5 Hutan Konservasi di Riau yang Hancur Lebur, Satwa Liarnya Kerap Dibunuh dan Membunuh Manusia
SABANGMERAUKE NEWS - Provinsi Riau di atas peta memiliki kawasan hutan yang luas. Di antaranya merupakan jenis hutan konservasi.
Namun dalam perjalanan waktu, sejumlah hutan konservasi di Riau mengalami kehancuran serius. Berdasarkan analisis Jikalahari Riau, sisa hutan alam di Riau hanya tinggal seluas 1.442.669 hektare dari sebelumnya berdasarkan pencatatan pada tahun 1982 seluas 6.727.546 hektare. Data itu didapat melalui Citra Landsat 8-OLI dan Sentinel-2. Sebagian kawasan hutan yang rusak itu merupakan hutan konservasi.
Lebih mirisnya lagi, peningkatan deforestasi atau hilangnya hutan akibat kegiatan manusia justru dilakukan oleh korporasi HTI, perkebunan sawit, dan cukong-cukong yang merambah kawasan hutan lindung, konservasi, dan taman nasional.
Dalam catatan Jikalahari, korporasi menguasai 2,1 juta hektare hutan alam Riau, misalnya oleh APP dan April Grup. Sejumlah kepala daerah di Riau termasuk mantan Gubernur Riau Rusli Zainal terjerat dalam kasus korupsi kehutanan. Persoalan lain yang dihadapi yakni tingginya pembakaran hutan dan lahan.
Kawasan hutan konservasi di Riau yang seharusnya menjadi paru-paru dunia kini sudah luluh lantah. Pembukaan kebun kelapa sawit secara ilegal menjadi pemicu utamanya.
Berikut 5 hutan konservasi di Riau yang kondisinya sudah hancur lebur saat ini.
1. Taman Nasional Tesso Nilo
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan konservasi terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau. Di dalamnya terdapat sedikitnya 360 jenis flora, 107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptil dan 3 jenis primata.
Ekosistemnya termasuk hutan hujan tropika yang menjadi kawasan perlindungan gajah berjumlah 60-80 ekor gajah. Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo pertama kali ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 dengan luasan ± 38.576 hektare.
Pada tahun 2009 terbit Keputusan Menteri Kehutanan untuk penambahan luas kawasannya menjadi ± 83.068 hektare. Penetapannya dikukuhkan lagi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.788/Menhut-II/2012 pada tahun 2012.
Hutan konservasi TNTN kini telah dikepung oleh sejumlah korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit baik yang dikelola perusahaan maupun kelompok masyarakat.
Di sekeliling ekosistem Tesso Nilo juga ada 23 desa yang masuk dalam wilayah empat kabupaten. Dalam pembagiannya, ekosistem Tesso Nilo dibagi ke Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Kuantan Singingi. Khusus di lahan Taman Nasional Tesso Nilo, puluhan ribu hektare mengalami perambahan untuk ditanami kelapa sawit.
Baru-baru ini, pihak Balai TNTN menyebut telah terjadi penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) di dalam kawasan TNTN oleh kepala desa setempat. Setelah diberi peringatan, kantor balai TNTN justru didatangi massa bahkan massa melakukan aksi coret di dinding kantor tersebut disertai ancaman.
2. Suaka Margasatwa Balai Raja
Secara administrasi pemerintahan, Suaka Margasatwa Balai Raja terletak di Kecamatan Mandau dan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan pengelolaan wilayah kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Suaka Margasatwa Balai Raja berada di wilayah kerja Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II yang dibantu oleh Seksi Konservasi Wilayah III.
Luas Suaka Margasatwa Balai Raja seharusnya sebesar 18 ribu hektare. Hal itu merujuk pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986. Namun saat ini, lebih dari 15 ribu hektare wilayahnya justru dikuasai masyarakat dan perusahaan secara ilegal.
Saat ini, sisa kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja tidak layak disebut hutan karena lahan tersebut hanya berupa semak belukar dan rawa-rawa. Tragisnya lahan itupun sudah diklaim sebagai kepunyaan warga.
Semula Suaka Margasatwa Balai Raja merupakan kawasan yang kaya akan vegetasi aneka flora seperti meranti (Shorea sp), bitangur (Calophyllum spp), balam (Palaqium gulta), kempas (koompassia malaccansis Maing), giam (CotyIeIobium malaxanum), aneka palem seperti rotan (Calamus cirearus), pandan (Pandanus sp), kantong semar (Nephentes sp) dan lain sebagainya.
Selain itu sejumlah satwa liar menjadi penghuni Suaka Margasatwa Balai Raja ini. Antara lain gajah (Elephant maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris Sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus) siamang (Symphalangus syindactylus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), biawak (Varanus salvator), uIar Sanca (Sanca sp.), dan aneka burung seperti rangkong (Rhyticeros unduIatus).
3. Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim
Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) adalah kawasan hutan konservasi yang masuk dalam wilayah Kabupaten Kampar, Siak, dan Kota Pekanbaru di Provinsi Riau. Hutan konservasi ini ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.348/Kpts-II/1999 tanggal 26 Mei 1999 seluas 6.172 hektare. Adapun rinciannya, seluas 3.041,81 hektare berada di Kabupaten Kampar, 2.323,33 hektare di Kabupaten Siak, dan 806,86 hektare di Kota Pekanbaru.
