KPK Respon Desakan Publik Awasi Proses Banding Korupsi Jalan di Bengkalis Rugikan Negara Rp 114 Miliar Tapi Divonis 2 Tahun Penjara, Ini Penjelasannya
SabangMerauke News, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespon desakan publik agar mengawasi proses upaya hukum banding atas vonis 2 tahun tersangka korupsi proyek jalan di Bengkalis yang merugikan negara sebesar Rp 114 miliar. Vonis ringan dan penurunan uang kerugian negara menjadi hanya Rp 10,5 miliar dalam putusan Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru dinilai janggal dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyatakan pihaknya tidak bisa mengintervensi putusan pengadilan. Siapa pun pihaknya tidak dibenarkan mempengaruhi ataupun mengintervensi majelis dalam memutus perkara.
BERITA TERKAIT: KY dan MA Didesak Periksa Majelis Hakim Tipikor Pekanbaru yang Vonis 2 Tahun Penjara Korupsi Rp 114 Miliar Perkara KPK
Meski demikian, prinsip independensi hakim sangat penting, namun juga berarti ketika memutus sebuah perkara mesti benar-benar mempertimbangkan banyak aspek keadilan masyarakat.
"Namun, pemahamanan bahwa korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dampaknya begitu dahsyat merusak seluruh sendi kehidupan menjadi hal penting sebagai background utama ketika hakim membangun keyakinannya sebelum memutus perkara," jelas Ali Fikri dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada SabangMerauke News, Selasa (14/12/2021).
KPK kata Ali Fikri menilai pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan suatu siklus yang saling bertaut dan terintegrasi. Paradigma penanganan korupsi sebagai kejahatan extra ordinary tidak hanya soal penegakan hukum demi rasa keadilan.
"Namun bagaimana penegakkan hukum itu juga mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa kembali terulang," tegasnya.
Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru kini sedang menangani perkara banding kasus korupsi proyek jalan Bukit Batu-Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis dengan kerugian negara sebesar Rp 114 miliar lebih. Kasus dengan terdakwa pasangan suami istri Handoko-Melia Boentara ini sudah divonis Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Keduanya merupakan komisaris dan direktur PT Arta Niaga Nusantara (ANN) yang mengerjakan proyek multiyears tersebut.
Namun putusan hakim tipikor yang diketuai Lilin Herlina tidak bisa diterima jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Soalnya, megakorupsi ini hanya menjerat kedua terdakwa dengan vonis ringan masing-masing 2 tahun dan 4 tahun.
BERITA TERKAIT: Putusan 2 Tahun Penjara Kasus Korupsi Rp 114 Miliar di Riau Dinilai Langgar Peraturan Mahkamah Agung
Nilai kerugian negara yang ditetapkan oleh hakim Lilin Herlina cs juga melorot drastis menjadi Rp 10,5 miliar yang dibebankan kepada Melia Boentara untuk membayar pengganti kerugian negara. Sementara, terhadap Handoko tak dikenakan kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara.
Jaksa KPK dalam tuntutannya meminta majelis hakim menghukum kedua terdakwa masing-masing 8 tahun penjara dan membayar hukuman pengganti kerugian negara sebesar Rp 110 miliar. KPK pun telah mendaftarkan upaya hukum banding atas putusan tersebut.
Berdasarkan pantauan SabangMerauke News di situs SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru Selasa (14/12/2021), perkara banding ini telah didaftarkan pada Jumat 12 November lalu dengan nomor perkara: 35/PID.SUS-TPK/2021/PT.PBR. Adapun KPK dalam upaya hukum banding ini diwakilkan oleh jaksa Tonny Frengky Pangaribuan.
Tercantum sebagai trio majelis hakim banding yakni Dr Panusunan Harahap SH, MH sebagai ketua dan dua anggota majelis hakim banding Khairul Fuan SH, MHum serta Dr Busrizalti SH, MH. Belum ada putusan banding yang diupload lewat situs SIPP tersebut.
Direktur LBH Visi Keadilan Nusantara, Pagar Sianturi SH meminta agar majelis hakim banding memutus perkara ini dengan menjadikan rasa keadilan masyarakat sebagai alat ukur utamanya. Menurutnya kasus ini tergolong korupsi jumbo yang semestinya memberikan efek jerah dan pemulihan kerugian negara yang optimal.
"Vonis ringan majelis hakim PN Pekanbaru jangan diamini oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Jika itu kembali terjadi, maka akan berisiko memperburuk citra pengadilan. Ini adalah kasus yang menjadi atensi publik. Karena kerugian negaranya yang amat besar tidak setimpal dengan hukuman yang dijatuhkan," kata Pagar, Selasa kemarin.
Pagar menyatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa. Oleh karena itu hukuman yang dijatuhkan haruslah setimpal sehingga publik masih dapat mempercayai institusi pengadilan sebagai lembaga kredibel dan bermarwah.
