Pembalut Wanita Mengancam Planet Bumi, Segini Sampah yang Dibuang Per Tahun Cemari Lingkungan
SABANGMERAUKE NEWS - Pemakaian pembalut wanita dari bahan tak ramah lingkungan menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan ekologi planet bumi. Sampah sisa pembuangan pembalut wanita yang tak bisa didaur ulang menyebabkan tumpukan bahan pencemar lingkungan yang besar.
Lebih dari 50 persen populasi dunia mengalami menstruasi, tetapi hubungan antara kebersihan kewanitaan dan dampaknya pada lingkungan belum terlalu banyak dikaji.
Padahal produk kebersihan kewanitaan seperti pembalut yang hanya sekali pakai telah menyumbang sampah yang cukup banyak.
Di Amerika Utara, hampir 20 miliar pembalut wanita, tampon, dan aplikator dibuang ke tempat pembuangan sampah di setiap tahun.
Sementara menurut data yang dihimpun oleh Sustaination, di Indonesia, dalam sehari, sampah pembalut saja bisa mencapai 26 ton. Dalam sehari, rata-rata perempuan bisa mengganti pembalut sebanyak 3 sampai 5 kali. Sementara, menurut laman OrganiCup, satu perempuan akan menghasilkan 11.000 pembalut sekali pakai seumur hidupnya.
Saat dibungkus dengan kantong plastik, limbah produk kewanitaan membutuhkan waktu berabad-abad untuk terurai.
Menurut sebuah studi di Harvard, rata-rata wanita menggunakan lebih dari 11 ribu tampon selama hidupnya, meninggalkan sampah dengan jumlah jauh lebih banyak melampaui umurnya.
Beban limbah yang sangat besar tersebut bukanlah satu-satunya dampak ekologis dari produk-produk kewanitaan sekali pakai.
Sebuah Life Cycle Assessment of tampon yang dilakukan oleh Royal Institute of Technology di Stockholm, menemukan dampak terbesar pada pemanasan global disebabkan oleh pemrosesan LDPE (low-density polyethylene, termoplastik yang terbuat dari monomer ethylene) yang digunakan dalam tampon sebagai bagian belakang plastik pembalut wanita. Bahan tersebut membutuhkan energi yang dihasilkan bahan bakar fosil dalam jumlah tinggi untuk pembuatannya.
Kemudian produk kewanitaan juga meninggalkan jejak karbon yang cukup banyak. Dalam satu tahun, produk ini meninggalkan jejak karbon setara dengan 5,3 kilogram karbondioksida.
Sementara sampah pembalut yang teronggok di sana lambat laun dapat mengeluarkan gas metana. Dikutip dari sebuah penelitian University of Exeter, metana merupakan salah satu unsur dalam gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan temperatur di permukaan bumi.
Metana memiliki kekuatan 25 kali lipat lebih dahsyat dalam menyebabkan pemanasan global ketimbang karbon dioksida.
Kehadiran produk yang bisa dipakai berulang kali sebetulnya bisa mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan pembalut dan produk kewanitaan lainnya.
Belakangan, kampanye penggunaan barang-barang ramah lingkungan kian digalakkan, mulai dari sedotan plastik, gerakan membawa botol minum, hingga kantung plastik berbayar. Gerakan-gerakan semacam ini mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjadi agen perubahan demi bumi yang lestari.
Pembalut Ramah Lingkungan
Wanita juga bisa menjadi agen perubahan dengan mengganti penggunaan pembalut menjadi produk yang lebih ramah lingkungan seperti reusable pad dan menstrual cup.
Jika masih asing dengan kedua produk tersebut, para wanita juga bisa menggunakan pembalut ramah lingkungan seperti yang dibuat oleh seorang mahasiswa Program Studi Fisika ITB bernama Difa Ayatullah.
Konsep pembalut biodegradable ramah lingkungan buatan Difa menerapkan dua prinsip penting dari segi prototyping.
Pertama, material absorbent layer berupa kapas pada pembalut konvensional diganti menjadi material plant-based sehingga memunculkan sifat organik.
Kedua, lapisan plastik di bawah pembalut dimodifikasi menjadi material bioplastic sehingga tidak akan mencemari lingkungan.
Selain kedua aspek tersebut, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pembalut biodegradable dengan pembalut konvensional dari segi bentuk maupun kegunaannya. (*)