Bagian I
Jejak Pahlawan Revolusi Mayjen TNI DI Panjaitan di Riau, Diskusi Hangat dengan Sultan Siak tentang Batu Keramat
SABANGMERAUKE NEWS - Pahlawan Revolusi Mayjen TNI (Anumerta) Donald Isaac Panjaitan (DI Panjaitan) punya kisah historis di Provinsi Riau. Bahkan, awal mula perjalanan militernya tumbuh saat berada di Bumi Lancang Kuning.
Sang istri, Marieke br Tambunan dalam buku yang ditulisnya 'D.I Panjaitan: Gugur Dalam Seragam Kebesaran' yang terbit pada 1997, menceritakan perjalanan hidup DI Panjaitan selama berada di Riau.
Begini kisahnya:
Pada 13 Maret 1942, pasukan tentara Jepang mendarat di Medan, Sumatera Utara. Peralihan kekuasaan kolonial pun beralih dari Belanda ke tangan Jepang yang memenangi Perang Pasific melawan sekutu.
Kala itu, Donald Isaac Panjaitan (DI Panjaitan) masih duduk di bangku sekolah kelas 3 MULO (Meer Uitgebreid Lagere School) di Tarutung, jenjang pendidikan setara Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat ini.
BERITA TERKAIT: Jejak Pahlawan Revolusi Mayjen TNI DI Panjaitan di Riau: Sosok yang Peduli Nasib Pekerja Romusha di Siak
Segalanya berubah, ketika pasukan Jepang memasuki wilayah Tarutung. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda dibubarkan dan diganti dengan sistem pendidikan Jepang.
Apes, kendati hanya tinggal beberapa bulan lagi lulus dari MULO, Panjaitan remaja terpaksa menjadi putus sekolah. Nasib MULO tak jelas, entah kapan akan dibuka kembali.
Panjaitan sejak kecil tergolong anak yang cerdas. Meski kehidupan ekonomi orangtuanya, St. Raja Herman dan Dina boru Napitupulu terbilang pas-pasan, ia bisa lulus di Hollands Inlandsche School (HIS) sekolah Belanda untuk warga pribumi).
BERITA TERKAIT: Jejak Pahlawan Revolusi Mayjen TNI DI Panjaitan, Berjasa Membentuk Cikal Bakal TNI di Riau
HIS saat itu tergolong sekolah beken, karena biasanya hanya diduduki oleh anak-anak dari pimpinan desa atau negeri. Namun, atas rekomendasi Pendeta Brecht Smidt, misionaris asal Jerman di kampungnya, DI Panjaitan bisa mengecap pendidikan di HIS hingga selesai yang jadi bekalnya bisa kembali diterima di MULO.
Putus sekolah dari MULO, DI Panjaitan terpaksa pulang ke Lumbantor, Natolutali, kampung kelahirannya. Seperti kehilangan pilihan, ia kemudian pergi ke Barus menemui kakaknya Julia br Panjaitan yang sudah diperistri oleh Thomas Naiborhu. Thomas, ipar DI Panjaitan saat itu bertugas sebagai guru huria dan sekolah zending di Uratan Barus.
Atas persetujuan kakak dan iparnya, DI Pandjaitan mulai berusaha berdagang bawang yang dibeli di Tarutung dan dijual di Barus. Tetapi usaha ini terhenti karena merugi.
BERITA TERKAIT: Jejak Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan di Riau, Misi Penyelaman Sungai Siak Mencari Senjata Jepang
Usaha itu diganti dengan berjualan daging lembu. Kebetulan saat itu mendekati hari Lebaran, sedangkan sebagian besar penduduk Barus umat Islam. Sambil berdagang, DI Panjaitan tak pernah berhenti belajar. Bahasa Jepang ia "santap" sehingga begitu mahir ia ucapkan secara lisan.
Berdagang daging yang dijalankan dengan telaten itu mula-mula beruntung, tetapi lama kelamaan kurang lancar lalu berhenti. DI Panjaitan kembali pulang ke Lumbantor. Namun, tinggal berlama-lama di kampung halaman, tak membuatnya betah.
Ia meminta persetujuan pamannya, Raja Johannes, agar diperbolehkan merantau ke Pekanbaru, Riau. Kebetulan, di Pekanbaru ada saudara sepupunya bernama Welzink Pandjaitan dan Karel Pandjaitan yang masih lajang.
Raja Johannes secara bijaksana menganjurkan agar ia lebih dulu menulis surat kepada keluarga Welzink. Balasan surat pun tiba tak lama kemudian, berisi persetujuan.
Welzink adalah pegawai kehutanan pemerintahan Jepang, sedangkan Karel bekerja pada kantor usaha perkayuan swasta Jepang bernama Ataka Sanyo Kabushiki Kaisha. Akhirnya, atas izin dari kakak dan adik-adiknya serta restu dari paman, ia bertolak menuju Pekanbaru.
Perjalanan dilakukan dengan menumpang bis. Di Bangkinang, bis yang ia tumpangi dihentikan di pos polisi Jepang. Semua penumpang diperiksa. Koper pakaian DI Panjaitan digeledah.
