Raksasa Migas Global Hengkang, Indonesia Tak Lagi Menarik?
SM News, Jakarta - Beberapa waktu terakhir Indonesia mulai ditinggalkan oleh perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asing yang selama ini menggarap proyek hulu migas dalam negeri. Sebut saja Shell dan Chevron, lalu baru-baru ini ConocoPhillips juga menyatakan akan melepas bisnisnya ke perusahaan lokal.
Mundurnya para pemain besar di industri ini dinilai berkebalikan dengan target ambisius pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi hingga satu juta barel per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2030 mendatang.
Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti atau pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan "minggatnya" para pemain disebabkan karena iklim investasi di sektor migas Indonesia telah kalah kompetisi dengan negara lain.
"Investor migas asing meninggalkan Indonesia tidak semata-mata karena tidak ekonomis, akan tetapi karena kalah kompetitif dengan portofolio investasi dan kesempatan investasi para IOCs majors (raksasa investor migas asing) itu di tempat lain," jelas dia beberapa waktu lalu, ke CNBC Indonesia.
Lebih lanjut, pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi memaparkan bahwa berdasarkan data yang ada, secara geologis cadangan migas RI masih cukup besar.
Namun sayang ini tidak diuntungkan oleh lokasi cekungan yang berada di laut dalam. Ini menjadi faktor utama investor meninggalkan tanah air.
"Sebenarnya data geologis menyebutkan bahwa cadangan migas Indonesia masih cukup besar. Hanya lokasinya di cekungan laut dalam, yang sulit dijangkau menjadi salah satu penyebab investor hengkang," ungkap dia.
Kondisi ini pun akhirnya menjadi perhatian dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai regulator hulu migas. Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara mengakui saat ini pihaknya mulai khawatir dengan kondisi tersebut.
"Khawatir sih.. karena di era energi transisi ini, menarik investor hulu global kelas kakap semakin sulit," ungkapnya.
Namun demikian, menurutnya pihaknya terus mengevaluasi secara rutin dari capaian produksi migas nasional dan proyek baru mana saja yang akan mulai beroperasi dan mana yang akan mundur.
Dia mengatakan, upaya mencapai target produksi minyak 1 juta bph dan gas 12 BSCFD pada 2030 itu sudah dengan memperhitungkan proyek yang akan mundur selama satu hingga dua tahun ke depan.
Pihaknya pun akan mendorong percepatan eksploitasi blok migas non konvensional (MNK) seperti Gas Metana Batu Bara (Coal Bed Methane/ CBM) atau Shale Gas untuk mencapai target produksi migas pada 2030 tersebut.
Untuk diketahui, Shell dan Chevron yang menyatakan akan menarik diri masing-masing dari proyek Blok Masela, Maluku dan Indonesia Deep Water Development (IDD), Kalimantan Timur.
Lalu, terbaru ConocoPhillips, perusahaan migas berbasis di Houston, Amerika Serikat, juga mengumumkan melepaskan sahamnya di Blok Corridor, Sumatera Selatan, kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
Keduanya telah menandatangani kesepakatan akuisisi seluruh saham yang diterbitkan ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd. (CIHL) dari Phillips International Investment Inc., yang merupakan anak perusahaan dari ConocoPhillips,, Rabu (08/12/2021).
CIHL memegang 100% saham di ConocoPhillips (Grissik) Ltd (CPGL) dan 35% saham di Transasia Pipeline Company Pvt Ltd. CPGL adalah operator dari blok gas Corridor (Corridor PSC), Sumatera Selatan, dengan kepemilikan hak partisipasi 54% di Blok Corridor ini.
Dalam keterangan resmi ConocoPhillips, nilai aset yang akan dijual ke Medco ini mencapai US$ 1,355 miliar atau sekitar Rp 19,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$). (*)
BERITA TERKAIT :
Energi Baru Terbarukan
Permigastara Fokus Bangun Daya Saing Bisnis Migas dan Energi, Tapi Juga Dorong Penguatan SDM