Jatuh Bangun Klub Sepakbola PSPS, Begini Perjalanan Panjang Sejarah PSPS Sejak 1955
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Bagi pecinta bola, nama klub Persatuan Sepak Bola Pekanbaru dan Sekitarnya (PSPS) Riau pasti sudah tidak asing lagi, bukan? Atau justru anda salah satu suporter klub asal Pekanbaru ini?
Ngomongin soal PSPS, baru-baru ini, tepatnya pada Kamis (22/9/2022) lalu, nama PSPS kembali menjadi sorotan. Pasalnya, saat Liga 2, PSPS Riau melawan PSMS Medan di Stadion Utama Riau, suporter PSPS Pekanbaru mengamuk karena kekalahan telak yang didapatkan PSPS.
Para suporter menyalakan flare dan melemparkannya ke dalam lapangan. Tidak hanya itu, para suporter PSPS juga diduga membakar kursi tribun. Tampak nyala api terus berkobar di arena tempat duduk penonton.
Berdasarkan kejadian tersebut, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI menjatuhkan sanksi kepada PSPS Riau. Dua hukuman diberikan.
Meski begitu, PSPS Riau menerima hukuman yang diberikan. Lantas, sebagai pecinta PSPS Riau, bagaimana sih lika liku sejarah berdirinya PSPS?
Sejarah Awal PSPS
PSPS Riau terbentuk pada 1 Januari 1955 yang pada awalnya merupakan bernama klub PSPS Pekanbaru. Dikutip dari Wikipedia, periode kepengurusan pertama PSPS dipimpin mantan Kepala PLN Pekanbaru, Yubahar.
Saat itu, PSPS masih sebuah perserikatan kecil yang hanya didukung lima klub anggota, terdiri dari PS Ikatan Pemuda Pekanbaru (IPP), PS Pelayaran, PS Caltex, PS Pekerjaan Umum (PU) dan PS Elektra (PLN).
Meski begitu, di awal berdirinya, PSPS sudah menjadi bond yang sejajar dengan perserikatan lain di wilayah Pulau Sumatera dan sudah memiliki aset berupa pemain nasional. Tahun 1961 PSPS juga pernah ikut PON di Bandung dengan beberapa pemain andalan seperti Jayusman, Thamrin Manaf dan Hamid.
Besarnya potensi sepak bola di Pekanbaru saat itu kemudian menggiring Gubernur Riau, Kaharudin Nasution untuk mendirikan sebuah stadion yang diberi nama Stadion Dwikora pada tahun 1963. Meski awalnya terbuat dari kayu, stadion ini menjadi pusat olahraga pertama di Pekanbaru.
Pemain PSPS lain yang juga sempat terdaftar sebagai pemain timnas adalah Jayusman. Ia merupakan pegawai di kantor pajak. Tetapi sayang, gelandang tangguh ini gagal memperkuat Timnas Indonesia yang sebelumnya telah berencana tampil di Aljazair, namun saat itu Aljazair sedang terjadi pergolakan politik.
Pasang Surut
Era dukungan dan gairah dari masyarakat Pekanbaru tidak berlanjut. Era Jayusman dan kawan-kawan hanya menyisakan kenangan yang indah untuk dikenang.
Kepengurusan demi kepengurusan pun mulai berganti. Tercatat beberapa nama sempat menjadi Ketua Umum PSPS di antaranya Farouq Alwi, yang saat itu menjadi Wali Kota Pekanbaru. Sejak saat itu, tradisi Ketua Umum PSPS dijabat oleh Wali Kota Pekanbaru.
Mengutip situs p2k.stekom.ac.id, pada tahun 1972, pusat pelatihan pemain PSPS di Stadion Dwikora mengalami kebakaran. Bangunan utama dari stadion tersebut tidak dapat digunakan kembali. Stadion yang telah menjadi pusat pembibitan pemain PSPS Pekanbaru ini sempat terbengkalai selama 6 tahun dan hanya menjadi lapangan ilalang.
Hingga akhirnya stadion tersebut dibangun kembali oleh PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) dan diresmikan oleh Gubernur Riau yang saat itu dijabat Arifin Achmad pada tanggal 13 Maret 1977. Stadion tersebut berkapasitas 3.500 penonton.
Kemudian pada tanggal 8 Maret 1980, stadion berganti nama menjadi Stadion Hang Tuah. Penggantian nama diresmikan oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga saat itu, Abdul Gafur.
Setelah Stadion Hang Tuah diresmikan, PSPS mulai aktif kembali. Pada tahun 1984, usaha PSPS Pekanbaru untuk tampil di kompetisi elit nasional pernah hampir berhasil. Kala itu kompetisi terbagi antar Perserikatan dan Galatama.
PSPS sebagai klub perserikatan tergabung dalam zona Sumbagut dan berhasil mewakili Sumatera mengikuti babak play off di Cimahi, Jawa Barat untuk ke Divisi Utama. Sayangnya pada salah satu pertandingan, PSPS tersingkir.
