non teknis dan intervensi yang terjadi membuat kegaduhan. Kondisi yang berbeda ketika Blok Rokan selama puluhan tahun digarap oleh PT CPI.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK) Dwi Soetjipto pada awal 2022 lalu pernah berjanji akan mengembalikan kejayaan Blok Rokan di Riau sebagai produsen minyak terbesar di Indonesia.
Dalam kunjungannya ke Blok Rokan, Dwi sempat mengungkit soal masa kejayaan Blok Rokan yang selalu menyumbang produksi minyak nasional paling tinggi.
Dwi saat itu sesumbar mengatakan, janjinya setidaknya bisa diwujudkan pada Agustus 2022 jika melihat posisi produksi minyak awal tahun ini yang berasal dari tahun lalu (entry level) di angka 163 ribu barel per hari (bph). Adapun target produksi yang dipatok sepanjang 2022 sebesar 180 ribu barel per hari (bph).
"Maka di akhir tahun 2022 produksi akan mencapai di angka sekitar 195 ribu bph. Sehingga pada Agustus 2022 saat HUT Kemerdekaan RI ke-77, Blok Rokan akan kembali menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia mengalahkan Blok Cepu," klaim Dwi Soejipto dilansir dari sejumlah media.
Tapi, janji Dwi Soejipto tersebut sepertinya masih sebatas ucapan kata-kata saja. Faktanya, jangankan produksi yang dijanjikannya menyentuh angka 195 ribu bph, untuk menyentuh angka produksi 170 ribu bph saja tak kesampaian hingga saat ini.
Dwi menjelaskan, ada dua hal besar yang menjadi tumpuan agar Blok Rokan menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia. Pertama, pelaksanaan Enhanced Oil Recovery (EOR) yang digunakan untuk menyedot minyak dari lapangan yang sudah tua di Blok Rokan. Langkah kedua yaitu pengembangan Migas Non Konvensional (MNK). Ia menyebut kedua cara tersebut sebagai tulang punggung bagi peningkatan migas dimasa mendatang.
Persetujuan Plan of Development (PoD) EOR sempat tertunda di akhir 2021. Namun, dia berharap di awal tahun ini PHR bisa mendapatkan persetujuan tersebut, sehingga pengeboran pada sumur tua bisa lebih maksimal.
Manager Corporate Communication PT PHR, Sonitha Purnomo belum merespon pertanyaan konfirmasi yang dilayangkan media ini, ikhwal produksi stagnan Blok Rokan yang tak kunjung terdongkrak. (*)