Kasus Duta Palma Bukti Telak UU Cipta Kerja Dikesampingkan untuk Pelaku Pengrusakan Hutan: Aparat dan Lembaga Negara harus Konsisten dan Taat Hukum
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Kasus hukum dugaan korupsi kehutanan yang menyeret PT Duta Palma Grup menjadi bukti telak bahwa Undang-undang Nomor 11 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dikesampingkan dalam penegakan hukum kehutanan.
Aparat dan lembaga negara didesak untuk konsisten dan taat konstitusi serta tidak menjadikan UU Cipta Kerja sebagai tameng perlindungan bagi pelaku pengerusakan hutan yang kian massif saat ini.
Demikian disampaikan Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH merespon kondisi semakin massifnya tindakan pelaku pengerusakan hutan, khususnya yang dijadikan kebun kelapa sawit ilegal dengan berlindung di balik UU Cipta Kerja.
"Kasus PT Duta Palma itu bukti telak bahwa UU Cipta Kerja bisa dan telah dikesampingkan dalam praktik penegakan hukum di sektor kehutanan. Dengan demikian, UU Cipta Kerja tidak bisa dipakai sebagai dasar atau tameng berlindung dari jerat pidana pengrusakan hutan. Faktanya, kasus Duta Palma telah digelar persidangannya di pengadilan. Itu artinya proses hukum terus dilakukan dengan mengesampingkan UU Cipta Kerja," tegas Surya Darma, Selasa (11/10/2022).
Surya Darma menegaskan, langkah Kejaksaan Agung menindak keras Duta Palma patut diapresiasi karena menyadari status UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan berstatus inkonstitusional bersyarat.
"Kami meyakini bahwa tindakan hukum yang dilakukan Kejagung terhadap Duta Palma sebagai bukti kuat UU Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat. Buktinya, Kejagung tidak menjadikan UU Cipta Kerja itu sebagai pegangan. UU Cipta Kerja justru dikesampingkan dalam kasus Duta Palma. Proses hukumnya jalan terus," tegas Surya.
Surya menegaskan, jika benar pengrusakan kawasan hutan secara ilegal menurut UU Cipta Kerja bersifat ultimum remedium, maka tak mungkin Kejaksaan Agung memproses secara hukum pidana PT Duta Palma Grup. Justru sebaliknya, apa yang digembar-gemborkan ultimum remidium itu diabaikan oleh Kejaksaan Agung hingga perkara naik ke persidangan di pengadilan.
"Kampanye yang beredar katanya di dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya bahwa kasus pengrusakan dan penguasaan hutan ilegal diselesaikan secara ultimum remedium. Tapi faktanya, Kejagung memproses pidana Duta Palma, berarti bukan ultimum remidium. Sudah tepat langkah Kejagung ini," tegas Surya Darma.
Meski demikian, Yayasan Riau Madani meminta Kejagung juga harus memperlakukan sejumlah korporasi (subjek hukum) lain yang melakukan tindakan yang sama dengan Duta Palma Grup untuk diseret ke pengadilan.
"Sebab, jika Kejagung hanya menjadikan Duta Palma sebagai target, padahal diduga ada banyak korporasi lain yang juga melakukan seperti yang dilakukan Duta Palma, ini bisa menimbulkan tanda tanya publik. Kejagung semestinya memproses juga secara hukum korporasi lain yang menggarap hutan secara ilegal. Jangan sampai ada praktik tebang pilih," tegas Surya Darma.
Surya Darma menjelaskan, sejumlah pihak dan kelompok saat ini massif menyosialisasikan UU Cipta Kerja khususnya yang berkaitan dengan sektor kehutanan. Mereka, kata Surya Darma, hanya mengambil manfaat dan menerjemahkan UU Cipta Kerja secara sepotong-sepotong untuk keuntungan bisnis ilegalnya di dalam kawasan hutan. Ia juga menyinggung tindakan sejumlah kementerian yang justru merestui pola tersebut.
"Padahal yang seharusnya dilakukan adalah menyosialisasikan perbaikan (revisi) pasal-pasal yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Bukan menyosialisasikan pelaksanaan UU Cipta Kerja. Ini sudah salah kaprah namanya," tegas Surya.
Ancam Gugat Kementerian LHK
Yayasan Riau Madani juga mengingatkan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak sembarangan menjadikan Undang-undang Cipta Kerja sebagai tameng pengampunan terhadap usaha kebun kelapa sawit ilegal dalam kawasan hutan.
Menurutnya, KLHK harus menghentikan tindakannya menindaklanjuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. PP 24 tersebut merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
Sebagaimana diwartakan, KLHK berdasarkan pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, telah melakukan langkah pengampunan atas dalih keterlanjuran dalam penguasaan hutan secara ilegal. Instrumen teknis yang dipakai KLHK yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Dilaporkan hingga saat ini, sebanyak 14 perusahaan bahkan telah membayar denda administratif ke KLHK dan menyusul kemungkinan akan diikuti oleh ratusan perusahaan lainnya. Meski demikian, KLHK sejauh ini tidak pernah mengumumkan nama-nama perusahaan dan lokasi kebun sawit ilegal tersebut berada.
Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH menyatakan, pihaknya sedang mengumpulkan sejumlah data dan informasi baik di Sumatera maupun Kalimantan untuk menyiapkan gugatan hukum terhadap Kementerian LHK. Gugatan akan dilayangkan terhadap KLHK yang menerapkan UU Cipta Kerja dan PP nomor 24 tahun 2021 untuk sejumlah perusahaan.
"Kami ingatkan agar KLHK menghentikan tindakan-tindakannya tersebut, sebelum kami akan menggugat hal itu ke pengadilan. Bahwa tindakan KLHK tersebut sebelumnya telah kami sampaikan memiliki risiko hukum yang tinggi," tegas Surya Darma.
Berikut petikan utama isi amar putusan MK tentang Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020:
3. Menyatakan pembentukan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'.
4. Menyatakan UU Ciptaker masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
5. Memerintahkan kepada pembuat UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU nomor 11 tahun 2020 tentang Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen.
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Ciptaker dinyatakan berlaku kembali.
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/ kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciptaker. (*)