Cerita Panjang 38 Tahun Konflik Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja Kampar vs PTP Nusantara V, Di Mana Negara Pancasila?
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Sejumlah perwakilan masyarakat adat Pantai Raja Kabupaten Kampar bersama elemen organisasi sipil menggelar aksi di kantor Kementerian BUMN di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Warga menyerukan desakan kepada Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengembalikan tanah mereka yang diduga dirampas oleh PTP Nusantara (PTPN) V sejak puluhan tahun silam.
Dalam aksinya, warga menyindir tagline AKHLAK Kementerian BUMN yang dinilai hanya sebagai lips service semata. AKHLAK adalah singkatan dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyak, Adaptif dan Kolaboratif.
"Di mana AKHLAK BUMN. PT Perkebunan Nusantara V. Lahan milik masyarakat adat Pantai Raja Dirampas kemudian dijadikan aset negara," demikian isi tulisan spanduk warga yang dibentangkan di depan gedung Kementerian BUMN pada Kamis pekan lalu.
Aksi mendatangi ibukota negara bertajuk 'Menjemput Keadilan di Jakarta' ini adalah episode panjang dari kisah perjuangan masyarakat adat Pantai Raja memperjuangkan tanah mereka. Berdasarkan dokumen kronologis yang diperoleh SabangMerauke News, dugaan perampasan tanah ini ternyata sudah diawali sejak pemerintahan orde baru.
Riwayat kasus ini bermula sejak tahun 1984 lalu. Lokasi lahan dengan luas sekitar 1.013 hektar tersebut, sebelum ekspansi PTP Nusantara V ke wilayah yang dulunya bernama Sei Geringging, Sei Iduik dan Sialang Kubang di Desa Pantai Raja Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar.
Saat itu, tentu saja PTP Nusantara V belum berdiri. PTPN V yang kini merupakan anak perusahaan holding perkebunan PTP Nusantara III ini, baru berdiri pada tahun 1996 lewat fusi sejumlah perseroan terbatas perkebunan (PTP) yakni PTP II, PTP IV dan PTP V di Provinsi Riau.
Berdasarkan cerita kronologis versi masyarakat, sebelum kedatangan PTP V ke daerah mereka, warga telah melakukan kegiatan bercocok tanam aneka tanaman. Antara lain padi, jagung, kayu manis, pohon jengkol. Belakangan, jenis tanaman berubah menjadi karet yang jejaknya hingga kini masih terlihat.
Situasi berubah pada tahun 1984. Saat itu, PTP V mulai melakukan ekspansi perluasan lahan perkebunan.
"Saat itu, kami diintimidasi, ditekan, ditakut-takuti bahkan diancam oleh oknum-oknum aparat negara mengatasnamakan negara. Sehingga warga masyarakat adat Desa Pantai Raja yang melawan akan ditangkap dengan tuduhan dianggap telah melawan negara (subversif) dan dianggap sebagai PKI (komunis)," demikian isi kronologi konflik antara masyarakat adat dengan PTPN V.
Menurut warga, jejak perkampungan dan kebun mereka kini nyaris sirna. Bahkan, rumah tempat tinggal sampai pekuburan masyarakat telah dirusak tanpa sisa.
Angin segar sempat terjadi pada 6 April 1999 silam. Kala itu, manajemen PTPN V mengundang masyarakat untuk merundingkan penyelesaian masalah tersebut. Perundingan dihadiri oleh unsur Pemkab Kampar, aparat kepolisian dan masyarakat.
Dalam pertemuan tersebut, Direktur Produksi PTP Nusantara V kala itu dijabat oleh Ir SN Situmorang menyatakan lahan perkebunan karet masyarakat seluas 150 hektar diakui telah masuk dalam kebun inti PIR perusahaan. Saat itu, kebun tersebut masih bernama kebun inti PIR Trans Sei Pagar yang kini telah berganti nama menjadi PKS Sei Pagar/ Kebun Sei Pagar.
"Namun faktanya, lahan kebun karet produktif masyarakat adat seluas 150 hektar tersebut sampai saat ini tidak ada ganti rugi dan dikembalikan kepada masyarakat. Artinya masih dikuasai dan dimanfaatkan oleh PTPN V yang telah mendapatkan keuntungan dari hasil kebun kelapa sawit yang ditanam di atas lahan milik masyarakat adat," terang Gusdianto.
Upaya masyarakat untuk terus berjuang akhirnya bergulir sampai ke meja Komnas HAM RI. Pada 11 April 2019 lalu, menurut Gusdianto, delegasi Komnas HAM memediasi masyarakat adat dengan PTPN V. Salah satu kesepakatan yang tercapai yakni dilakukannya pembangunan kebun sawit pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) seluas 400 hektar untuk masyarakat.
Saat itu, pembangunan kebun KKPA seluas 150 hektar diklaim masyarakat telah disetujui oleh perusahaan sebagai tindak lanjut pengakuan pada tahun 1999 silam. Sementara, rencana kebun KKPA sisanya seluas 250 hektar akan dibicarakan internal oleh direksi PTPN V.
Menurut Gusdianto, kesepakatan tersebut sebenarnya merugikan masyarakat. Soalnya, pembangunan kebun KKPA akan membebankan utang bagi masyarakat.
Meski demikian, kesepakatan itu tetap diterima warga. Kesepakatan itu ditindaklanjuti warga dengan melakukan pencarian lokasi kebun hingga ke beberapa desa.
Namun, kesepakatan itu hanya bertepuk sebelah tangan. Sampai saat ini belum ada tindak lanjut pembangunan kebun KKPA tersebut. Hingga akhirnya pada Agustus 2020, warga melakukan aksi pendudukan kebun sawit seluas 150 hektar.
Sebelum melakukan aksi pendudukan kebun sawit, warga mengklaim telah menyampaikan pemberitahuan kepada aparat kepolisian dan keamanan. Pendudukan kebun sawit dilakukan oleh warga yang didominasi kaum lansia dan termasuk anak-anak. Dasar tindakan tersebut yakni adanya pengakuan manajemen PTPN V pada 1999, soal lahan kebun karet warga seluas 150 hektar yang telah dijadikan kebun sawit oleh perusahaan.
Belakangan, aksi pendudukan kebun tersebut dibalas oleh manajemen PTPN V lewat langkah hukum. Direksi perusahaan membuat laporan pengaduan ke Polda Riau pada 18 Agustus 2020 atas dugaan tindak pidana perkebunan. Selain itu, PTPN Nusantara V juga melakukan gugatan perdata ke PN Bangkinang senilai Rp 14,5 miliar lebih terhadap masyarakat. Gugatan perdata ini masih berproses pada tingkatan kasasi di Mahkamah Agung.
Gusdianto menjelaskan, upaya hukum yang dilakukan perusahaan tak akan menyurutkan tekad masyarakat untuk merebut hak-hak mereka atas dugaan perampasan lahan oleh perusahaan. Ia juga mengetuk hati para elit negara untuk melakukan tindakan penyelesaian masalah tersebut.
"Kami akan terus berjuang untuk merebut hak-hak atas tanah kami. Kami mempertanyakan dimana kehadiran negara atas perilaku BUMN. Di mana AKHLAK itu? Dimana Pancasila itu?" gugat Gusdianto.
Pihak manajemen PTP Nusantara V sejak akhir pekan lalu telah dikonfirmasi ikhwal aksi masyarakat adat Pantai Raja dan sejumlah LSM di Jakarta. Namun, hingga kini belum ada penjelasan dari perusahaan. (*)