Konflik Bupati Kepulauan Meranti vs Gubernur Riau Makin Tajam, Mendagri Harus Segera Turun Tangan?
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Hubungan antara Bupati Kepulauan Meranti HM Adil dengan Gubernur Riau Syamsuar kian meruncing. Yang terbaru, tersiar kabar batalnya kunjungan kerja Syamsuar ke dua kecamatan di Kepulauan Meranti pada Jumat (14/10/2022) lalu. Disebut-sebut penyebabnya karena HM Adil tidak memberikan izin kegiatan tersebut.
Meski HM Adil telah membantah menolak kedatangan Syamsuar, namun berdasarkan pengakuan penyelenggara acara, hal tersebut justru dibenarkan.
"Terhadap kunjungan itu, kami melakukan koordinasi langsung ke Bupati, menghadap bersama PMD kabupaten untuk memberitahukan terkait kedatangan gubernur ini. Dia mengatakan suruh menolak kunjungan itu. Alasannya tak jelas, dia cuma bilang kalau mau bantu, langsung dibantu saja, usah janji-janji," ungkap Syahrudin, pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Rumbio Nusa Mandiri yang merupakan penyelenggara acara.
HM Adil sendiri dengan datar mengomentari batalnya kedatangan Syamsuar ke daerah yang dipimpinnya itu. Ia menyebut batalnya kunjungan adalah hal biasa.
Adil bahkan menyinggung soal janji kampanye saat Syamsuar mencalonkan diri sebagai Gubernur Riau pada 2019 lalu.
"Janji waktu kampanyenya aja dibatalkan. Kok repot," terang Adil.
Sejumlah kalangan menilai hubungan tak harmonis antara Gubernur Riau dengan Bupati Kepulauan Meranti akan merugikan masyarakat.
Lantas, apakah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian harus turun tangan untuk mengingatkan kedua pemimpin daerah di Riau ini?
Pengamat sosial, Dr Rawa El Amady menyatakan, belum diperlukan pelibatan Kementerian Dalam Negeri dalam persoalan tersebut. Menurutnya, masalah yang terjadi antara Adil dengan Syamsuar bersifat personal.
"Tidak perlu melibatkan Kemendagri karena ini bersifat hubungan personal," terang Dr Rawa, Minggu (16/10/2022).
Justru Rawa meminta agar Kemendagri segera mengkaji ulang keberadaan Undang-undang tentang Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah.
"Perlu dikaji ulang tentang status, peran dan fungsi gubernur. Karena problemnya ada di sini. Otonomi daerah itu kan basisnya di kabupaten dan kota, sehingga peran Gubernur itu perlu diperjelas lagi agar tidak terjadi benturan kewenangan antara Gubernur dengan Bupati dan Wali Kota," jelas Rawa.
Meski demikian, menurut Rawa, sikap Bupati Kepulauan Meranti yang menolak kunjungan Gubernur Riau tidaklah etis.
"Harusnya Bupati Meranti tidak melarang Gubernur yang dipilih langsung secara politis ke daerahnya. Karena hal itu tidak etis," kata Rawa.
Gubernur Bukan Atasan Bupati
Rawa menilai, dalam UU Otonomi Daerah, gubernur bukan atasan bupati secara politis. Namun keduanya terkait dengan hubungan koordinatif. Bupati dan wali kota mempunyai otoritas sendiri dalam merencanakan daerah.
"Fungsi gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah dan menjalankan tugas koordinatif antara kabupaten dan kota," terangnya.
Menurutnya, hubungan harmonis antara gubernur dengan bupati dan walikota bukan hal yang baru terjadi. Namun, fenomena tersebut sudah berlangsung lama sejak awal reformasi.
Menurutnya, bupati dan gubernur mempunyai kepentingan yang sama untuk merebut jabatan politik. Oleh karena itu ia mengusulkan agar jabatan politis gubernur sebaiknya dihapus.
"Jika otonomi basisnya berada di kota dan kabupaten, maka ada baiknya jabatan politis gubernur dihapus. Gubernur hanya bagian Kementerian Dalam Megeri yang hanya bertugas secara administratif," kata Rawa.
Sejalan dengan itu, menurutnya keberadaan DPRD Provinsi juga harus dihapus.
"Dengan demikian, konflik antara gubernur dan bupati serta wali kota akan bisa hilang. Pemborosan uang untuk pilkada gubernur tidak terjadi," jelas antroplog alumnus Universitas Indonesia ini. (cr8)