Bagian II
Jejak Pahlawan Revolusi Mayjen TNI DI Panjaitan di Riau: Sosok yang Peduli Nasib Pekerja Romusha di Siak
SABANGMERAUKE NEWS - Di kantor pusat Ataka di Siak Sri Indrapura, selain DI Panjaitan juga bekerja pegawai lain bernama Hassan Basri, Ismail Ginting Suka dan Ridwan Lilik. Karel Pandjaitan juga ditempatkan di kantor pusat Ataka itu. Hasan Basri belakangan menjadi teman dekat DI Panjaitan.
Tak lama kemudian, DI Panjaitan dipindahkan ke kantor Ataka di Buatan. Adapun Hasan Basri tetap tinggal di Siak Sri Indrapura.
Saat itu di dermaga Buatan, tiga buah tongkang dari Pulau Jawa yang membawa kira-kira 800 orang romusha, yaitu pekerja paksa yang dikerahkan oleh pemerintah militer Jepang, baru saja sampai.
Pemerintah pendudukan Jepang hanya memberi makanan sedikit kepada para pekerja paksa sehingga badan mereka kurus. Pakaian mereka compang-camping, tubuh lemah dan
sakit-sakitan.
BERITA TERKAIT: Jejak Pahlawan Revolusi Mayjen TNI DI Panjaitan di Riau, Diskusi Hangat dengan Sultan Siak tentang Batu Keramat
Kedatangan romusha sebanyak itu oleh pemerintah Jepang dimaksudkan untuk membantu perusahaan perkayuan swasta Ataka.
Karena mereka dalam keadaan lemah, para romusha terserang penyakit disentri, banyak yang meninggal sehingga hanya tersisa sekitar 600 orang lagi.
BERITA TERKAIT: Jejak Pahlawan Revolusi Mayjen TNI DI Panjaitan, Berjasa Membentuk Cikal Bakal TNI di Riau
Atas perintah Higashi sebagai kepala kantor pusat Ataka, DI Panjaitan harus mengurus rombongan romusha sebanyak itu, yang keadaannya sangat menyedihkan. Para romusha harus dirawat, dipelihara, dan setelah sehat harus diberi pekerjaan menebang, memotong dan mengumpulkan kayu di hutan. Selanjutnya kayu-kayu itu diangkut ke Jepang sebagai barang dagangan.
Mulailah ia menyingsingkan lengan baju. Dari gudang kantor dibagi-bagikannya pakaian dan selimut bekas. Ia mencari perawat ke Siak Sri Indrapura. Kebetulan kepala rumah sakit di sana bermarga Sitanggang. Berdua mereka kembali ke Buatan membawa sedikit obat-obatan.
Karena kurangnya obat dan barang-barang kebutuhan lainnya, ia disuruh pergi ke Shonanto (Singapura) untuk mengambil obat-obatan dan baju-baju bekas bagi kebutuhan para romusha. Walaupun obat obatan dan pakaian yang berhasil dibawa dari Singapura tidak banyak, namun diupayakannya dapat menutupi kebutuhan pokok romusha.
BERITA TERKAIT: Jejak Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan di Riau, Misi Penyelaman Sungai Siak Mencari Senjata Jepang
Suatu hari datanglah seorang Jepang pengusaha kayu dari Kalimantan, Oba namanya. Oba fasih berbahasa Indonesia. Kedatangannya bermaksud membuka perusahaan perkayuan di daerah Riau. Dalam pembicaraannya dengan Higashi, ia meminta agar dicarikan seorang pegawai dari Suku Batak.
Menurut pendapatnya, orang Batak bersifat keras, dapat bekerja keras dan bisa dipercaya. Setelah berbincang lama, akhirnya Higashi memberikan "lzakus" (nama panggilan DI Pandjaitan menurut lidah Jepang) kepada Oba. Maka sejak itu, tahun 1943, ia bekerja pada perusahaan Oba.
Oba memang berniat mendirikan perusahaan perkayuan secara besar-besaran di Buatan, daerah hilir Sungai Siak, yang kemudian diberi nama L.40 atau Panglong 40. DI Panjaitan ditunjuk sebagai wakil manajer, yang berarti secara langsung bertanggung jawab kepada Oba. Untuk mengumpulkan tenaga kerja, ia mencari ke Bengkalis, Sungai Pakning dan Sungai Apit.
Jumlahnya sebanyak 80 orang yang merupakan orang dari Suku Melayu. Para pekerja itu, selain mencari dan mengumpulkan kayu dari hutan, memotong dan menggergaji, juga diwajibkan melakukan taisho atau gerak badan setiap pagi.
