KPK Tetapkan Eks Kepala Kanwil BPN Riau Syahrir Tersangka Suap, Kasus Perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau M Syahrir ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (27/10/2022). Syarir dijerat terkait suap pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari di Riau.
Kasus ini merupakan pengembangan penyidikan dari kasus yang sebelumnya menjerat Bupati Kuantan Singingi nonaktif, Andi Putra.
Selain M Syahrir, lembaga antirasuah juga turut menjerat pemegang saham PT Adimulia Agrolestari, Frank Wijaya dan General Manager PT Adimulia Agrolestari (AA), Sudarso.
"KPK melakukan penyelidikan dan menemukan adanya peristiwa pidana sehingga meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan, dengan menetapkan dan mengumumkan beberapa pihak sebagai tersangka," kata Ketua KPK Firli Bahuri di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Oktober 2022.
Firli menjelaskan, Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT Adimulia Agrolestari memerintahkan dan menugaskan Sudarso untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat hak guna usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024.
Menurut Firli, dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.
Selanjutnya, Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M. Syahrir yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari.
Sekitar Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT Adimulia Agrolestari seluas 3300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
"Sudarso kemudian menemui M Syahrir di rumah dinas jabatannya dan dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M. Syahrir sekitar Rp 3,5 miliar dalam bentuk Dolar Singapura dengan pembagian 40 persen hingga 60 persen sebagai uang muka dan M. Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT Adimulia Agrolestari," kata Firli.
Firli mengatakan, dari pertemuan tersebut, Sudarso lalu melaporkan permintaan M. Syahrir kepada Frank Wijaya dan Sudarso yang kemudian mengajukan permintaan uang SGD 120.000 (setara dengan Rp 1,2 miliar) ke kas PT Adimulia Agrolestari dan disetujui oleh Frank Wijaya.
Sekitar September 2021, lanjut Firli, atas permintaan M. Syahrir penyerahan uang SGD 120.000 dari Sudarso dilakukan di rumah dinas M. Syahrir. Dalam kesempatan itu, M. Syahrir mensyaratkan agar Sudarso tidak membawa alat komunikasi apapun.
"Setelah menerima uang tersebut, M. Syahrir kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari dan menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuantan Singingi yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar," kata Firli.
Karena itu, atas rekomendasi M. Syahrir tersebut, Frank Wijaya lalu memerintahkan dan kembali menugaskan Sudarso untuk mengajukan surat permohonan ke Andi Putra dan meminta supaya kebun kemitraan PT. Adimulia Agrolestari di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan.
"Dilakukan pertemuan antara Sudarso dan Andi Putra. Dalam pertemuan tersebut Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya di bangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhan minimal uang Rp 2 miliar," kata Firli.
KPK menduga, telah terjadi kesepakatan antara Andi Putra dengan Sudarso dan hal ini juga atas sepengetahuan Frank Wijaya terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut. Sebagai tanda kesepakatan, sekitar September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi Putra uang sebesar Rp 500 juta.
"Berikutnya pada 18 Oktober 2021, Sudarso diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada Andi Putra dengan menyerahkan uang sekitar Rp 200 juta," kata Firli.
Frank Wijaya dan Sudarso sebagai Pemberi diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
M. Syahrir sebagai penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (R-03)