Ini Sosok Lukman Njoto Wakil Ketua PKI yang Bernasib Tragis Setelah G30S
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Sosok Lukman Njoto pasti cukup dikenal dikalangan masyarakat. Namanya tak lepas dengan kejadian peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI.
Ia pernah menjabat sebagai wakil ketua PKI saat itu, DN Aidit. Meski Njoto mengaku tak terlibat dalam peristiwa G30S, tapi ia dan keluarganya diburu oleh aparat.
Ia dituduh terlibat dalam peristiwa tragis tersebut. Setelah menjalani pelarian yang panjang, akhirnya Njoto diculik orang tak dikenal dan dieksekusi.
Berikut rangkuman fakta tentang Njoto melansir dari Kompas.com dalam artikel 'Biografi Njoto, Wakil Ketua PKI yang Turut Dieksekusi Pasca-G30S'.
1. Masa muda
Njoto atau yang bernama lengkap Lukman Njoto lahir di Jember, Jawa Timur, pada 17 Januari 1925.
Njoto lahir dalam keluarga yang cukup kuat dalam bidang politik. Ayahnya, Rustandar Sosrohartono, disebut-sebut adalah anggota PKI.
Sebelum Njoto dan keluarganya pindah ke Jember pada 1925, Rustandar sudah aktif di PKI Surakarta sejak 1920-an. Njoto adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Sejak kecil, Njoto sudah dikenal sebagai anak yang cerdas.
Kecerdasannya dapat dilihat dari tulisan-tulisan Njoto selalu dijadikan contoh oleh guru di sekolahnya.
Njoto mengenyam pendidikan pertamanya di Hollands Inlandsche School (HIS) di Jember dan tinggal bersama kakek serta neneknya di Kampung Tempean, Jember, Jawa Timur.
Setelah lulus, Njoto melanjutkan sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Jember.
Namun, pendidikan Njoto harus terhenti setelah Jepang membubarkan sekolahnya pada 1942, bersamaan dengan kedatangan Jepang ke Indonesia.
2. Kiprah
Ketika Njoto berusia 17 tahun, dia tergabung sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Berawal dari situ, kiprah Njoto dalam bidang politik terus mengalami perkembangan.
Berbagai jabatan dia sandang mulai dari DPRD, menteri, hingga lembaga kebudayaan.
Di tengah kesibukannya, Njoto menikah dengan seorang putri bangsawan Keraton Solo bernama Soetarni. Pernikahan keduanya dikaruniai tujuh orang anak.
Awalnya, pernikahan Njoto dan Soetarni berjalan sangat harmonis. Akan tetapi, setelah peristiwa G30S terjadi, hubungan keduanya mulai mengalami keretakan.
3. Bergabung dengan PKI
Selama bergabung dalam KNIP di Yogyakarta, Njoto tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro.
Di kota inilah Njoto bertemu dengan Aidit dan MH Lukman satu tahun setelahnya. Hubungan Aidit, Lukman, dan Njoto kemudian semakin dekat setelah keduanya bersama-sama menghidupkan majalah Bintang Merah.
Sejak saat itu, Njoto, Lukman, dan Aidit bersama-sama berkiprah dalam PKI. Ketiganya sering disebut sebagai Tiga Serangkai atau Three Musketeers.
Njoto dan Aidit kemudian masuk Komisi Penerjemah PKI pada awal 1948.
Tugasnya adalah menerjemahkan Manifes Partai Komunis Indonesia karya Karl Marx dan Friedrich Engels.
Lebih lanjut, Aidit dan Njoto juga secara bersamaan menjadi anggota Commitee Central PKI pada Agustus 1949.
Aidit bertugas mengurus agraria, sedangkan Njoto bertugas menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.
Sewaktu Peristiwa PKI Madiun 1948 terjadi, Aidit dan Njoto secara diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan.
Kondisi PKI yang kala itu karut-marut membuat Aidit dan Njoto lebih aktif dalam bidang jurnalistik. Njoto berusaha melawan para pesaing politiknya lewat Harian Rakyat dan Bintang Merah sejak 1951.
4. Jadi wakil ketua PKI
Pada Oktober 1953, setelah Komite Sentral mengadakan pertemuan, Aidit dan Njoto diangkat sebagai petinggi PKI. DN Aidit menjadi Ketua PKI dan Njoto menjadi wakil ketuanya.
Selama menjabat sebagai wakil ketua, dia bertanggung jawab atas agitasi dan propaganda. Setelah itu, pada Agustus 1960, Aidit dan Njoto ditunjuk sebagai wakil PKI di Front Nasional.
Dua tahun berselang, pada 1962, Presiden Soekarno mengangkat Njoto sebagai Menteri Negara di Kabinet Dwikora, yang bertanggung jawab untuk pengawasan reformasi tanah.
Dengan demikian, Njoto merangkap jabatan sebagai wakil ketua PKI dan Menteri Negara. Kiprah Njoto di PKI pun terus berlanjut.
Antara tahun 1963 dan 1964, Njoto beberapa kali berkunjung ke Uni Soviet untuk menjalin hubungan baik antara PKI dengan Partai Komunis Uni Soviet.
Di dalam kunjungan tersebut, Njoto didampingi oleh Rita, seorang mahasiswa sastra Indonesia di Moskwa.
Rumor pun beredar terkait perselingkuhan antara Njoto dan Rita, yang terbukti benar sehingga ia diberhentikan dari semua jabatan fungsional, termasuk sebagai wakil ketua PKI.
5. Akhir hidup
Ketika G30S terjadi, Njoto menjadi salah satu orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa tragis tersebut.
Njoto pun berusaha menyelamatkan keluarganya dengan menyembunyikan mereka di rumah rekannya di Kebayoran. Berdasarkan kabar yang beredar, Njoto sempat ditanya oleh Presiden Soekarno terkait peristiwa Gerakan 30 September.
Akan tetapi, Njoto dengan tegas membantah keterlibatan dirinya atau PKI dengan mengatakan bahwa PKI tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Satu tahun berselang, pada 11 Maret 1966, sekembalinya dari sidang kabinet, Njoto diculik oleh segerombolan orang.
Dia kemudian dieksekusi di salah satu tempat di Kepulauan Seribu Jakarta. Tidak berhenti di situ, harta benda Njoto juga dijarah oleh massa. Sementara itu, sang istri dan anak-anaknya dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses peradilan. (R-03)