Polisi Jepang menemukan sebuah kamus bahasa Belanda-Inggris yang disusun MJ. Koenen, ahli bahasa asal Belanda. Saat itu, Jepang sangat khawatir terhadap aksi spionase (mata-mata) Sekutu sehingga menaruh sikap curiga yang sangat berlebihan.
Akibat temuan kamus Belanda-Inggris di koper pakaiannya tersebut, DI Panjaitan ditahan di kantor polisi Jepang di Bangkinang. Sehari semalam ia diperiksa.
DI Panjaitan mengaku kalau ia memiliki saudara di Pekanbaru bernama Karel Panjaitan yang bekerja pada Ataka Sanyo. Polisi segera menelepon ke kantor Ataka.
Karel yang menerima telepon dan diberi tahu persoalannya, langsung menceritakan penahanan DI Panjaitan kepada kepala kantor perusahaan, Matsumura. Spontan, Matsumura dengan berkendaraan mobil berangkat ke Bangkinang untuk menyelesaikan penahanan DI Panjaitan.
Mengapa Matsumura yang berangkat? Konon sebelumnya Matsumura pernah menyuruh Karel sebagai pegawainya yang terpercaya mencari pegawai baru yang pandai berbahasa Inggris dan berbicara dalam bahasa Jepang.
Matsumura akhirnya menyelesaikan persoalan tersebut, hingga akhirnya DI Panjaitan dibawanya ke Pekanbaru dalam satu mobil. Hari sudah malam ketika mereka tiba di kantor Ataka. DI Panjaitan menginap di kantor perusahaan itu, baru esok harinya bertemu dengan Karel.
Ia diterima tinggal di rumah Welzink Pandjaitan. Baru dua bulan kemudian Matsumura dan wakilnya, Nakayama, memanggilnya dan mengizinkannya bekerja di Ataka. Kira-kira dua bulan kemudian, Ataka membuka kantor di Siak Sri Indrapura yang dikepalai oleh Higashi.
Kantor baru di Siak itu dijadikan kantor pusat, sedangkan kantor di Pekanbaru menjadi kantor cabang. Karena perilaku dan pekerjaan yang dilakukan selama dua bulan di Pekanbaru dinilai baik, DI Panjaitan dipindahkan ke Siak Sri Indrapura.
Pada suatu hari liburan kantor, untuk melepas kepenatan, ia pergi melancong ke Kota Siak. la tertarik pada bangunan istana Sultan Siak. Dari jalan di depan istana ia memandang bangunan klasik itu berlama-lama.
Seorang petugas istana yang melihatnya langsung curiga. Soalnya, ia tidak memakai peci. DI Panjaitan dibawa ke tempat penjagaan untuk diinterogasi. Ketegangan pun terjadi, karena ia tidak menyebut dirinya patik sebagaimana adat di daerah itu bila menyebut dirinya.
Kebetulan Sultan Siak dan permaisuri melihat kejadian itu, bahkan mendengar ucapan DI Panjaitan.
"Kalau di sini ada Sultan, saya juga keturunan Raja, yaitu Raja Sijorat," begitu kira-kira ucapan DI Panjaitan saat ditanyai petugas istana yang didengar Sultan.
Sultan Siak paham benar tentang sejarah raja-raja Batak. Di samping Sisingamangaraja, ada raja lain, yaitu Raja Sijorat. Keduanya berhubungan akrab, sering berburu bersama. Kalau Sisingamangaraja menjadi raja mengatur pemerintahan, Sijorat lebih memilih sebagai panglima perang.
Sultan Siak lalu menghampiri dan mengajak DI Panjaitan berbicara. Tanya jawab terjadi mengenai pertaliannya dengan Raja Sijorat, bahkan Sultan mengajaknya masuk melihat-lihat istana.
Dalam percakapan sambil melihat-lihat bangunan istana dari dalam dan luar, Sultan bertanya tentang adanya batu keramat berbentuk kepala kerbau yang terdapat di Gunung Surungan, Toba. Pertanyaan itu dijawab DI Panjaitan. "Ya, memang ada."
Menurut Sultan, batu keramat itu milik keluarga Sultan Siak. Konon menurut cerita yang beredar dalam masyarakat, bahkan dijadikan lakon dalam panggung pimpinan Tilhang, dahulu kala ada kerbau sakti milik Nagaisori yang terjerat pada batu di Toba Habinsaran, yang akhirnya menjadi patung batu.
Dalam kisah itu, Nagaisori menjadi Sultan di Siak Sri Indrapura setelah menikah dengan puteri Sultan.
"Apakah batu keramat itu boleh kami minta?" tanya Sultan.
"Jangan, itu milik kami," jawab DI Panjaitan.
Setelah beberapa lama bercakap-cakap, ia diperbolehkan Sultan pulang. Adanya pertalian nenek-moyang itu sudah barang tentu memberi kesan tersendiri bagi Sultan. (bersambung)