Menteri Ingin Nyapres Tak Harus Mundur dari Jabatannya, Begini Penjelasannya!
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (31/10/2022).
Putusan bernomor 68/PUU-XX/2022 ini, salah satu poinnya, menteri tak harus mundur dari jabatan saat mencalonkan diri sebagai presiden.
Dalam pasal 170 ayat (1) undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu disebutkan bahwa pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Adapun pejabat yang dikecualikan yaitu presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Dalam pasal tersebut, menteri yang merupakan pejabat negara tidak masuk dalam kategori pengecualian. Sehingga Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika meminta MK untuk menguji kembali pasal tersebut. Menteri yang saat ini tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju, potensial mengalami kerugian konstitusional menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika meminta MK untuk menguji kembali pasal 170 ayat (1) undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut membahas tentang pejabat negara yang harus mengundurkan diri saat mencalonkan diri sebagai Presiden. Dari sejumlah jabatan yang dikecualikan, menteri adalah salah satu jabatan yang tidak masuk kategori.
MK mengabulkan permohonan tersebut. Dalam Amar Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022, menyatakan penambahan frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berikut bunyi putusannya, dikutip dari laman resmi MK, mkri.id:
“Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota, termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri, sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden”.
Dalam pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menilai perspektif warga negara yang mengemban jabatan tertentu, pada dirinya tetap melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang atau putusan pengadilan. Oleh karenanya, terlepas dari pejabat negara menduduki jabatan, baik karena pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusional untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi.
“Adanya perlakuan berbeda terhadap Menteri atau pejabat setingkat Menteri sebagai pejabat negara yang diharuskan mengundurkan diri sebagaimana ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu, menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional,” kata Arief.
Pembatasan tersebut, kata Arief, adalah bentuk diskriminasi terhadap partai politik saat mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden dan wakil presiden. Hal ini, menurut MK, juga dapat mencederai hak konstitusional partai politik karena mendapat diskriminasi sebagaimana yang dijamin dan dilindungi Pasal 28 ayat (2) UUD 1945. MK dalam pertimbangannya terhadap syarat pengunduran diri pejabat negara, di mana Menteri tidak dimasukkan dalam kategori pengecualian, tidak relevan lagi untuk dipertahankan.
“Oleh karenanya, ketentuan pasal a quo harus dimaknai secara bersyarat,” kata Arief dalam sidang.
Demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, kata Arief, menteri atau pejabat setingkat menteri yang merupakan pejabat negara yang dikecualikan, apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden, maka harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden. (R-03)