Tajuk Redaksi
Hikayat Pabrik Beras Raksasa RPC di Bengkalis Terancam Jadi Besi Tua, Apa Langkah Kepala Daerah 'Bermasa'?
SABANGMERAUKE NEWS, Bengkalis - Unggahan empat foto Wakil Bupati Bengkalis, Bagus Santoso di akun Facebook miliknya, Senin awal pekan kemarin memantik pergunjingan di media sosial. Bagus mem-posting kondisi kompleks pabrik penggilingan padi yang dikenal dengan Rice Processing Complex (RPC) berada di Desa Sepotong, Siak Kecil.
Dalam unggahannya, terpapar kondisi RPC yang terkesan tak terurus lagi. Rerumputan tumbuh tinggi merayap menutup dua bangunan berbentuk tabung tinggi berwarna silver aluminium.
Pada sisi lain, aneka peralatan di dalam RPC tersebut diduga sudah digondol orang tak bertanggung jawab. Antara lain, instalasi kelistrikan mesin yang telah dicopoti.
Spontan, warganet memberi reaksi atas postingan Bagus Santoso tersebut. Sejumlah komentar bernada kecewa dan marah bersahutan di kolom komentar.
Politisi Partai Amanan Nasional (PAN) tak sempat membalas satu per satu komentar netizen. Termasuk pertanyaan yang dilayangkan SabangMerauke News, juga tak direspon oleh Bagus lewat kolom komentar.
Wajar netizen marah dan kecewa atas dugaan penelantaran aset milik Pemkab Bengkalis tersebut. RPC adalah barang mewah dan langkah dan sudah pasti mahal.
Dibangun pada 2003 lalu, RPC merupakan salah satu proyek ambisius Pemkab Bengkalis di era pemerintahan Bupati Syamsurizal. Pria ini dua periode menjabat sebagai Bupati Bengkalis. Kini Syamsuar merupakan anggota DPR RI dapil Riau I sekaligus Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Provinsi Riau.
Sedikitnya anggaran yang tersedot untuk RPC mencapai Rp 33 miliar. Mesin modern RPC didatangkan langsung dari pabrikan Hansung Industrial Co, Ltd buatan Korea.
Mesin penggilingan padi raksasa tersebut kini seakan tak bermanfaat lagi. Peralatan mahal tersebut bahkan terancam jadi besi tua yang tak membawa manfaat apa-apa bagi masyarakat di Bengkalis.
Pembangunan RPC sejak awal sudah dikritisi banyak pihak. Soalnya, kapasitas produksi penggilingan beras RPC sedikitnya mencapai 50 ton per hari. Pada sisi lain, sumber padi yang menjadi bahan baku di daerah tersebut amat terbatas.
Di daerah Desa Sepotong, dulunya hanya terdapat 500 hektar areal sawah. Itu pun sistem penanamannya menggunakan sistem tadah hujan, alias setahun hanya bisa panen sekali.
Kini, kemungkinan besar luasan sawah tersebut telah menyusut, seiring tren alih fungsi lahan untuk pembukaan kebun kelapa sawit yang lebih menggiurkan masyarakat.
Sebutlah jika produksi padi dari sawah tersebut bisa menghasilkan sebanyak 1.500 ton per tahun. Itu artinya, padi itu digiling cukup dengan waktu 30 hari. Pertanyaannya, dari mana bahan baku padi yang akan digiling selama 335 hari lagi selama setahun itu?
Berharap dapat mendatangkan bahan baku olahan padi dari daerah lain, sebuah angan-angan yang sulit diwujudkan. Misalnya saja mendapatkan padi dari sentra produksi di Bungaraya, Siak.
Di daerah ini, justru padi digiling menggunakan mesin penggiling skala kecil, tidak sebesar raksasa RPC. Insentif kepada petani juga tak ada.