PSPS Era Iskandar Husin
Tahun 1994, jabatan kepengurusan PSPS dipimpin Iskandar Husin yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Transmigrasi Riau. Iskandar sebelumnya sukses mempromosikan Persiraja Banda Aceh ke Divisi Utama PSSI. Ia berusaha mengembalikan bond perserikatan ini menjadi kebanggaan masyarakat Pekanbaru dan Riau.
Iskandar Husin mendatangkan pemain baru. Di bawah pelatih kepala Amrustian, mulailah PSPS Pekanbaru merintis jalan dari Divisi II menuju Divisi I PSSI. Dan perjuangan itu akhirnya berhasil pada Liga Indonesia tahun 1994/1995. Sejak saat itu PSPS bercokol di Divisi Satu PSSI.
Tahun 1995/1996 PSPS berhasil meraih juara dua Piala Menpora di Bogor serta lolos mengikuti PON setelah melewati seleksi tingkat regional.
Berkat keberhasilan itu, Iskandar Husin mendapat pujian masyarakat pecinta bola Pekanbaru. Lalu semakin besarlah harapan dibebankan di pundaknya untuk membawa PSPS ke jenjang paling bergengsi yaitu Divisi Utama PSSI.
Namun mimpi tersebut dua kali gagal. Di Liga Indonesia II (Ligina II) PSPS hanya bisa bertahan, namun tidak terdegradasi. Sementara di Ligina III, PSPS berhasil masuk 10 besar.
Hanya saja, angan-angan dan impian Iskandar Husin untuk mengangkat PSPS ke Divisi Utama tidak pernah kesampaian. Hingga akhirnya Iskandar Husin pindah tugas ke Kalimantan Barat.
Periode Lukman Jafaar
Era kebangaan itu akhirnya datang juga. Setelah berkutat lama di Divisi II Wilayah Riau, Divisi II PSSI, dan Divisi I PSSI, jalan panjang itu mulai menampakkan titik terangnya. Pergantian kepengurusan dari Iskandar Husin ke Tengku Lukman Jafaar pada tahun 1997/1998 membuat PSPS bergairah kembali.
Setelah penantian panjang selama 43 tahun, PSPS akhirnya promosi ke Divisi Utama untuk pertama kalinya dengan predikat juara Divisi I dengan mengalahkan PS Indocement Cirebon pada partai final yang berlangsung di Stadion Sanggraha Lebak Bulus, Jakarta.
PSPS juga pernah mengalami masa jayanya sewaktu berhasil merekrut pemain-pemain Timnas Indonesia. Saat itu, PSPS dipimpin oleh Anto Rachman sebagai manajer. Pemain-pemain terbaik di Timnas Indonesia direkrut. Di antaranya, Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Eko Purdjianto, Aples Gideon Tecuari, Hendro Kartiko, Sugiyantoro, Edu Juanda, dan Amir Yusuf Pohan.
Namun hal itu berakhir pada musim 2004. Saat itu, PSPS mulai melakukan perombakan setelah gagal mewujudkan target juara dalam 2 musim. Ditambah lagi dengan insiden skorsing yang menimpa 3 orang pilar PSPS akibat sikap tidak profesional terhadap wasit.
Sejak saat itu, PSPS mengalami pasang surut dalam prestasi di Liga Indonesia dengan penggantian pelatih yang hampir setiap musimnya dilakukan. Mulai dari pelatih nasional maupun lokal Riau seperti Syafrianto Rusli, Abdulrahman Gurning, Miskardi, Mundari Karya, dan Philep Hansen Maramis.
PSPS Dibeli Pengusaha Malaysia
Setelah PSPS dihimpit dengan permasalahan gaji dan juga biaya yang terhutang oleh manajemen terdahulu, hal ini menarik minat pengusaha perhotelan asal Malaysia, Norizam Tukiman. Norizam mengakuisisi saham PSPS sekaligus menjadi presiden. Nama klub diubah menjadi PSPS Riau.
Akuisisi PSPS Riau tersebut merupakan sejarah dalam industri sepakbola Indonesia. Untuk pertama kalinya, investor asing menjadi pemilik klub sepakbola profesional di Indonesia. Selain itu, akuisisi PSPS Riau juga didukung oleh Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Mochamad Iriawan yang meyakini hal itu legal dan diperbolehkan.
Janji Norizam akan membawa PSPS Riau pada era baru industri sepakbola. Namun kenyataannya, baru berjalan beberapa bulan, Norizam disebut-sebut akan melepas 25 persen saham PSPS kepada seorang warga asal Deli Serdang, Sumut.
Bahkan, pasca kericuhan pertandingan terakhir PSPS Riau kontra PSMS Medan beberapa pekan lalu, Norizam mengancam akan memindahkan homebase PSPS Riau ke Stadion Baharuddin di Lubuk Pakam, Deli Serdang. Hal ini memicu protes keras pecinta PSPS Riau sekaligus mempertanyakan kesungguhan Norizam dalam mengelola PSPS Riau. (R-03)