Tercatat sekitar 127 jenis flora yang merupakan tumbuhan asli hutan Tahura SSH yang didominasi dari family Dipterocarpaceae, Lauraceae, Euphorpeaceae, Anacardiaceae, Guttiferae, Sapotaceae, dan Myrtaceae. Namun beberapa jenis pohon tersebut saat ini sudah sulit dijumpai akibat pembalakan liar yang marak terjadi.
Kawasan Tahura SSH juga memiliki keanekaragaman jenis fauna yang cukup tinggi. Sedikitnya dapat dijumpai 42 jenis burung, 4 jenis reptilia, dan 16 jenis mamalia. Di antara 42 jenis burung terdapat satu jenis burung yang hanya ada di Sumatra yaitu burung serindit melayu (Loriculus galgulus). Sedangkan jenis burung lain yang dapat dijumpai di antaranya jenis burung elang (Halicetus sp), enggang (Buceros rhinoceros), dan beo (Gracul refiigiosa).
Jenis-jenis reptilia di antaranya ular sanca (Sanca sp), biawak (Salvator sp), tokek, dan bunglon terbang. Untuk jenis mamalia antara lain gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), harimau loreng sumatera (Panthera tigris sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), babi hutan (Sus scrofa), ungko (Hylobates agifis), beruk (Macaca nemestrina), siamang (Symphalangus syndactylus), beruang madu (Helarctos malayanus), kijang (Muntiacus muntjak), dan landak (Hystrix brachyura).
Tahura SSH juga mengalami ancaman serius dari masyarakat dan kelompok serta perusahaan yang menggarap kawasan konservasi tersebut. Saat ini sekitar 60 % dari total luas kawasan Tahura SSH dikuasai oleh beberapa oknum yang menguasai lahan baik secara perorangan ataupun kelompok/ perusahaan.
Perambahan Tahura SSH menyebabkan mayoritas arealnya saat ini telah berubah menjadi kebun kelapa sawit ilegal.
4. Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling awalnya ditunjuk melalui Keputusan Gubernur KDH Tk. I Riau Nomor 149/V/1982
tanggal 21 Juni 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling sebagai kawasan Hutan Tutupan/ Suaka Alam seluas 136.000 hektar.
Bukit Rimbang Baling ditunjuk sebagai kawasan suaka alam dikarenakan areal hutan di sekitar Bukit Rimbang Baling memiliki fungsi suaka margasatwa dan sumber mata air yang perlu dilestarikan untuk kepentingan pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir, tanah longsor dan erosi.
Sebelum ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa, di kawasan ini terdapat beberapa perusahaan hutan dan pertambangan batubara. Di antaranya HPH PT Brajatama I, PT Brajatama II dan PT Union Timber. Di sebelah timur, beroperasi HPHTI PT Riau Andalan Pulp and Paper, dan sebelah tenggara terdapat eksplorasi batubara oleh PT Manunggal Inti Artamas dan PT Nusa Riau.
Setelah dilakukan penataan batas dan temu gelang, SM Bukit Rimbang Baling ditetapkan sebagai kawasan suaka margsatwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014 tanggal 23 Mei 2014 tentang penetapan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling seluas 141.226,25 hektar di Kabupaten Kampar dan
Kuansing.
SM Bukit Rimbang Bukit Baling juga telah ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Bukit Rimbang Bukit Baling berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 468/Menlhk/Setjen/PLA.0/6/2016 tanggal 17 Juni 2016.
Pembalakan liar marak di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Padahal, kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling ditunjuk sebagai kawasan suaka alam dikarenakan areal hutan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling memiliki fungsi suaka margasatwa dan sumber mata air yang perlu dibina kelestariannya.
5. Pusat Pelatihan Gajah Sebanga
Suaka Margasatwa Pusat Latihan Gajah Sebanga ditunjuk berdasarkan SK. Gubernur KDH Tk. I Riau No. 387/VI/ 1992 tanggal 29 Juni 1992 dengan luas kawasan 5.873 hektare. Secara administratif berada di Kecamatan Mandau, Bengkalis, Riau.
Gagasan untuk mendirikan Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga pada bulan Oktober tahun 1988, bertujuan sebagai sarana untuk menumbuhkan dan mengembalikan kesan pada masyarakat bahwa gajah bukan sebagai satwa perusak yang harus dimusnahkan.
Pada mulanya, sasaran dari PLG Sebanga untuk menampung gajah-gajah pengganggu tanaman pertanian masyarakat, daerah pemukiman transmigrasi dan perkebunan. Gajah yang ditangkap kemudian dilatih untuk dimanfaatkan sebagai gajah tangkap, atraksi, dan gajah patroli.
Di PLG Sebanga, terdapat 4 ekor gajah terdiri dari 1 ekor gajah jantan dan 3 ekor betina.
Saat ini areal PLG Sebanga juga sudah rusak dan digarap banyak masyarakat untuk pemukiman dan perkebunan kelapa sawit ilegal. (R-05)