Menteri Siti Ngaku Transparan, Faktanya Cekal Peneliti dan Persulit Fotografer Satwa Liar
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya tampil dalam sebuah video di channel YouTube KLHK, Rabu (28/9/2022). Ia berbicara tentang pentingnya transparansi dan keterbukaan akses informasi bagi publik.
Dalam video yang diunggah tersebut, sang politisi Partai NasDem ini juga meminta partisipasi publik dalam mendukung pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan.
Siti Nurbaya mengklaim kalau kementerian yang dipimpinnya berkomitmen untuk terbuka terhadap informasi publik.
"Saya Siti Nurbaya Menteri LHK terus berkomitmen kuat untuk melaksanakan mandat UU Nomor 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik," kata Siti di video YouTube bertepatan momentum peringatan 'Hari Hak untuk Tahu'.
Siti juga mengklaim kalau seluruh jajaran di KLHK akan berperan aktif dalam memberikan informasi.
"Saya pastikan seluruh unsur Kementerian LHK akan terus aktif menyampaikan, melayani informasi publik melalui berbagai langkah transformasi digital maupun kolaborasi integrasi," imbuhnya.
Tayangan video pernyataan Siti Nurbaya tersebut seakan bertolak belakang dengan fakta adanya dugaan pencekalan KLHK terhadap sejumlah peneliti satwa dan konservasi yang heboh beberapa waktu lalu.
Cekal Peneliti Asing
Belum lama ini, KLHK mencekal peneliti asing atas nama Erik Meijaard dkk karena publikasi sebelumnya dianggap mendiskreditkan pemerintah.
Publikasi yang dimaksud adalah tulisan penelitian Erik dkk terkait orangutan. Erik mengungkapkan pendapat berbeda dengan KLHK soal populasi orangutan di Indonesia.
Adapun pemberitahuan pemblokiran itu tertuang dalam surat Nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KHSS/KSA.2/9/2022 yang ditembuskan kepada seluruh Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Salah satu yang sudah menerima surat itu adalah Taman Nasional Komodo.
Kebijakan itu masuk dalam lima poin yang dituangkan KLHK dalam suratnya .
"Tidak memberikan layanan kepada peneliti asing an Sdr Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl dan Sarge Wich dalam semua urusan perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan KLHK," tulis KLHK dalam suratnya.
Pelarangan itu dilakukan KLHK antara lain terhadap Erik Meijaard dan Julie Sherman. Diduga, pencekalan tersebut dikeluarkan karena artikel Meijaard di The Jakarta Post soal orang utan.
Dalam artikel itu, Meijaard mengkritik Menteri KLHK, Siti Nurbaya yang mengklaim tiga spesies orang utan tapanuli, orang utan sumatra, dan orang utan kalimantan jauh dari kata punah. Padahal menurut Meijaard, data yang ada menunjukkan sebaliknya.
Meijaard merupakan Honorary Professor di University of Queensland dan di Durrell Institute of Conservation and Ecology University of Kent. Selain itu, Meijaard juga memegang gelar Doctor of Philosophy.
Sementara itu, Julie Sherman juga merupakan ilmuwan yang fokus kepada konservasi dan keragaman hayati. Sejauh ini, sudah ada 27 publikasi yang telah diterbitkan atas namanya, termasuk artikel yang dikerjakan bersama Meijaard.
Fotografer Dipersulit
Terbaru, fotografer profesional satwa liar Alain Compost dipersulit mendokumentasikan badak di Indonesia.
Alan menjelaskan pelarangan itu tak berdasarkan surat resmi dari KLHK. Bahkan, ia sudah menulis surat resmi kepada KLHK untuk meminta penjelasan namun tak kunjung mendapat jawaban.
"Tidak ada alasan yang jelas kepada saya. Saya sudah menunggu selama beberapa bulan dan bersabar, kata Alan kepada CNN Indonesia.
Ia mengklaim telah berkontribusi untuk meningkatkan kesadaran tentang konservasi badak.
"Terkadang saya dibayar tetapi sering kali saya membagikan gambar saya secara gratis," katanya di dalam unggahannya di Facebook.
Bahkan katanya ada foto Badak Jawa miliknya yang dicetak dan dipajang di kantor KLHK, tanpa ada pihak yang pernah meminta izin, tetapi dia menjelaskan tak keberatan dengan hal itu.
Menurut Alain ada sesuatu yang tak jelas dalam perkara ini.
"Semua proyek konservasi harus terbuka dan transparan, bukan politik," ucapnya.
Pihak Kementerian LHK pun hingga saat ini belum pernah memberikan keterangan ke publik soal adanya dugaan kebijakan pencekalan dan pembatasan peneliti serta fotografer di kawasan konservasi tersebut. (*)