Pasca UU Cipta Kerja, Kewenangan Soal Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan Dipegang Menteri LHK, Daerah Tak Terlibat
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membawa implikasi pada kewenangan di sektor kehutanan, secara khusus dalam penanganan kasus kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan. Praktis, sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja tersebut, kebun kelapa sawit tanpa izin kehutanan, kewenangannya diambil alih secara penuh oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Demikian disampaikan peneliti Yayasan CUDI, Parlindungan SH, Jumat (4/11/2022) menyikapi maraknya aksi demo berkaitan dengan keberadaan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan di Riau akhir-akhir ini.
Dalam beberapa waktu terakhir, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau menjadi target aksi demonstrasi kelompok tertentu di Pekanbaru. DLHK Riau secara sepihak dan membabi-buta dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penertiban kebun sawit dalam kawasan hutan.
Parlindungan menerangkan, keberadaan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang terbangun sebelum UU Cipta Kerja disahkan, saat ini kewenangannya berada penuh dalam kendali Kementerian LHK. Terlepas status UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi disebut inkonstitusional bersyarat, namun UU tersebut sejak disahkan telah menjadi instrumen hukum dan peraturan bersifat tetap yang dijadikan rujukan oleh negara.
"Pada kasus adanya kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan, baik yang dikuasai korporasi maupun perorangan sebelum UU Cipta Kerja disahkan, maka penanganannya ada dalam kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri LHK. Jadi, bukan menjadi kewenangan dari DLHK provinsi," jelas Parlindungan.
Parlindungan bahkan menyebut kalau daerah tidak dilibatkan pada urusan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan pasca UU Cipta Kerja disahkan. Hal tersebut ditandai dari sejumlah Keputusan Menteri LHK yang tidak mencantumkan keterlibatan pemerintah daerah dalam penanganan kebun sawit dalam kawasan hutan.
Ia menyontohkan soal pembentukan Tim Identifikasi dan Konsolidasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan Bidang Kehutanan di Provinsi Riau yang tidak melibatkan unsur pemerintah daerah. Termasuk juga dalam pelaksanaan verifikasi lapangan, dimana Menteri LHK hanya menerjunkan ratusan personil dari unsur Kementerian LHK, tanpa memasukkan unsur pemda di Riau.
"Jadi ini semakin memperkuat kesan dan dominasi urusan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan itu diambil alih sepenuhnya oleh Kementerian LHK," jelas Parlindungan.
Parlindungan juga mengaku heran soal sosialisasi UU Cipta Kerja sektor kehutanan yang tidak dilakukan secara massif dan terintegrasi. Akibatnya, publik tidak mendapatkan pemahaman utuh tentang perubahan regulasi yang terjadi, khususnya berkaitan dengan keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan.
Padahal, jelas Parlindungan, Menteri LHK telah membentuk Satuan Pelaksana, Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Satuan pelaksana tersebut ditetapkan berdasarkan SK Menteri LHK nomor: SK.203/Menlhk/ Setjen/KUM./5/2021 tertanggal 4 Mei 2021 silam.
Sanksi Administrasi Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan
Menurut Parlindungan, publik juga harusnya diedukasi dalam mendapatkan informasi dan pemahaman utuh tentang UU Cipta Kerja pada sektor kehutanan. Khususnya menyangkut pasal krusial yakni pasal 110A dan 110B yang disisipkan lewat UU Cipta Kerja menjadi pasal tambahan dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
Berdasarkan dua pasal sisipan tersebut, keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan diselesaikan melalui pemberian sanksi administrasi dalam bentuk denda administrasi dan pemberhentian sementara kegiatan usaha. Dengan demikian, sesuai dengan asas ultimum remedium yang diadopsi oleh UU Cipta Kerja, penjatuhan hukuman pidana belum dilakukan, sampai masa sanksi administrasi selama 3 tahun terlampaui.
Parlindungan kembali menegaskan soal kewenangan Menteri LHK yang dominan dan tunggal dalam pelaksanaan proses pemberian saksi administrasi tersebut.
"Daerah sama sekali tidak dilibatkan dan tidak memiliki kewenangan soal sanksi administrasi tersebut. Semuanya ada di kendali Menteri LHK," kata Parlindungan.
Bahkan, lanjut Parlindungan, perhitungan dan penetapan besaran denda terhadap pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan juga berada di tangan Kementerian LHK. Hal tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021 sebagai turunan langsung dari UU Cipta Kerja.
"Memang secara praktis, segala urusan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan saat ini ada di kendali Menteri LHK. Daerah tidak terlibat sama sekali. Padahal, sesungguhnya gejolak sosial terjadi di daerah sesuai locus kebun sawit itu berada," pungkas Parlindungan. (R-04)