"Kami akan mengawal kasus hingga hingga tuntas. Dan kami meminta KPK juga semakin mengintensifkan pengawasan dalam kasus ini. Bagi kami, ini juga adalah evaluasi bagi KPK karena kasus yang ditanganinya ternyata divonis ringan dan kerugian negara hasil audit BPK RI tidak dipakai oleh hakim PN Pekanbaru sebagai angka kerugian yang pasti," tegas Pagar.
Sebelumnya, Koalisi Pemantau Peradilan Bersih (KPPB) Indonesia mendesak agar Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan terhadap trio majelis hakim yang menghukum terdakwa korupsi proyek jalan di Bengkalis vonis 2 tahun penjara dalam perkara korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 114 miliar.
Koalisi Peradilan menilai vonis hakim tersebut menciderai rasa keadilan rakyat. Vonis ringan kasus korupsi jumbo itu seolah menunjukkan kalau perkara korupsi tidak lagi sebagai kejahatan luar biasa, namun kejahatan yang biasa-biasa saja.
"Pemberantasan korupsi harusnya memberikan efek jera dan juga pemulihan kerugian negara dari perampokan yang dilakukan para koruptor. Pengadilan seyogianya menjadi benteng terakhir untuk memberikan hukuman maksimal bagi para koruptor sekaligus mengembalikan kerugian negara yang menyebabkan rakyat sengsara dan negara tak maju-maju juga," terang Koordinator KPPB Indonesia, Raden Batubara dalam keterangan tertulis diterima SabangMerauke News, Senin (1/11/2021) lalu.
Namun kata Raden, dalam kenyataannya sejumlah putusan pengadilan Tipikor Pekanbaru tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, tidak memberikan penghukuman maksimal para koruptor dan juga tidak memulihkan kerugian yang sudah diderita oleh negara.
KPPB Indonesia juga akan menggelar eksaminasi publik dengan menghadirkan sejumlah pakar hukum pidana korupsi, akademisi dan aktivis antikorupsi.
Dua terdakwa kasus korupsi proyek jalan di Kabupaten Bengkalis yakni Handoko dan Melia Boentara masing-masing merupakan Komisaris dan Direktur PT Arta Niaga Nusantara (ANN). Perusahaan itu merupakan kontraktor proyek jalan Siak Kecil-Bukit Batu di Bengkalis, Riau.
Handoko dihukum selama 2 tahun penjara tanpa membayar uang pengganti kerugian negara. Sementara, Melia yang merupakan istri Handoko dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 10,5 miliar. Padahal KPK dalam dakwaan dan tuntutannya berdasarkan audit BPK-RI menghitung kerugian negara sebesar Rp 114 miliar.
Uang sebesar Rp 4 miliar mengalir ke sejumlah pejabat Dinas PUPR Bengkalis dan orang dekat mantan Bupati Bengkalis, Herliyan Saleh. Sementara sisanya sebesar Rp 110 miliar menjadi tanggung jawab kedua terdakwa.
Jaksa KPK menuntut hukuman 8 tahun penjara dan membayar hukuman pengganti kerugian negara sebesar Rp 110 miliar kepada kedua terdakwa. KPK telah mendaftarkan upaya hukum banding atas putusan tersebut.
Adapun majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru yang mengadili perkara ini diketuai oleh Lilin Herlina yang juga merupakan Wakil Ketua PN Pekanbaru. Dua hakim anggota yakni Dedi Kuswara dan Darlina Darmis. Lilin Herlina kini telah dipromosi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jambi.
Berikut pernyataan sikap dari KPPB Indonesia
1. Menolak dan menyatakan putusan perkara tersebut di atas telah melukai rasa keadilan masyarakat. Putusan tersebut tidak mencerminkan lagi korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa, melainkan sekadar kejahatan biasa-biasa saja.
2. Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru tersebut dinilai telah bertentangan dan melabrak Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 1 tahun 2020 tentang penjatuhan hukuman perkara korupsi pasal 2 dan pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tipikor.
3. Mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa majelis hakim yang mengadili dan memutuskan perkara tersebut di atas.
4. Mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut.
5. Melakukan penilaian dan evaluasi kerja terhadap majelis hakim yang mengadili dan memutuskan perkara Tipikor di atas dan apabila ditemukan praktik penyimpangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
6. Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pemantauan intensif bersifat khusus terhadap latar belakang putusan, sekaligus terhadap proses upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Pekanbaru.
7. KPPB Indonesia akan melakukan gelar eksaminasi putusan tersebut di atas untuk menganalisis putusan perkara sesuai dengan ketentuan dan mekanisme yang berlaku.
Pernyataan sikap tersebut ditembuskan kepada Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, Ketua Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. (*)