Konon lagi mendatangkan padi dari kabupaten lain yang letaknya lebih jauh, maka pasokan bahan baku pun makin sulit. Ditambah lagi alih fungsi lahan sawah di Riau yang naik tajam akibat pembukaan kebun kelapa sawit oleh masyarakat yang kian massif.
RPC awalnya digadang-gadang sebagai pabrik terpadu dan super-modern untuk mengelola padi. Tak hanya untuk penggilingan, namun punya paket lengkap diawali dari pengeringan, penyimpanan (silo), penggilingan hingga pengemasan yang dioperasikan secara otomatis dan efisien. Teknologi RPC diklaim dapat mengurangi kehilangan hasil gabah dan beras serta menghasilkan beras yang berkualitas tinggi.
Zulkifli Ali dari Yayasan Pemantau Korupsi dan Penyelamatan Aset Negara (Y-Petakorsipara) dalam sebuah pemberitaan di media tahun lalu menyebut, pembangunan RPC tanpa kajian dan studi yang matang dan memadai. Namun ia juga heran mengapa kalangan anggota DPRD Bengkalis saat itu menyetujui anggaran pembangunan RPC saat itu.
Zulkifli menilai tidak ada sumber pasokan padi yang cukup untuk dikelola oleh RPC, apalagi hanya mengandalkan dari sawah-sawah yang ada di wilayah Bengkalis.
"Jika pun usaha sekelas RPC dilakukan oleh swasta, pasti akan bangkrut. Namun, karena RPC dibiayai oleh APBD, maka kondisinya terjadi seperti saat ini," kata Zulkifli, 24 Juli 2021 lalu di pospublik.com.
Ia menyebut pembangunan RPC oleh Pemkab Bengkalis bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Hendak menjadi kawasan sentra produksi padi, wilayah Bengkalis justru dikelilingi oleh tanaman perkebunan kelapa sawit dan karet.
Sementara, program menggandeng kemitraan dengan petani dan daerah tetangga penghasil padi, kala itu hanya sekadar retorika. Faktanya pasokan padi untuk digiling di RPC yang dikelola BUM PT Bumi Laksamana Jaya nihil.
Alhasil, RPC yang menelan anggaran prestisius, sejak beberapa tahun lalu kini terancam menjadi gudang besi tua tak bertuan. Bisa saja di dalamnya terjadi unsur kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian daerah.
Kini, di era pemerintahan Bengkalis dipimpin duet Kasmarni-Bagus Santoso, nasib RPC pun tetap harus menjadi bebannya. Pasangan kepala daerah dengan tagline 'Bengkalis Bermasa' ini harus memberikan peta jalan penyelesaian sekaligus eksekusinya.
Slogan Bermasa yang adalah Bermarwah, Maju dan Sejahtera harus benar-benar mampu dibuktikan. Kadung, Wakil Bupati Bagus Santoso telah memantik perhatian publik terhadap kondisi mengenaskan RPC saat ini.
Bermasa tak seharusnya berhenti pada tahap retorika, apalagi hanya sekadar mendaftarkan logonya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkum HAM RI.
Kasmarni-Bagus mestinya segera mengambil langkah-langkah konkret terhadap masa depan RPC. Jika dibiarkan berlarut, maka kerusakan aset makin parah. Pembiaran RPC mungkin saja masuk dalam unsur pembiaran terhadap kerugian negara yang makin besar.
Tugas pemimpin terbaru, selain melanjutkan estafet pemerintahan, juga harusnya berani mengevaluasi kebijakan pembangunan sebelumnya. Jika RPC dibiarkan tanpa kepastian, maka kepemimpinan Bengkalis saat ini sama artinya dengan mencuci tangan.
Pada sisi lain, tak salah institusi aparat penegak hukum untuk mendalami hal ini. Sebab bukan tak mungkin, praktik manajemen yang menyimpang telah terjadi dalam pengelolaan RPC, sejak awal dirancang hingga sampai kondisi operasionalnya. (*)