Mereka juga diharuskan mengikuti pelajaran berbaris dan latihan kemiliteran Jepang. Semua kegiatan itu dipimpin oleh DI Panjaitan dengan aba-aba dalam bahasa Jepang.
Suasana kerja dalam perusahaan itu tampak gembira. Perusahaan perkayuan Panglong L.40 di bawah pimpinan Oba dan DI Panjaitan berkembang pesat.
Cita-cita Menjadi Tentara
Hidup berkecukupan dan punya jabatan di perusahaan kayu besar, ternyata tak membuat DI Panjaitan berpuas diri. Ia ternyata memendam cita-cita lain, yakni ingin menjadi seorang tentara.
Ternyata, sejak bekerja di Ataka maupun Panglong 40, cita-cita itu tetap terpendam dalam hatinya. Sebagai keturunan Raja Sijorat, darah perwira tetap mengalir dalam urat nadinya. Ia selalu mengikuti berita-berita mengenai penerimaan calon Sekolah Opsir Gyugun yang diadakan oleh Jepang.
Niatnya untuk menjadi opsir militer tidak tertahan lagi setelah pendaftaran untuk Sekolah Opsir dibuka bagi pemuda-pemuda Indonesia. Segera ia menemui Oba untuk mengutarakan kehendaknya.
Temyata Oba sangat keberatan. Pertama-tama karena tenaganya sangat dibutuhkan sebagai orang kepercayaan dan wakil pimpinan. Sebagai wakil pimpinan ia sudah berjasa selama bekerja di Panglong 40.
Tetapi DI Panjaitan tetap berkeras hendak mewujudkan cita-citanya. Kebutuhan hidup, uang dan pakaian yang cukup yang diberikan Oba tak menyurutkan niatnya.
Oba mencari akal. Ia menakut-nakuti DI Panjaitan.
"Kalau Saudara ditempatkan di lapangan terbang, dan Sekutu menyerang dengan pesawat terbang B-29, Saudara harus pegang senapan mesin. Sedangkan kaki Saudara dirantai supaya tidak bisa menyingkir dan lari. Jika B-29 datang menyerang, pasukan Dai Nippon akan lari karena pesawat musuh itu tidak bisa dilawan, dan Saudara akan mati," kata Oba yang berharap DI Panjaitan mengurungkan niatnya menjadi tentara Jepang.
Ternyata, DI Panjaitan tak mundur dari niatnya. Oba mencari cara lain.
Dipanggilnya Karel Panjaitan supaya dan Welzink Pandjaitan untuk mempengaruhi dan membujuk DI Panjaitan agar tak masuk tentara Jepang. Bahkan Oba juga menulis surat kepada keluarga di Lumbantoruan, agar meminta DI Panjaitan tetap bekerja di perusahaannya. Namun segala upaya Oba tidak berhasil menaklukkan niat dan cita-citanya.
Oba terpaksa merelakan pegawai kepercayaannya itu memasuki Sekolah Opsir Gyugun di Pekanbaru. Sebagai perpisahan, Oba mengadakan acara yang meriah bersama para pekerja di malam hari.
Mereka semua makan dan menari-nari bersama di Panglong 40. Acara itu diikuti oleh kira-kira 20 orang Jepang dan 80 buruh pribumi.
Keesokan harinya, DI Panjaitan berangkat ke Pekanbaru. Oba menitipkan surat yang ditujukan kepada Higashi, kepala kantor Ataka di sana, agar sebagai militer Jepang yang berpangkat mayor bersedia memberi surat rekomendasi untuk DI Panjaitan.
Dengan modal rekomendasi dari Higashi, ijazah HIS, rapor kelas 3 MULO, kemampuan berbahasa Jepang, kemahiran berolah raga taisho dan baris berbaris, terutama semangat yang tinggi, pada tanggal 14 Februari 1944, DI Panjaitan diterima masuk Sekolah Opsir Gyugun di Pekanbaru.
Adapun Hassan Basri, sahabatnya sesama pegawai Ataka, telah lebih dulu memasuki Sekolah Opsir Gyugun di Padang. DI Panjaitan memasuki asrama Gyugun di Pintu Angin yang berdinding tepas beratap rumbia. Tidak berapa lama kemudian asrama itu dipindahkan ke Simpang Tiga yang saat ini menjadi Bandara Sultan Syarif Kasim II. Ia menerima pakaian seragam dua pasang dan tanda-tanda kemiliteran Gyugun. (Bersambung)